Download App

Chapter 14: Hukuman?

Jam makan siang memang sedang berlangsung, banyak karyawan yang ke luar untuk mencari makanan termasuk Reva dan juga Nisa. Bisa saja mereka langsung pergi, tetapi keduanya sedang menunggu sseorang, yaitu Fian. Pria itu sedang berada di perjalanan, dan juga mau makan siang bersama.

"Kok gue takut ya? Apa gue ga usah ikut ya, Nis?"

"Takut kenapa?" Nisa menoleh menatap Reva dengan bingung.

"Mhh, gimana ya? Gue takut Fian ga nyaman nanti, gue juga takut canggung, Nis."

"Katanya kalian ga bermasalah? Kalau ngerasa ga bermasalah yaudah kenapa harus canggung?"

Reva menghembuskan napasnya perlahan. Ya Nisa benar sih, seharusnya memang tidak canggung. Tapi gimana ya? Reva sudah bisa menebak alur yang akan terjadi nanti. Bahkan tadi saja Fian menghindar, sepertinya dia sangat enggan untuk menatap atau berbicara dengan dirinya.

"Itu Fian!" Nisa menunjuk ke arah luar, dan benar saja seorang pria baru turun dari mobil lalu mendekat ke arahnya.

"Sorry ya lama, kenapa ga duluan aja sih?" Fian menatap kedua wanita yang ada di depannya. Sebetulnya Fian sangat canggung, tetapi dia berusaha untuk stay cool di depan Reva.

Melihat kedua temannya saling diam membuat Nisa menghela napas. "Jangan diam begini dong, ga seru ah!"

"Yaudah, mau makan di mana?"

"Tanya Reva coba, Fi, dia yang paling susah."

Fian melirik Nisa melalui ekor matanya. Dalam hati Fian menyumpahi kebodohan Nisa kali ini. Tidak ingin suasana semakin canggung, Fian berdiri di samping Reva lalu meraih telapak tangannya untuk digenggam.

"Reva ga perlu milih, dia nurut apa kata gue. Bukan begitu, Re?" Fian menatap Reva dengan senyum di bibirnya.

Genggaman hangat yang Fian berikan membuat Reva tenang. Belum sempat dia menjawab, lagi-lagi Reva dikagetkan saat seseorang memanggil namanya. Bukan hanya Reva, Fian dam Nisa pun ikut menoleh ke arah belakang.

Mampus sudah! Tepat di belakangnya kini berdiri Sean dengan Jihan yang sedang memeluk lengan kekar Sean. Aura wajah mereka sangat berbeda, dan itu sangat kontras. Jihan dengan senyum manis, sedangkan Sean menatap dengan datar. Tatapan tajam kini Reva dapat saat dia menatap Sean. Walaupun begitu, Reva tidak berniat melepaskan genggaman tangan Fian.

Bukan apa-apa, tetapi genggaman itu sangat kuat membuat Reva susah payah menelan salivanya.

"Kalian bertiga mau makan siang ya? Mau ga kalau kita bareng aja?"

"Eh, jangan, Mbak," sahut Nisa dengan cepat.

"Kenapa, Nis?"

Nisa menggaruk pelipisnya sekilas sambil melirik kedua temannya. "Kita ga enak, Mbak, Pak Sean atasan kita. Lagipula kita mau cari makan di dekat sini, bukan di restoran."

Jihan beroh ria sambil menatap Sean. "Emang kamu terganggu?"

"Tentu. Aku mau habiskan waktu makan siang sama kamu."

"Yaudah kalau begitu, kita bertiga pamit permisi ya." Setelah berpamitan, Fian merangkul Reva untuk segera berjalan menyusul Nisa yang berada di depan.

Pandangan mata Sean tidak terputus menatap Reva. Ingin rasanya dia menarik tubuh ramping itu, menyembunyikannya di dalam dekapan. Tetapi Sean sadar posisi, di sampingnya ada Jihan bahkan wanita itu tidak ada niatan untuk melepas pelukannya.

"Fian sama Reva cocok ya?" guman Jihan sambil menatap punggung keduanya yang mulai menjauh.

Sikap Fian yang baik, selalu melindungi Reva, terkadang membuat Jihan baper sendiri melihatnya. Pernah Jihan mendengar cerita kalau Fian memang menyukai Reva. Ah, semoga saja mereka berdua memang jodoh.

