Download App

Chapter 3: Rantipole

"Lo semua tahu nggak, kalo semalem gue berhasil mutusin buntut cicak pakai karet!" celetuk Odel.

Leora membulatkan mata, "Beneran? Terus gimana nasib tuh cicak?"

Ata? Anak yang satu ini hanya menyimak percakapan mereka dan tidak dapat tercerna ke otaknya, seperti biasanya—lemot. Berbeda dengan Alby yang tak pernah tertarik dengan topik pembicaraan temannya. Ia lebih memilih menghabiskan waktunya menatap area luar kelasnya lewat jendela kelas di sampingnya.

Ata yang tidak paham dengan pembicaraan temannya, malah beranjak menuju Gio—pria kutu buku yang duduk di belakang, tepatnya di samping bangku Alby.

Gio yang tengah membuka lembaran demi lembaran sebuah novel di tangannya terlihat menaikkan kacamata yang sedikit melorot, ia sering mengenakan benda itu saat membaca. Pria itu tidak kaget ketika Ata duduk di sampingnya. Itu sudah menjadi kebiasaan.

Ata mendekatkan wajahnya, menatap wajah Gio yang kalem dan tenang, juga terlihat lebih tampan. Meskipun kadang menyebalkan bagi Ata karena saat ia berbicara tidak pernah digubris.

"Gi-o?" panggil Ata dengan terbata.

Ata tipikal gadis yang cukup nervous dan risih kepada seorang pria. Tapi tidak dengan Gio. Menurutnya, Gio pria yang baik dan tidak kasar terhadap perempuan.

"Gio?" panggil Ata untuk yang kedua kalinya sambil mendekatkan wajahnya ke hadapan wajah Gio.

Ata menggerutu sebal. Padahal ia hanya ingin mencurahkan keluh kesahnya pagi ini. Tak kehabisan akal, Ata tersenyum miring, mempunyai ide licik nan cemerlang.

Gio sedari tadi masih saja fokus dengan buku di tangannya, tapi kefokusannya terganggu. Pasalnya, lembaran buku di tangannya sedikit berterbangan kecil namun masih di tangannya. Ia sudah menduga bahwa itu ulah gadis polos menyebalkan yang tengah berada di sampingnya.

"Pergi."

Ata menyengir tanpa dosa di balik buku Gio. Ia sedikit merasa bersalah. Ata malah melepas sepatunya—melakukan hal yang sama seperti Gio. Hal itu juga kebiasaan Gio saat membaca novel.

"Umm ... Ata sebel sama mer-"

"Kalo lo cuma jadiin gue pelampiasan, lebih baik lo pergi."

Gio memotong ucapan Ata dengan sangat tajam. Entah mengapa dengan pria itu, aneh. Biasanya jika Ata di sampingnya, ia hanya diam. Tak banyak bicara. Bukannya takut atau nyalinya menciut, mata Ata malah berbinar. Gadis gila. Gio sedang emosi, dia malah senang.

"Gio bicara lebih dari lima suku kata? Wah, ini perlu didokumentasi buat kenang-kenangan first time Gio banyak bicara!"

Jangan tanya seperti apa raut wajah Gio saat ini, muak.

"Tap-i makasih, ya, Gio udah bolehin Ata duduk di sini. Ata bakal pergi, kok," ucap Ata.

Gadis itu sering melakukan hal aneh seperti tadi. Jika ia tidak paham dengan topik pembicaraan teman-temannya, makan dia akan melampiaskannya dengan duduk di samping Gio. Padahal seorang Gio hanya akan menggubris seadanya dan sering mengusirnya. Tapi Ata tidak pernah kapok, gadis itu pasti akan mengulanginya kembali suatu saat nanti.

Ata dengan gesit memakai sepatunya yang baru saja dilepas. Ia takut jika dirinya membangunkan singa yang tengah tertidur lelap. Setelah selesai, gadis itu beranjak dengan langkah yang terburu-buru.

"Ta."

Langkah Ata terhenti karena sapaan dari seseorang di balik punggungnya, tak lain Gio. Ata pun membalikan tubuhnya, dengan kepala menunduk, malu sekaligus takut.

