Download App

Chapter 2: Hari Yang Sama

Sinar matahari menyoroti bumi tepat diatas kepala mereka. Hari yang panas dan melelahkan membuat orang-orang dikota merasa enggan sekali untuk beraktivitas, namun mereka tidak bisa bermalasan dikota metropolitan yang sesak dengan tuntutan hidup. Untuk menjadi sukses dan bisa meraih apa yang diinginkan, mereka harus bekerja keras untuk mendapatkannya.

Begitupun dengan Davin, mahasiswa yang sebentar lagi akan menyelesaikan kuliah S1 nya di salah satu kampus terbaik di kota itu. Dan sekarang harus mulai menata hidupnya demi masa depannya yang terang. Namun saat menghadapi dua semester akhir, laki-laki itu bekerja paruh waktu disebuah kafe yang tidak jauh dari apartementnya dan membuka kelas kursus bahasa inggris untuk anak SMP-SMA. Cita-citanya ingin sekali menjadi seorang penulis, namun apa yang yang harus dia perbuat jika orangtuanya menginginkan putera sulungnya itu menjadi seorang guru bahasa.

Saat ini laki-laki berusia Dua puluh tahun itu akan melakukan perjalanannya menuju tempat ia bekerja. Ia baru saja pulang dari kampus, tengah menunggu bus disebuah halte yang terletak diseberang kampusnya. Ini sudah menjadi rutinitasnya setiap hari sejak ia menginjakkan kakinya di ibukota. Menjadi seorang anak pertama, yang harus merantau jauh demi keluarga, adalah tanggung jawab dan membutuhkan keberanian yang besar.

Itulah kata-kata yang selalu terlintas dipikirannya tatkala ia ingin menyerah. Kata keberanian, bukanlah kata yang tepat untuk laki-laki seperti Davin sejujurnya. Davin bukan type laki-laki seperti itu selama penyakit mental masih menggerogotinya. Namun untuk bisa melawannya, Davin harus berpura-pura menjadi orang lain.

Hampir setengah jam bus yang ia tunggu, akhirnya tiba. Ia segera bergegas masuk dan menempelkan kartu E-money nya pada mesin pembayaran didalam bus yang sudah tersedia. Ia menyapu pandangannya, mencari bangku yang kosong untuk ia duduki. Akhirnya dia menemukannya disebelah gadis berambut hitam sebahu yang mengenakan bandana berwarna merah muda dikepalanya. Davin menyapa gadis itu dengan ramah, tapi gadis itu mengabaikannya.

Davin merasa serba salah, namun ia terus memikirkan hal yang positif supaya pikirannya tidak terganggu. Sebaiknya ia juga mengabaikannya dan urungkan saja niat ramah pada siapapapun, tapi Davin tidak bisa. Ia selalu merasa tidak enak dengan orang-orang yang ia temui atau dengan orang-orang yang sudah mengenal dekat dengan dirinya. Itulah yang terkadang membuat dirinya merasa tidak nyaman.

Davin melihat keluar jendela memandangi bahu jalan yang benar-benar ramai sepanjang jalan. Sesekali ia melihat arlojinya yang menunjukan pukul 03:21 PM. Ia mungkin akan terlambat beberapa menit, namun Alex pasti akan memahaminya. Alex adalah rekan ditempat kerjanya walaupun Alex yang diterima kerja lebih dulu kafe itu dibanding dirinya yang baru beberapa bulan yang lalu.

Davin mengeluarkan ponsel dari kantung celananya, dan berniat mengabari Alex dan mengabarkannya pada Mrs Ryana supaya tidak memarahinya. Bus berhenti setiap menitnya, menurunkan penumpang satu persatu, dan ada juga yang naik.

Jam menunjukan pukul 04:01 PM saat Davin turun dari halte terdekat. Ia melihat bangunan yang bertema italia diarah sebelah kanan, disitulah kafe tempat ia bekerja. Davin mempercepat langkahnya agar segera sampai disana. Dua menit dia berjalan, akhirnya tiba diambang pintu yang bertulisan selamat datang dalam bahasa italia dan inggris. Ia mengatur nafasnya sebelum memasuki tempat itu. Karena sudah memakan waktu cukup banyak, ia pun segera masuk.

