Download App

Chapter 2: Mas Tirta dan Konser

Seorang barista dengan apron coklat melekat di tubuh kekarnya berjalan ke arah dimana Naraya duduk. Meja paling pojok yang berada tepat di samping kaca yang menampilkan jalanan. Tempat yang sudah menjadi ciri khas Naraya. Ibu, Dokter dan sang barista sangat hapal di mana gadis itu akan menjatuhkan tubuhnya dan berlama-lama di sana dengan lamunan serta dentingan nada dari band yang dikaguminya.

Nampan sedang diletakkan di depan Naraya. Hal itu berhasil menarik perhatian Naraya yang sejak tadi entah sedang memperhatikan apa di luar sana.

"Gimana tadi?" tanya sang barista.

Naraya menengok ke arah laki-laki yang kini sudah ikut duduk di depannya. Naraya belum menjawab, dia mengambil terlebih dulu gelas minuman dan menegukknya perlahan.

"Tebak tadi gue dikasih hadiah apa?" tanya Naraya antusias.

Laki-laki di depannya sekarang tidak bisa menyembunyikan ekspresi tanyanya yang disertai dengan kedua kening terangkat. "Apaan tuh?" tanyanya penasaran.

Naraya merogoh sesuatu dari tas selempang kecilnya. Lalu, setelahnya dia meletakkan sebuah album dengan gambar lima lelaki yang sedang memegang beberapa alat musik.

"Wah! Ini keluaran terbaru, kan? Dokter Hendra kasih lo album ini?" Naraya mengangguk sebagai jawaban. "Ih, gue juga pengen."

"Beli dong," balas Naraya sambil merebut paksa album kaset tersebut kemudian mengelusnya penuh sayang seakan-akan benda tersebut adalah bayi yang baru lahir yang harus disayang dengan sepenuh jiwa.

"Gue belum gajian, elah. Kemarin uang jajan gue abis buat beli sesuatu," keluh laki-laki tersebut.

"Ih, masa pemilik kafe bokek, sih?" kekeh Naraya yang sudah menyimpan kembali albumnya ke dalam tas.

"Gue bokek juga karena lo kali," timpal lelaki tersebut.

"Lah, kenapa gue, dah. Emang gue minta apa ke lo?"

"Noh!"

Mata Naraya kembali membulat sempurna saat mendapati dua lembar kertas yang sangat dia tahu apa kertas itu. Itu tiket konser The Heal.

Tangan Naraya terulur untuk mengambil tiket tersebut. Mengeceknya beberapa saat barang kali itu hanya imitasi yang dicetak sendiri. Tapi, melihat bagaimana bagusnya kualitas dari kertas tersebut, membuat Naraya akhirnya percaya bahwa itu benar-benar tiket konser The Heal.

"Demi apa, Mas? Ini beneran tiket konser The Heal?" tanya Naraya masih tidak percaya.

Laki-laki yang dipanggil Mas itu mengangguk tanpa ragu sambil mengulas senyum lebarnya. Dia senang melihat reaksi Naraya. Meskipun dia sudah menerka pasti gadis itu akan menampilkan ekspresi terkejut juga tidak percaya seperti sekarang karena dia berhasil mendapatkan tiket konser yang katanya sudah habis bahkan belum seminggu itu.

"Kok bisa?" tanya Naraya lagi.

"Bisa lah. Gue kan punya orang dalem."

"Ih… Mas Tirta. Kok bisa baik banget gini, sih," seru Naraya kepada laki-laki yang ternyata memiliki nama Tirta tersebut.

Sementara itu, Mas Tirta hanya memutar bola mata malas. "Gue kan selama ini memang baik, Naraya."

"Tapi, kali ini baiknya berkali-kali lipat," timpal Naraya.

"Iya deh, iya. Serah lo dah, yang penting lo senang dengan hadiah gue itu."

"Sudah pasti senang lah, Mas. Healing mana, sih, yang nggak senang kalo dikasih hadiah tiket konser idolanya sendiri."

Healing adalah sebutan untuk para penggemar band The Heal. Naraya resmi bergabung dengan komunitas itu tepat di ulang tahu The Heal bulan juli tahun lalu. Dan mulai saat itu, dia mendedikasikan separuh hidupnya untuk para lelaki yang sudah menciptakan lagu-lagu begitu indah untuk orang banyak.

"Jadi, beneran hari ini terapi lo resmi selesai?" tanya Mas Tirta kembali ke pertanyaan awalnya.