"Ke-napa?" tanya Ata sangat ragu dan sedikit mengangkat kepalanya, menatap sang lawan bicara.

"Sepatu."

"Hah?"

Pembicaraan macam apa ini. Gio yang mengungkapkan kata pendeknya, dan seorang Ata—gadis yang super lemot dan polos, tidak bisa memahami satu sama lain.

Gio menghela napasnya, "Sepatu."

Ata kembali menatap arah pandang pria itu. Dan ternyata Gio sedari tadi menatap sepatunya.

"Gio mau ngelepas sepatu Ata terus sepatu Ata ketinggalan di sini biar diibaratkan puteri Cinderella si pemilik sepatu kaca?"

Gio menepuk kecil jidatnya sendiri ketika mendengar lelucon kecil dari mulut polos Ata. Gadis itu benar-benar gila pikir Gio.

"Punya gue," jawab Gio seadanya.

"Ih, Gio! Ata nggak paham apa yang Gio bicarain. Udah, ah!"

Ata berusaha tersenyum meski canggung, lalu melangkahkan kakinya kembali menuju kursinya. Sedangkan Gio? Menganga tidak percaya atas perlakuan gadis polos itu. Ia dengan terpaksa memakai sepatu milik Ata.

"Assalamu'alaikum wr.wb."

Salam dari wali kelas sebelas MIPA 2 telah mengalihkan perhatian semua penghuninya. Semua siswa dan siswi kembali ke kursinya masing-masing dan duduk dengan rapi.

Pak Anton namanya. Seorang guru bahasa Inggris sekaligus wali kelas sebelas MIPA 2. Pak Anton tak sendiri, ada seorang siswa tepat di sampingnya, dan itu sangat asing.

"Di sini, kita kedatangan tamu baru yang akan menjadi keluarga kalian semua."

Masih hening. Seluruh penghuni kelas justru lebih memperhatikan pria di samping wali kelas mereka. Berbeda dengan Alby, gadis itu malah tertidur pulas, berharap melanjutkan 'mimpi indah tadi'.

"Silakan perkenalkan namamu."

Pak Anton mempersilahkan siswa itu untuk memperkenalkan diri di hadapan semua penghuni kelas. Sorakan alay berasal dari para gadis pun terdengar. Mereka berteriak histeris melihat makhluk sempurna di depan kelas.

Sedangkan pria yang menjadi pusat perhatian hanya memasang wajah datar.

"Perkenalkan nama gue Arga Revano Gavin. Panggil aja Arga."

Netra Arga menatap seluruh penghuni kelas barunya.

Pak Anton mengikuti pun mengulum senyum ke Arga. "Semoga kamu betah di sini, ya, ananda Arga. Selamat datang dan salam kenal." Pak Anton menjeda ucapannya, "Terima pertemanan Arga dengan baik ya, anak-anak!" lanjutnya seraya menatap seluruh anak didiknya.

Akan tetapi, ada satu yang membuat Sang wali kelas menghembuskan napas kasar. Pak Anton melempar tatapan ke salah satu penghuni kelas.

Ia sengaja berdeham keras.

"Alby!"

***

Sekuat-kuatnya seseorang jika ia menemukan titik hancurnya, runtuh dunia fantasinya.

"Alby!"

Si pemilik nama yang nampak lesu terpaksa membuka matanya walaupun rasa kantuk masih menyelimutinya. Gadis itu pun mengangkat wajah dari lipatan tangannya. Ia mengucek mata, makin dibuka makin jelas pandangannya.

Manik Alby awalnya tertuju pada Pak Anton. Namun, saat ia melirik sosok pria di samping wali kelasnya, Alby merasa tidak asing dengan pria itu.

Tunggu.

"Elo?!"

Alby dan Arga terkejut secara bersamaan. Mereka berdua nampak tak percaya dengan pertemuan untuk kedua kalinya. Alby nampak membulatkan mata, berbeda dengan Arga yang berusaha tenang agar nama baiknya tidak tercemar.

"Pak Anton, lebih baik pindahin dia krn kelas lain, deh," ujar Alby.

Sang empu menghela napas. "Siapa kamu kok menyuruh saya?"

