Download App

Chapter 12: Masa Lalu Carissa

"Jadi, kau mengadopsinya dari panti asuhan Foster?" tanya Stella yang sudah terlihat akrab dengan Stefan. Sementara Carissa sedang makan siang di tempat duduk yang jauh dari mereka berdua.

"Ya. Entahlah, aku seperti melihat perbedaan dari anak itu. Pendiam, tapi terkadang ketika dia berbicara tutur katanya seperti orang dewasa. Tapi dia anak yang baik dan cerdas," jawab Stefan.

"Maafkan aku sebelumnya, saat kau mempertanyakanku soal anak,"

"Tidak masalah, Nyonya Stella. Karena aku yakin, Nyonya pasti memiliki alasan untuk itu," ujar Stefan berusaha memancingnya.

Stella menghembuskan nafas berat dalam dadanya dan menggenggam erat kepalanya. Seolah sangat berat mengungkapkan alasan itu.

"Jika sekiranya itu memang rahasia dari keluarga kalian, maka tidak masalah, Nyonya. Karena Carissa sudah menjadi anggota keluarga saya. Saya pun berjanji pada diri saya sendiri akan merawatnya dengan baik. Dan kelak akan menjadi ahli waris dari perusahaan saya." jelas Stefan, lalu beranjak dari tempat duduknya dan mengajak Carissa pulang setelah makan siang.

"Sayang, saatnya berpamitan dengan Ibumu."

"Kita pulang sekarang?"

"Ya,"

"Stefan, aku mohon, aku masih ingin melepas rindu pada anakku," ujar Stella menyela.

Stefan diam tak membalasnya.

"Ibu, Carissa pamit pulang, ya?" menghampiri Stella untuk menyalaminya.

"Carissa tidak ingin pulang bersama Ibu?" tanya Stella yang hampir menangis.

Carissa menggeleng.

"Kenapa sayang?" sambil membelai lembut rambutnya.

"Aku takut," jawab Carissa lirih.

"Takut? Takut kenapa?" tanya Stella sekali lagi.

"Carissa, ayo." sahut Stefan yang sedaritadi menunggunya di depan kedai.

"Carissa janji akan sering mampir kemari mengunjungi Ibu. Carissa sayang Ibu," lalu memeluknya. Stella pun membalas pelukannya sambil menangis.

Apalagi disaat ia melambaikan tangan padanya seiring ia melangkah keluar dari kedainya. Hati seorang Ibu terasa teriris ketika seorang putri kesayangannya kini telah diakui orang lain. Dan orang lain itu juga lebih baik darinya.

Malam hari ketika Stella sampai di rumahnya, suasana hatinya mengeruh tak seperti biasanya. Dean tampak curiga dengan perbedaan itu.

"Stella? Ada apa?" tanya Dean yang sedang duduk di depan televisi.

"Tidak ada, aku akan istirahat di kamar," jawabnya angkuh.

"Stella?" Ia pun menyusulnya ketika melangkah ke kamarnya.

"Hei, tunggu, ada apa?" menarik tangannya.

"Tidak ada, Dean, mengapa kau memaksaku?! Kau mabuk lagi?!"

Lalu Dean merasa tersinggung dengan perkataannya yang terkesan membentaknya.

"Ada apa denganmu?! Semenjak kau bertemu dengan orang kaya itu kau sedikit berbeda dari biasanya! Jangan-jangan kau selingkuh dengannya?! Ya, kan?!" kedua mata Dean terbelalak dengan sempurna.

"Kau sudah gila ya! Beraninya kau menuduhku seperti itu!"

"Maka dari itu jelaskan padaku! Ada apa?!"

"Aku ingin istirahat! Aku lelah, Dean!" mendorong Dean keluar dari kamar lalu menutup pintu kamarnya dengan keras.

Dean terus menggedor-gedor pintunya memaksa untuk masuk. Beruntungnya Stella sudah mengunci pintunya rapat-rapat. Ia paham betul bahwa suaminya itu sedang mabuk. Ia melihat sekilas dua botol miras yang bersanding di sebelahnya saat menonton televisi. Kedua mata yang memerah dan sedikit berair, sebuah tanda tegas bahwa Dean memang sedang mabuk berat.

