Download App

Chapter 3: Tiga

"Kazura? Ada apa? Mengapa telepon mu mati? Aku berusaha menghubungi mu dari tadi..."

"Baterainya habis. Kenzo, tampaknya aku akan pulang telat. Arata dan Miho akan mengantarku ke rumah nanti malam, jadi kau tidak usah khawatir."

Suara Kenzo terdengar tidak senang "Pulang telat? Mengapa?"

"Ehm... karaoke dulu dengan yang lain. Iya, masih dekat dari SMU Midorigaoka. Tentu saja, aku tidak akan minum. Ehm.. iya. Iya, aku tutup dulu.."

Si nenek masih menghujani Kazura dengan tatapan yang sama. Tatapan yang membuat Kazura tidak nyaman, tetapi ada sedikit kelembutan di balik tatapan itu. Kazura berpaling kepadanya dan berterima kasih. "Terima kasih karena telah meminjamkan telepon."

"Anak muda, apa kau suka dango?" Nenek itu bertanya, senyumnya membuat keriput di sekitar matanya bertambah kentara "Aku baru membuat beberapa kue dango manis. Apa kau suka?"

"Kue dango?"

Tiba-tiba Kazura mengerti apa keganjilan yang ia rasakan sejak tadi. Jika tas ranselnya di bawanya kemari, maka ia akan mengeluarkan foto ibunya yang ia simpan di bagian terdalam tasnya, membandingkannya dengan keseluruhan pemandangan jalan di luar. Segalanya terasa mirip, hanya beberapa perbedaan boks telepon, dan...

"Dulu, di sini toko dango." Si nenek bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke arah dapur yang tak jauh dari tempat Kazura duduk "Tapi sudah lama ku tutup... aku bertambah tua dan daerah sini memang sepi. Anak muda seperti mu lebih menyukai karaoke dari pada makan dango."

Kazura tidak bisa berkata-kata. Ia masih terpana ketika nenek itu menyajikan kue dari tepung beras, berbentuk bulat-bulat dan di tusuk dengan tusukan bambu. Nenek itu menuangkan saus di atasnya, juga menyajikan secangkir teh untuk Kazura dan dirinya sendiri. Kazura duduk sopan dengan suasana yang sedikit menenangkan di sekelilingnya.

"Mitarashi dango, dengan saus yang ku buat sedikit lebih manis dari pada yang biasanya. Misaki menyukainya, ia suka makanan manis. "Nenek itu tersenyum. Ada sesuatu di dalam senyum itu yang terasa sedang bernostalgia. "Kau mirip sekali dengan Misaki. Membuatku rindu akan gadis itu."

Kazura tidak membiarkan dirinya menggantungkan harapan terlalu tinggi. Mungkin semua ini hanya kebetulan sehingga nenek di hadapannya, yang tiba-tiba menawarkannya untuk memakai telepon di dalam rumah, menyebut nama Misaki. Jika ia bertanya sekarang, mencerca nenek itu dengan pertanyaan yang selama ini menghantuinya, mungkin ia tak kan mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Ia mungkin akan di kecewakan.

"Maaf, aku membuatmu mendengarkan ocehan nenek tua sepertiku." Nenek itu tertawa lembut. "Aku hanya terpana melihat kau sangat mirip dengan Misaki. Ku sangka aku melihat dirinya hidup kembali."

...Ku sangka aku melihat dirinya hidup kembali, ulang Kazura dalam hati. Ternyata benar.. ia sudah meninggal.

... Apa kami memikirkan Misaki yang sama?

Bertanya dan di kecewakan pun tidak apa-apa. Setidaknya untuk pertama kalinya, Kazura merasa ia mendapatkan sedikit kejelasan dari masa lalunya yang tidak teraba. Jalan itu, toko dango ini... mungkin ia memang telah di takdirkan untuk bertemu dengan nenek ini.

"Apakah... nenek adalah ibu dari gadis yang nenek bicarakan itu?"

Nenek itu menggeleng, meminum tehnya. Kazura menggigit dango yang di suguhkan untuknya, merasakan manis dan asinnya yang bercampur menjadi rasa menyenangkan di atas lidahnya. Satu gigit dari dango yang enak itu membuat Kazura lebih tenang menghadapi jawaban si nenek.