Suara gelakan tawa terdengar dari seisi kelas. Namun, saat Alby melempar tatapan tajam, teman-temannya kontan terdiam.

Sedangkan Arga justru tersenyum miring. Kali ini ujian hidupnya lebih berat karena dipertemukan dengan gadis absurd itu.

"Cih! Emang dunia sesempit ini, ya? Ngapain gue satu kelas sama tuh bocah ingusan!" umpat Arga dalam hati.

"Alby, jaga bicaramu! Bapak tidak suka jika anak didik Bapak berbicara semacam itu, apalagi kamu perempuan!" bentak Pak Anton.

Sentakan dari Sang wali kelas membuat Alby mati kutu. Jangan tanya bagaimana raut wajah Arga sekarang. Pria itu tersenyum penuh kemenangan.

Alby menghembuskan napas kasar dengan perasaan yang masih kesal. Ia terpaksa harus mengalah, hanya karena tidak mau mengelak perintah orang tua. Jika sentakan tadi bukan berasal dari wali kelasnya, mungkin ia akan melakukan hal semena-mena terhadap si pembicara.

"Arga, maafin Alby, ya. Maklumin aja, dia emang cewek tapi sifatnya kayak cowok."

Alby mengumpat dalam hati. Sedangkan Arga malah terkekeh kecil di depan kelas, hal itu membuat bumbu peperangan Alby dan Arga semakin besar.

"Oke. Sekarang kamu mau duduk di mana, Arga?" tanya Pak Anton.

Tatapan pria tampan itu mengitari seluruh isi kelas. Menatap satu persatu penghuni kelas yang cocok untuk duduk dengan dirinya. Bahkan, sesekali ada siswi yang melambaikan tangan mereka, seakan memberi intruksi agar Arga duduk dengan mereka. Ada pula para kaum hawa menjerit tidak jelas ketika Arga menatapnya, bahkan sampai salah tingkah—langsung mengalihkan pandangannya.

Tidak melainkan Alby. Gadis itu memilih menatap area luar jendela. Malas rasanya bertatap muka dengan pria baru itu. Malas rasanya untuk memberikan ucapan selamat datang padanya.

"Terserah Pak Anton saja."

Pak Anton nampak menggumam. "Kamu duduk sama Gio, ya, di belakang," ucap Mr. Anton sambil mengacungkan jari ke kursi untuk Arga.

Arga menganga sejenak, lalumengangguk singkat. Usai itu, ia pergi menuju kursi yang ditunjuk. Pada saat melewati meja Alby, sekumpulan emosi masih saja menyelimuti.

"Ngapain gue satu kelas sama lo, sih? Dasar tape basi. Satu meja lagi," cerca Arga setelah menjatuhkan bokongnya pada kursi.

Gio hanya melirik sekilas tanpa menjawab ucapan Arga yang berada di sampingnya. Ia lebih memilih kembali fokus ke wali kelasnya.

"Mohon maaf, hari ini Bapak tidak bisa memberikan materi seperti biasanya dikarenakan ada urusan yang mendadak. Jadi, tugas kalian mengerjakan soal di buku paket bahasa inggris halaman sembilan puluh sembilan sampai seratus."

Perkataan Pak Anton membuat para penghuni kelas bersorak ria. Ada juga yang berjingkrak-jingkrak kegirangan.

"Jangan keluar kelas sebelum selesai mengerjakan tugas. Selamat mengerjakan semuanya."

Pak Anton pun melenggang pergi keluar kelas. Suasana kelas mulai gaduh. Ada beberapa yang tidak mendengarkan ucapan Sang wali kelas, mereka keluar kelas, ada juga yang main lompat tali di belakang ruangan bagi sang kecebong-kecebong alay julukannya, bermain gitar di depan kelas, tidur, dan yang saling mencari kutu di rambut bagi para kaum hawa.

Tapi tidak dengan Alby. Ia menghabiskan waktunya dengan menatap area luar sekolah lewat jendela kelas. Dia nampak tenang. Tak banyak bicara dan tak ingin diganggu.