Di lobi sudah ada Alex yang sedang berdiri melayani pengunjung. Laki-laki itu belum menyadari kehadiran dirinya karena sibuk dengan pesanan. Ia melihat-lihat situasi yang tampaknya Mrs. Ryana juga tidak ada disana. Davin pun buru-buru menghampiri Alex dan segera mengganti pakaiannya dengan seragam pekerja kafe.

"Maaf menunggu terlalu lama." Kata Davin memulai percakapan. "Aku ada kumpulan kelompok tadi," sambungnya beralasan, padahal ia sedang mengistirahatkan pikirannya dari masalah saat tugas presentasi kelompok tadi. Alex mengangguk mengerti. Seseorang menghampiri, "Biar aku saja" kata Davin tiba-tiba. "Kak, saya mau pesan cappuccino originalnya dua ya. Dengan topping waffle dan topping kukis." Kata salah satu pengunjung kafe, dan Davin pun menulis pesanan itu dengan cepat. Davin mengangguk mengerti dan melontarkan senyumannya yang ramah. "Silahkan tunggu, pesanannya akan segera di buatkan." Katanya lagi setelah selesai menulis pesanan.

Selama menunggu pesanan itu dibuat, Alex menghampiri Davin. "Davin, sebentar lagi libur panjang, kan? Bagaimana kalau kita pergi liburan ke pantai?" Alex memberi usul pada rekannya yang malah keliatan tampak muram. "Aku.." katanya sebelum melanjutkan. "Banyak sekali tugas kuliahku, dan uang bulananku pun sudah menipis." Ucap Davin tersenyum pahit. Alex membulatkan mulutnya mengerti.

Pesanan pun datang dan Davin segera mengantarkan pesanan itu pada pengunjung kafe tadi. Setelah itu ia kembali. "Apa kau punya uang simpanan? Aku sangat butuh uang untuk bayar kuliahku semester ini." Ucap Davin lagi. Namun Alex tampak ragu. Sebelum akhirnya mengangguk. Alex adalah teman kerjanya yang paling mengerti. Mereka berdua berasal dari kota yang berbeda. Dan sama seperti davin, Alex juga seorang perantau. Namun bedanya, dia memiliki satu orang kakak laki-laki dan satu orang kakak perempuan. Jadi Alex adalah seorang anak bungsu dikeluarganya.

Davin adalah seorang anak berdarah Indonesia dan Kanada, yang ayahnya merupakan seorang pengusaha disana. Dan ibunya seorang dosen di Salah satu kampus terbaik di Yogyakarta. Tapi dari kehidupan Davin berbanding terbalik dengan keluarganya disana.

"Aku baru saja mendapatkan uang yang dikirim oleh kakakku di rekening, kau butuh berapa?" tanyanya. "Tidak banyak. Lima ratus ribu" Jawab Davin. "Kau bilang saja padaku jika kau membutuhkannya. Pulang kerja besok malam, kita akan ke bank." Kata Alex. Wajah cerah terpancar diwajah Davin.

Di kampusnya, orang seperti Alex tidak pernah ia temui dikalangan mahasiswa. Kebanyakan dari mereka hanya sebatas teman biasa yang datang ketika lagi membutuhkan sesuatu pada dirinya. Bahkan dikelas sesama jurusannya, mereka hanya memanfaatkan kemampuan berbahasa inggris Davin saat ada ujian praktik komunikasi waktu semester empat dulu. itu benar- benar menyebalkan.

Sampai saat ini pun, pemuda itu tidak akan pernah lupa dengan pengalaman pahitnya saat menempuh kehidupannya sebagai mahasiswa disana. Dan beruntungnya, mungkin sekitar satu tahun lebih lagi dia akan segera lulus.