Namun hal itu menjadi hal yang biasa dalam rumah tangga Stella. Hanya saja suasana hati Stella kali ini sangat berat semenjak bertemu kembali dengan Carissa dan mengingat ujaran Carissa yang takut untuk pulang bersamanya. Hal itu menjadi pertanyaan besar bagi Stella sendiri. Apa yang Carissa takutkan di rumah ini? Apakah Dean yang seringkali mabuk dan membuat Carissa takut di saat Stella tak ada dirumahnya?

Lalu Stella mengingat sesuatu tentang Carissa, yang pernah memukul kepala Dean dengan botol miras hingga mengalami pendarahan hebat. Saat itulah Dean tidak terima, lalu menyarankan Stella untuk mendaftarkan Carissa ke sekolah luar biasa.

Namun, saat itu Carissa masih berusia 6 Tahun. Pikirnya, tidak mungkin anak sekecil itu menyerang Dean tanpa sebab. Kedua tangan Stella mengepal, kemudian memukul kepalanya sendiri.

"Bodoh, bodoh, bodoh!" ucap Stella penuh sesal. Karena ia baru menyadari hal itu setelah 2 Tahun lamanya.

***

Malam ini Stefan sedang berada di kamar Carissa, membacakan dongeng si jubah merah favoritnya. Ditengah-tengah cerita, tiba-tiba saja Stefan sedikit mengeluh.

"Bisakah kita membaca cerita lain saja? Apa kau tidak bosan dengan cerita ini?" mengingat Carissa yang seringkali menyuruhnya untuk membaca cerita itu.

"Jangan, Ayah, cerita itu bagus dan menegangkan. Apalagi saat si jubah merah berada di hutan lalu di ikuti serigala, terkadang membuatku merinding," jawab Carissa yang sedang duduk di atas ranjang bersama Stefan.

"Apa kau tidak bosan dengan cerita ini? Padahal aku membelikanmu buku dongeng yang beragam,"

"Terkadang aku membaca yang lain kok, tapi untuk pengantar tidur aku lebih memilih si jubah merah," ungkap Carissa dengan senyum manisnya.

"Apa yang membuatmu sangat menyukainya? Bahkan hal itu tidak ada di dunia nyata," tanya Stefan penasaran.

"Bagiku itu nyata, Ayah,"

"Oh ya? Aku tahu, kau pasti yang menjadi serigalanya, kan?"

"Bukan lah, Ayah, memangnya wajahku mirip serigala?" ujar Carissa mengerucutkan bibirnya.

Stefan pun tertawa dibuatnya. Lalu Carissa melanjutkan kembali perkataannya.

"Serigala itu jahat, seperti Ayah, aku lah si jubah merah itu,"

"Seperti Ayah? Sepertiku?" tanya Stefan sedikit terkejut dengan perkataannya.

"Ehm..., maksudku bukan Ayah, tapi..."

Sepertinya Carissa tidak sengaja berbicara terus terang mengenai serigala itu dan ia baru menyadarinya. Ia merasa bersalah karena kata-katanya sendiri.

"Carissa?"

"Ya, Ayah?" balas Carissa gugup.

"Apa menurutmu aku ini jahat?" tanya Stefan serius.

"Ayah, temani aku tidur disini, ya?" sembari memegang lengan Stefan.

Stefan merasakan dingin pada kedua telapak tangan Carissa, serta wajahnya yang pucat seperti ketakutan.

"Carissa, apa kau baik-baik saja? Maafkan aku jika selama ini aku pernah berbuat jahat padamu," sambil memeluknya.

"Bukan Ayah yang jahat, Ayah adalah pria yang baik yang pernah aku kenal," ucapnya berbisik.

"Lalu siapa Ayah yang kau maksud?"

"Ayah Dean,"

Stefan melepas pelukannya,

"Dean Taylor?"

Carissa mengangguk dengan raut wajah memelas.

"Memangnya apa yang pernah dia lakukan padamu?" tanya Stefan curiga.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C12
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login