Pertanyaan Mas Tirta itu terpaksa mengalihkan perhatian Naraya dari mengagumi tiket konser pemberiannya. Dia menyimpannya di atas meja dan kini dia siap menceritakan bagaimana sesi terakhir dari terapinya hari ini.

Seperti inilah Naraya. Sejak dia memberanikan diri untuk dekat dengan makhluk berjenis laki-laki seperti yang ada di depannya ini, setiap selesai terapi pasti dia akan menceritakan apa saja yang dia terima dari Dokter Hendra.

Dan Mas Tirta akan berlagak seperti seorang kakak yang menjadi pendengar terbaik untuk adik kesayangannya. Dia akan memasang dengan serius pendengarannya untuk semua ocehan Naraya. Tidak jarang juga dia memberikan masukan dari sudut pandangnya sebagai laki-laki pada umumnya.

Dokter Hendra juga menyuruh Naraya untuk mulai membiasakan kembali bergaul dengan laki-laki, bisa dimulai dengan Mas Tirta. Ingatan buruknya tidak akan pernah sembuh jika dia menutup diri dari orang-orang di sekitar, terutama dari para kaum adam.

"Sekali lagi gue ucapkan selamat karena sudah bisa bertahan sampai sekarang, Naraya," ucap Mas Tirta tulus.

Dia benar-benar ikut senang karena bisa melihat bagaimana gadis di depannya ini perlahan bangkit dari keterpurukan. Selain Dokter Hendra, dia juga bisa dikatakan orang yang selalu memantau perkembangan Naraya hingga sampai dia yang duduk di depannya dengan segala macam ocehannya itu.

"Makasih, ya, Mas. Selama ini sudah jadi pendengar gue. Dan gue terima kasih sudah mengenalkan gue ke band The Heal. Gue nggak tahu akan selama apa gue bisa sembuh kalau nggak ketemu lo sama band The Heal," timpal Naraya.

Keluarga, sahabat, Dokter Hendra, The Heal, dan Mas Tirta adalah obat yang membantu Naraya untuk bangkit lagi dari semua keterpurukan yang menimpanya dulu. Benar kata Naraya. Kalau tanpa mereka, dia tidak bisa mengira akan selama apa dia akan berusaha bangkit atau apakah dia tidak akan pernah bangkit selamanya.

Selain percaya kepada diri sendiri, percaya kepada orang-orang di sekitar adalah obat untuk semua luka. Meskipun tidak bisa mengobati secara langsung, tapi orang-orang ini adalah orang yang pertama kali menangkap tangan Naraya setiap kali dia hendak terjatuh lagi.

Oleh karena itu, Naraya tidak takut lagi untuk kembali memulai hidupnya seperti dulu lagi. Seperti kata Mas Tirta yang selalu dia katakan setiap kali mereka bertemu adalah sembuh tidak bisa sendirian, orang lain bisa dijadikan sandaran ataupun tangan yang selalu memberi pertolongan.

Itulah kenapa, Naraya bisa seberani ini karena dia yakin orang-orang yang ada di dekatnya adalah orang-orang pilihan yang selalu memberinya perlindungan.

"Dua hari lagi jangan lupa. Pake kostum sesuai dengan tema konser. Awas aja lo pake item-item kayak gini."

Mas Tirta terkekeh mendengar kalimat bernada ancaman dari Naraya. "Tenang aja, elah. Gue juga udah biasa pergi ke konser kali, jadi tahu memposisikan diri dan memilih baju yang cocok."

"Bagus deh kalo gitu. Ya udah, gue cabut, ya, Mas. Bye," pamit Naraya yang dan langsung keluar dari kafe yang perlahan mulai ramai.

***

"Naraya! Itu Mas Tirta sudah nungguin, lho. Mau sampai kapan, sih, dandannya? Perasaan kamu udah dari siang siap-siapnya," gerutu Ibunya yang hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kondisi kamar anaknya.

Sudah tahu dia ada janji pergi ke konser bersama Mas Tirta, tapi anaknya itu malah asik nonton konser di youtube. Bahkan, sejak siang tadi persiapannya tidak beres-beres karena selalu terganggu dengan konser-konser yang ada di internet itu.

"Aduh, Bu. Ini Naraya lagi nyari lightstick yang kemarin. Kok nggak ada di rak, ya?" tanya Naraya panik.