"Bukan... tapi, karena aku tidak punya suami atau anak, aku menganggapnya seperti anak ku sendiri. Ia bekerja paruh waktu di toko dango ini untuk waktu yang agak lama... hingga ia mengandung dan pindah ke pusat Tokyo."

Tangan Kazura agak gemetar ketika ia berusaha mengangkat cangkir tehnya. "Aku mungkin adalah anaknya."

Setelah Kazura mengatakan kalimat itu. Mereka berdua masuk ke kesunyian yang panjang. Kazura tidak bisa membuat dirinya mendongak dan menatap ekspresi macam apa yang nenek itu pasang di wajahnya.

"Ah," si nenek akhirnya memecah keheningan "Betulkah itu?"

"Kakak ku.. Maksudku, pengurusku mengatakan Ibu meninggal tidak lama setelah melahirkan ku. Namun ia berkata ayahku masih hidup... hanya tinggal di tempat yang jauh. Ia tidak pernah membiarkan ku bertemu dengannya, nama keluargaku Uzuki... pengurusku berkata aku mendapatkan nama keluarga itu dari ibu."

".... Aku tidak percaya ada kebetulan semacam ini. Aku mengajakmu ke dalam untuk membiarkan mu menggunakan telepon karena kau mirip sekali dengan Misaki. Ternyata kau memang benar-benar anaknya.." si nenek berkata, suaranya hilang dalam bisikan. Ia memperhatikan Kazura, kini dengan tatapan iba. "Tapi jika kau mengatakan begitu, berarti kau tidak pernah bertemu dengan ayahmu.. apa kau juga tidak pernah bertemu dengan kakak laki-laki mu?"

"Kakak laki-laki?" Kazura mengulang tidak percaya "Aku punya kakak laki-laki?"

Nenek itu membalikkan badannya, berdiri dan mulai membongkar isi laci di belakangnya. Tampaknya ia tidak mendengar pertanyaan Kazura. "Tapi, tidak aneh kalian tidak bertemu... aku juga tidak tahu apa yang membuat Misaki pergi meninggalkan suami dan anak laki-lakinya ketika ia hamil. Pada hal, sebelumnya mereka sangat dekat dengan si mungil Rei, menyayanginya seperti anak sendiri walau pun tidak melahirkannya. Ah, ini dia. Untunglah aku masih menyimpan fotonya."

Nenek itu menyodorkan selembar foto yang telah di makan usia. Latar belakang yang sama, ibunya, ibunya dengan baju yang sama, menggenggam tusukan dango yang sama. Yang berbeda hanya jumlah orang yang tertangkap di kamera. Pria di sampingnya tinggi, terlihat rapi dengan kacamata yang bertengger di hidungnya. Pertautan jari antara pria itu dan ibunya menjelaskan segalanya. Namun, tanpa melihat itu pun, Kazura sudah tahu ada hubungan istimewa yang berlangsung di antara keduanya. Senyum mereka saling berbicara.

Segalanya sama sekali berbeda dengan foto yang selama ini di miliki Kazura walau tampak nya kedua foto ini di ambil pada waktu bersamaan. Apa karena senyum ibunya lebih lebar dan lepas? Atau mungkin semuanya berbeda karena keberadaan anak lelaki mungil di samping pria itu. Satu tangan menggenggam tangan ayahnya. Tangan lainnya menggendong anak kucing dalam dekapannya. Ia menatap lensa dengan senyum malu-malu.

.... Menyayanginya seperti anak sendiri walau tidak melahirkannya, ulang Kazura dalam hati. Matanya menelusuri garis wajah kakak tirinya itu. Walau pun mirip, anak lelaki itu memancarkan aura yang berbeda dengan ayahnya. Foto itu mungkin di ambil ke tika Rei masih berada di SD, tetapi Kazura yakin kakak tirinya itu akan tumbuh menjadi lelaki yang menawan.

"Aku yang mengambil foto itu. Mereka menjemput Misaki untuk pergi berjalan-jalan siang itu." Nenek berkata, bernostalgia.

Kazura membalikkan foto itu. Bubuhan tinta yang ia kenal menghiasi sudut foto itu dengan huruf-huruf kecil yang rapi. Misaki. Yasuhiro. Rei.

****


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login