****

Davin berjalan diatas trotoar berwarna kelabu menuju apartemennya. Sambil menggendong ranselnya, lelaki itu memperhatikan keadaan disekitarnya. Suara bising dari kendaraan tidak akan pernah berhenti meskipun sampai dini hari, tapi tidak seramai saat siang. Ia benar-benar merasa sangat lelah dan ingin segera membantingkan tubuhnya keatas kasur. Bahunya terasa berat setelah seharian menggendong ransel berisikan buku-buku tebal yang baru ia pinjam dari perpustakaan tadi pagi. Badannya terasa lengket dan itu membuatnya tidak nyaman.

Perutnya yang sudah lapar, berharap jika persediaan makanannya masih tersedia dikulkas. Ia belum sempat memeriksanya sebelum ia berangkat kuliah, sebab ia belum sempat untuk sarapan karena deadline dengan tugas nya minggu lalu dan harus dikumpulkan pagi tadi. Lima belas menit dia berjalan, gedung berwarna putih agak uasang menjulang dihadapannya. Gedung itu belum ada rencana pembaruan perbaikan sepertinya. Tapi waktu ia pertama kali tinggal disana, gedung itu masih terlihat bagus.

"Selamat malam pak." Kata Davin begitu masuk kedalam, menyapa seorang penjaga gedung apartement itu, Pak Dwi. Davin sudah sangat mengenal orang-orang disana termasuk pak dwi yang setiap hari menjaga keamanan aparetement tempai ia tinggal. "Baru pulang, nak davin?" Tanya pak Dwi. "Iya pak." Jawab laki-laki berambut cokelat gelap sambil pergi memunggungi lelaki tua untuk menaiki lift.

Setelah didalam lift Davin menekan tombol bertulisan angka sembilan, kamarnya. Ia kembali melihat arlojinya, jam menunjukan pukul setengah sebelas malam. Itu lah kegiatan yang ia lakukan saat sampai diapartemen setiap hari. Davin sampai dikamarnya begitu ia menekan kode pintu masuk yang telah disetting satu minggu yang lalu akibat lupa kata sandi.

Davin meletakan ranselnya dilantai dan pergi mengambil air minum. Sejak tadi ia menahan dahaganya. Dan perasaannya begitu lega dan segar begitu minuman dingin memasuki perutnya melewati tenggorokan. Ia kembali membuka kulkas, dan melihat ada satu bungkus daging ayam, sosis, dan sisa-sisa bahan lainnya yang pernah ia beli disupermarket. Davin tersenyum puas.

Ia berniat membuat makanan tengah malam. Ia beranjak menuju balkon sambil membawa minuman yang tadi ia minum ditangan kanannya. Karena kemeja yang ia kenakan seharian tampak lusuh, ia pun membukanya dan meletakannya disembarang tempat. Udara malam menyelimuti tubuhnya sebelum memasuki ruangan. Davin tidak menyangka bahwa dirinya sudah sampai sejauh ini walaupun sempat menyesal karena tidak kuliah di kanada. Padahal ayahnya pernah menyarankannya pada davin.

Tapi yang membuat davin bersyukur adalah, ia tidak tumbuh sebagai anak manja walaupun berasal dari keluarga yang kaya. Tapi kesendirian selalu membuatnya tenang. Kesendirian selalu membuatnya berfikir positif dan lebih mengenal siapa dirinya. Davin bergegas mandi untuk membersihkan dirinya sebelum ia mulai memasak untuk makan.

Setelah itu, ia segera masak untuk makan malamnya, karena rasa lapar tidak bisa tertahankan lagi. Sambil mengenakan piyama hitamnya, lelaki itu sangat mahir dalam urusan memasak, asalkan bahan-bahan didapur tersedia.

Davin selesai makan dan bersiap untuk tidur. Sungguh hari yang melelahkan. Ia pun tidak lupa memasang alarm. Walaupun besok adalah hari sabtu, ia tetap harus pergi menuju kelas kursus bahasanya. Ada beberapa pesan singkat masuk diponselnya yang belum sempat ia periksa tadi sore. Karena lelah, Davin pun memejamkan matanya dan tertidur dengan pulas.

****


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login