"Biasa aja," sahut Sean, membuat Jihan menatapnya dengan kening mengerut.

"Kok bilang gitu? Kamu ga liat Fian ngelindungin Reva sampai segitunya?"

Sean berdecih dalam hati. Apa katanya? Melindungi? Kalau memang melindungi, kenapa bisa Reva terjun hanya untuk biaya rumah sakit? Bukankah dia bisa membantu kalau secara logika?

"Ayo kita ke restoran, aku laper." Sean kembali merengkuh tubuh Jihan ke dalam dekapanya. Urusan Reva biarlah nanti di apartemen.

***

"Kenapa ga dimakan, Re? Ga suka? Atau mau pesan yang lain?"

Reva terlonjak kaget saat tangan Fian menyentuh lengannya. Iya, sejak tadi Reva memang melamun, dia terus saja kefikiran dengan Sean. Bukan sakit hati melihat kedekatannya dengan Jihan, tetapi Reva sangat takut kalau Sean marah. Pria itu sudah beberapa kali mewanti-wanti agar dirinya tidak terlalu dekat dengan Sean.

"Re?"

"Ini mau dimakan, Fi, hehe." Reva menarik piring miliknya, otomatis tangan Fian tergeser dari pergelangan tangannya.

Fian mengangguk-anggukan kepalanya. Semakim hari, Fian semakin bisa melihat dan merasa kalau Reva memang menjaga jarak. Nisa yang berada di antara keduanya benar-benar dibuat gemas. Ingin rasanya mengeluarkan kata-kata mutiara, tetapi Fian sudah lebih dulu menatapnya dengan tajam.

'Kalau begini ceritanya gimana mau nyatu?' batin Nisa.

Ting!

Ting!

Suara norifikasi ponsel menjadi pemecah keheningan. Baik Fian ataupun Nisa, mereka kompak menoleh menatap Reva yang sedang mencari ponselnya. Karena tidak ingin kepo, Fian kembali membuka obrolan untuk mengalihkan perhatian Nisa dari Reva. Fian melakukan ini demi Reva, dia tidak ingin wanita itu merasa dipojokan atau dicurigai.

Reva menatap layar ponselnya dengan kedua bola mata membulat sempurna. Itu pesan dari Sean, dan dugaan Reva benar-benar terjadi.

Chat from Sean Dewanda.

Sean Dewanda : "Selepas pulang kantor segera ke apartemen."

Sean Dewanda : "Saya mau buat perhitungan dan juga merincikan hukuman pertama."

Sean Dewanda : "Menjauh dari Fian sekarang, segera kembali ke kantor!"

Tiga pesan itu masuk secara beruntun, tentu saja membuat Reva panik sendiri. Perhitungan? Hukuman? Apa maksudnya? Menyadari perubahan Reva membuat Nisa menyenggol lengan Fian seraya menyuruhnya untuk bertanya.

Fian yang sedang asik memakan soto miliknya langsung menatap Reva, lalu melirik ponsel yang menjadi pusat perhatian Reva. Sebetulnya, ada apa di dalam sana? Kenapa wajah Reva terlihat pucat?

"Kalau lagi makan jangan mainin ponsel, Reva," tegur Fian, membuat Reva semakin kaget.

Melihat wajah panik Reva yang langsung memasukan ponselnya membuat Fian tertawa kecil. Tidak salah lagi, memang ada yang Reva sembunyikan.

"Aku ga terima ada yang pergi mendadak sebelum makanan habis ya."

Lagi-lagi Reva dibuat bungkam, apa Fian bisa membaca isi hati orang? Kenapa Fian bisa tahu kalau saat ini Reva ingin berpamitan? Reva melemaskan tubuhnya kembali, lalu melirik Nisa dan Fian secara bergantian.

"Siapa yang mau pergi, Fi? Orang gue mau ambil kentang ini," kata Reva sambil mengambil piring berisi kentang yang sejak tadi Nisa makan.

Tidak ada sahutan apapun dari Fian, dia hanya mengangguk-anggukan kepalanya.

"Ya mana tau kamu di suruh Pak Sean balik ke kantor, Re."

Telak! Reva dibuat mati kutu oleh asumsi Fian, yang sialnya memang benar dan fakta! Awalnya Fian tidak bermaksud apa-apa, tetapi melihat wajah panik Reva membuatnya tersenyum.

'Dugaan gue kayaknya benar,' batin Fian.

***


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C14
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login