Download App

Chapter 9: Matematika Rasa Valentine

Airpod murah berwarna putih terpasang di kedua telinga Galang. Dia berjalan menyusuri jembatan Kanal Banjir Timur di dekat sekolahnya. Bersama beberapa siswa lain yang sedang menuju ke sekolah, Galang berusaha bersemangat menikmati hari ini. Atau lebih tepatnya, berharap agar hari ini cepat selesai tanpa fenomena aneh.

Dari depan gerbang, terlihat beberapa siswa berdiri dengan menggunakan kostum ala cupid sedang membagikan bunga kertas berwarna-warni kepada seluruh siswa yang melewati gerbang.

"Terima kasih." Galang memberikan senyum palsu kepada kedua cupid palsu saat menerima bunganya.

Dia berpikir bunga kertas hanya simbol basa-basi dari bentuk kasih sayang. Termasuk simbol cinta lainnya, seperti coklat, bunga hidup, atau bahkan hadiah yang lebih mahal. 

Galang yang tidak pernah merasakan jatuh cinta merasa kosong dengan semua hal tentang kasih sayang. Dia bahkan tidak mengerti konsep panggilan sayang seperti abi dan ummi, atau ayang dan baby. 

"Lo datang? Gue kira sudah punah." Ajo melihat beberapa berita mengenai valentine di media sosial.

"Sial banget, hari ini pelajarannya Pak Mustaqim. Gue berharap jadi dinding biar tidak dipanggil." Galang langsung merebahkan kepalanya ke atas meja.

"Lo kemarin sama Dena pergi, 'kan? Hasilnya bagaimana?" Ajo melirik Galang.

Galang menghela napas panjang. Dia jadi teringat semua kejadian bodoh, mulai dari kabur saat nonton di bioskop hingga makeover di salon mahal yang akhirnya ditinggal karena Dena ada urusan penting. 

"Hasilnya tanyakan sendiri ke orangnya. Gue mumet, kepala mau healing dulu hari ini," ungkap Galang.

Nabil datang sambil membawa keranjang kecil yang digunakan untuk parcel. Di dalam keranjang parcel itu terisi beberapa permen coklat berbagai merek yang jumlahnya lumayan banyak. Dia mendatangi satu per satu siswa di kelas dan memberikan satu permen coklat pada mereka.

"Hai guys, happy valentine's day!" Nabil memberikan dua permen coklat ke Galang dan Ajo.

"Lo tidak capek jadi cupid jadi-jadian?" Ajo membuka permen coklat dan memakannya.

"Hari ini kita harus bahagia, menebarkan kebahagiaan ke semua orang tanpa terkecuali." Nabil berakting layaknya menjadi bidadari cantik bersayap putih. Dia bahkan membawa mainan tongkat bintang ala bidadari untuk mendukung penampilannya.

"Hari ini matematika, lo sudah punya vaksin untuk melawan virus maju ke depan?" tanya Galang.

"Oh, shit! Gue lupa! Mampus!" Nabil langsung meletakkan tongkat mainan itu di atas meja.

Dengan tergesa-gesa, Nabil membuka buku catatan mengenai rumus dan contoh soal matematika.

Galang melihat ke arah pintu, dia melihat Dena masuk bersama Anis dan indah. Dia langsung duduk di kursi bagian tengah. Pandangan Galang terus tertuju pada Dena yang sedang tersenyum. Dia tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi Galang merasa tenang saat melihat senyuman Dena.

Bel berbunyi.

Diki bergegas duduk, dia terlihat begitu lelah.

"Lo telat again?" tanya Nabil.

"Macet! Gue turun di tengah jalan, terus jalan kaki ke sini." Diki menarik napas panjang sambil mengipas-kipas wajahnya menggunakan buku tulis.

Pak Mustaqim masuk dengan santai menuju ke mejanya. Dia duduk sambil mempersiapkan buku absen yang dibawa olehnya. Seluruh siswa yang ada di kelas tidak ada yang bersuara sedikit pun. Detak jantung mereka semuanya berdetak cepat, berharap tidak dipanggil untuk maju.

"Dzikir! Berharap tidak dipanggil," bisik Nabil.

"Diam!" Diki berusaha fokus membaca beberapa rumus fungsi integral dan turunan.

"Baiklah, hari ini ada lima orang yang maju ke depan. Ada point yang bisa menyelesaikan soalnya." Pak Mustaqim memberikan soalnya ke Anang untuk dituliskan ke whiteboard di depan.

Seketika saja, suasana kelas berubah seperti berada di tepian jembatan shiratal mustaqim. Api yang membara dari aura 5 soal yang ada di depan seakan membakar arwah para siswa.

"Itu soal anak SMA? Atau untuk anak kuliah?" Ajo merasa gelisah. Sedari tadi, Pak Mustaqim terus menatapnya.

"Doa!" bisik Galang. 

Dia berusaha sehebat mungkin untuk berkamuflase dengan badan besar Nabil yang duduk di depannya.

"Anis, maju. Pilih soal yang mana?" Pak Mustaqim memanggil satu korbannya.

Anis maju dengan penuh haru setelah berpamitan dengan Indah dan Dena. Langkah kakinya terlihat ragu dan gemetar. Dia segera mengambil satu spidol hitam yang sudah terkelupas label mereknya. Anis memilih soal nomor 1, dia berharap masih mengingat rumus integral.

"Selanjutnya …." Pak Mustaqim berhenti. Dia seperti pembawa acara di pencarian bakat yang berusaha menaikkan rasa gugup dan panik para peserta dan penonton.