"Mana Ibu tahu. Itu kan barang-barang kamu," balas Ibu Naraya.

Naraya kembali mengubek-ubek beberapa barangnya yang ada di rak khusus perintilan-perintilan fangirl-nya itu. Dia akan kesal kalau pergi konser tanpa membawa benda sakral itu.

"Udahlah, Naraya. Kasihan Mas Tirta nungguin kamu dari tadi. Ayah udah interogasi dia dari tadi, lho," ujar Ibu Naraya lagi memperingati anaknya itu untuk langsung pergi saja.

Naraya menggaruk kepalanya frustasi. Kondisi kamarnya sudah sangat berantakan. Pasti benda itu ada di bawah tumpukan-tumpukan pakaian dan benda-benda fangirling-nya yang sudah berserakan di mana-mana itu.

Dia tidak bisa menambah waktu lagi untuk mencari benda tersebut karena mengingat Mas Tirta yang sudah menunggunya. Juga dia tidak mau mendengar ocehan Ibunya yang mungkin akan memaksanya keluar dari kamar jika dia masih meneruskan pencariannya.

Naraya hanya bisa mendesah pasrah. Dia melirik jam digital di atas raknya. Sudah jam tiga sore. Kalau dia kembali mencari benda itu, yang ada dia tidak akan mendapatkan posisi yang strategis. Meskipun dia memegang tiket VIP.

"Ya udah, lah, ya," ucap Naraya akhirnya. Selanjutnya dia meraih tas selempangnya dan keluar kamar menemui Mas Tirta.

"Maaf, ya, Mas Tirta, Narayanya lagi sibuk cari senternya dari tadi," ucap Ibu Naraya kepada Mas Tirta.

Kening Mas Tirta saling bertaut karena bingung dengan maksud perkataan Ibu Naraya. Kenapa Naraya nyari senter? Emang dia mau bawa senter ke konser? Mau ngapain coba?

"Ih, Ibu. Itu bukan senter tau," protes Naraya.

"Lah, tadi kan kamu bilang ligth, light kan berarti senter juga, kan? Itu yang sering kamu pake kalau lagi menggila di dalam kamar, kan?"

Mas Tirta seketika tertawa kecil saat dia tahu maksud senter yang disebutkan Ibu Naraya tadi.

"Tau ah. Ibu mah nggak tahu istilah anak muda. Ya udah, Naraya pergi dulu," pamit Naraya sambil mencium tangan Ibu dan Ayahnya secara bergantian.

"Hati-hati. Jangan pulang terlalu malam. Bawa motornya jangan ngebut. Kalo ujan berteduh dulu," ucap Ayah Naraya.

Naraya tanpa sadar berdecak sebal mendengar ucapan Ayahnya. "Nggak usah diingetin sedetail gitu juga kali, Yah. Emang Mas Tirta anak SMA yang belum punya SIM. Dia udah ahli bawa motor yang nggak perlu Ayah peringati lagi buat hati-hati."

Mas Tirta hanya tersenyum simpul mendengar kalimat pembelaan Naraya untuk dirinya. Dia tahu kalau Ayah Naraya sebenarnya tidak begitu suka dengan dirinya yang mengajak Naraya keluar sekarang. Mungkin karena masih tidak mau percaya dengan laki-laki asing seperti dirinya. Mas Tirta sangat maklum akan hal itu.

"Ayah tenang aja. Mas Tirta ini orang kepercayaan Ibu, kok," timpal Ibu Naraya.

"Kita pamit, ya, Tante, Om."

Selanjutnya, motor yang dikendarai Mas Tirta dan membonceng Naraya itu sudah putar balik dan keluar dari jalanan komplek perumahan Naraya. Sementara itu, dua orang paruh bayah masih saja berdiri di teras rumah sambil memandangi anaknya sampai hilang di belokan sana.

"Emang dia bisa dipercaya, Bu?" tanya Ayah akhirnya.

"Ayah tenang aja, ih. Bukan Ibu aja yang percaya sama laki-laki itu, tapi Dokter Hendra juga. Dia akan jadi kakak buat Naraya saat kita tidak ada," jawab Ibu untuk menenangkan Ayah Naraya.

Wajar saja jika orang tua yang semakin protektif terhadap anaknya. Apalagi Naraya yang terluka karena laki-laki kepercayaannya di masa lalu. Dan sekarang, dia seperti sudah mengidap trust issue kepada makhluk yang berjenis kelamin sama sepertinya.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login