"Ajo, silahkan pilih soal nomor berapa." Pak Mustaqim memberikan spidol kedua pada Ajo.

"Wah gila! Ajo, Ganbate!" Galang berusaha memberikan selamat berjuang dengan menggunakan telepati jarak jauh. Walau sebenarnya itu mustahil.

Ajo memilih nomor 2. Dia panik dan gugup, bahkan Ajo tidak bisa melihat soal mana yang mudah dan sulit untuk dikerjakan.

"Lo tahu rumus soal gue, Jo?" Anis berusaha melakukan birokrasi tertutup dengan Ajo.

"Boro-boro! Gue saja blank!" bisik Ajo.

Selagi mereka berdua sedang sibuk berpikir, Nabil dan Diki saling berdzikir hingga mulutnya lebih ke arah komat-kamit seperti sedang membaca mantra. Mereka berdua berharap ada keajaiban datang dari langit.

"Nabiil, maju, Bil." Pak Mustaqim memberikan spidol hitam ketiga. 

"Serius, Pak?" Nabil bangun dan menghampiri Pak Mustaqim. Lalu dia mengambil spidol hitam sambil berjalan ke arah papan tulis tanpa bergairah.

Diki hanya bisa tersenyum melihat Nabil akhirnya dipanggil. Dia terlihat sangat puas sekali. 

"Ajo! Ini apa! Bantu gue, dong!" bisik Nabil.

"Berisik lo! Gue juga menulis asal-asalan." Ajo mulai menulis beberapa angka dan rumus integral.

"Anis! Ini apa rumusnya?" bisik Nabil lagi.

"Gue blank, sorry, Bil." Anis sibuk menulis apa pun yang dia ketahui.

Disaat Ajo dan Anis hampir selesai dengan jawaban dari soal mereka, Nabil malah menggambar pelangi dengan sosok bidadari.

"Ayo, Bapak tunggu lima menit lagi. Yang lain coba pikir juga jawabannya. Nanti kalau mereka salah, kalian yang maju menggantikannya." Pak Mustaqim mulai berdiri. Dia mendekat ke arah mereka bertiga.

"Bil! Pak Mustaqim!" Ajo menyenggol Nabil, dia berusaha memberi kode bila Pak Mustaqim datang.

"Jo! Ini gue jawab apa!!!" Nabil panik. Dia akhirnya menjawab asal soal miliknya.

Pak Mustaqim berdiri di belakang mereka bertiga, jaraknya kurang lebih 3 meter dari mereka. Sambil senyum-senyum, Pak Mustaqim terus perhatikan mereka bertiga.

"Bil, itu gambar apa?" Pak Mustaqim melihat coret-coretan Nabil.

"Bidadari, Pak." Matanya berputar, dia berusaha basa-basi mengulur waktu.

"Kamu gambar bidadari untuk apa?" tanya Pak Mustaqim.

"Biar bisa bantu saya mendapatkan wangsit jawabannya," jawab Nabil.

Seketika semua siswa tertawa namun ditahan agar tidak terpantau oleh Pak Mustaqim.

"Saya sudah, Pak." Dengan begitu percaya diri, Anis bilang bila dirinya sudah selesai.

"Saya juga," sahut Ajo.

Mereka berdua akhirnya bisa duduk kembali, walaupun belum tahu nasib dari jawaban yang mereka tulis.

"Sudah, Bil?" tanya Pak Mustaqim.

"Ih, si bapak dari tadi ganggu terus. Nabil jadi panik, Pak!" Nabil melirik ke arah Pak Mustaqim yang berdiri tepat di belakangnya.

"Loh, Bapak tidak ngapa-ngapain, kok?" pikir Pak Mustaqim.

"Iya, tapi aura bapak seperti malaikat pencabut nyawa!" balas Nabil.

"Anang, menurutmu benar? Jawaban nomor 1." Pak Mustaqim memberikan spidol ke Anang. Dia memberi kode bilamana jawaban Anis salah, maka Anang harus maju membenarkannya.

"Galang, pilih soal nomor 4 atau 5?" Pak Mustaqim melempar spidolnya melayang ke arah Galang.

Dengan sigap, Galang menangkap spidol itu. Dia bangun dari tempat duduknya dan maju ke depan.

"Semangat!" Dena memberi kode dengan tangannya yang mengepal dan menatap Galang sambil mengangguk.

Galang yang melihat kode Dena langsung merasa bersemangat, namun masalahnya adalah integral dan turunan adalah kelemahannya. Layaknya superman yang lemah dengan batu kryptonite, dia pun juga begitu.

"Hai, bestie," bisik Nabil.

"Gue blank!" balas Galang. Dia memilih soal nomor 4.

"Isi asal saja, yang penting kita selamat!" Nabil akhirnya menyelesaikan jawabannya.

"Sudah?" tanya Pak Mustaqim.

"Sudah, Pak. Ini spidolnya dan ini coklat untuk bapak. Happy valentine's day …." Nabil kembali duduk dengan sangat meriah. Teriakan dari siswa lainnya riuh terdengar saat Nabil memberikan coklat yang disimpan di kantong bajunya.

"Galang! Semangat! Aku yakin kamu tidak bisa!" teriak Nabil dari tempat duduknya.

Seketika tawa para siswa pecah.

"Dena, maju." Pak Mustaqim memberikan spidol terakhir untuk Dena menjawab soal nomor 5.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C9
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login