"Al, kita mau ke kantin. Lo mau ikut nggak?" Perkataan itu berasal dari Odel—teman sebangkunya yang sudah berdiri bersama Ata dan Leora.

"Males."

Odel menepuk pundak gadis itu. "Kalau mau ikut, nanti kamu nyusul, oke?" tanya dia yang dibalas anggukan kepala oleh Alby Alexandra.

Semua murid tengah sibuk pada kegiatannya masing-masing. Namun, berbeda dengan Arga yang sibuk memikirkan sesuatu.

Ia berdecak pelan. "Bang Sat, sebenarnya cewek yang namanya Alby itu sosok kayak apa di kelas ini? Dedemit?"

Ucapan Arga mengalihkan Gio yang tengah membaca buku, berhubung ia telah selesai mengerjakan tugas. Gio menutup buku sejenak, lalu menatap pria di sampingnya.

"Penting?"

Arga menggeram dalam hati. Seorang Satria Giovino atau pria yang sering disapa Gio membuat Arga kesal saat berbicara dengan pria itu. Arga biasa memanggilnya Bang Sat, karena mereka memiliki ikatan tersendiri. Ia selalu saja merasa naik pitam ketika berdekatan dengan pria batu tersebut.

"Emak lo ngidam apa, sih, dulu? Anaknya kayak gini banget, nggak ada kinclong-kinclongnya."

Celetukan Arga tidak dihiraukan oleh Gio. Gio justru beranjak ke bangku depan—mencari zona aman dari Si pemilik mulut mercon.

"Hai, gan! Kenalin, gue Dimas Fernandez. Panggil saja Dimas."

Arga sedikit terlonjak saat dia pria di hadapannya tiba-tiba mengajaknya berbicara. Pria bernama Dimas itu mengacungkan jari ke sosok pria di sampingnya.

"Ini istrinya Nyak. Masih gantengan gue, kan, daripada dia?"

"Istrinya Nyak? Dia udah beristri?"

Dimas kontan meledakkan tawa.

"Jangan percaya sama Dia. Percaya sama Dimas itu musyrik!"

Si istrinya Nyak berseteru tak terima. Ia mendumal kesal dengan perlakuan teman sebangkunya. Sedangkan Arga tertawa kecil. Untung saja teman barunya sangat friendly, membuat Arga merasa seperti sudsh menginjakkan kakinya lama di kelas ini. Baru saja kenal beberapa menit. Rasanya dua pria di hadapannya layaknya sahabat lama.

"Nama gue Rey. Bisa dipanggil Manureyos."

"Lo bukan Manurios. Manurios itu tamvan. Pakai huruf V. Rahangnya tegas, bibirnya tebal, alisnya juga nukik tajam, ada roti sobek di perut. Lah, lo? Pantesnya jadi Panurios!" celetuk Dimas sembari terbahak keras. Begitu juga dengan Arga, pria itu ikut terbahak. Sedangkan Rey yang diejek nampak menekuk wajahnya.

"By the way, Ar. Lo mau tau siapa nama panjangnya nih bocah?" tanya Dimas sambil melirik Rey.

Arga hanya mengangguk, mengiyakan.

"Nama panjangnya Re-"

Penjelasan Dimas terjeda akibat mulutnya dibekap oleh tangan Rey. Dimas memberontak meminta untuk dilrpaskan, tapi Rey tetap bersikeras agar image-nya terjaga.

"Jangan dengerin, Ar!"

Arga terkekeh kecil melihat dua teman barunya itu. Kocak dan receh seperti dirinya.

"Berisik."

Ketiga pria itu kontan melempar pandangan ke sumber suara.

"Eh, batu kok bisa ngomong, ya?" tanya Dimas dengan mulutnya yang telah bebas dari bekapan tangan Rey. Arga dan Rey pun terbahak melihat ekspresi Gio yang terlihat marah. Namun, Gio memilih untuk diam. Karena rasanya akan membuang waktu jika membalas ucapan teman gilanya.

"Gue mau ke belakang, bosen."

Dimas mengernyitkan kening. "Emang lo tahu tempat-tempat di sini?" Arga menganggukkan kepala sebagai jawaban.

Dimas menghela napas lega. "Oke, hati-hati nanti nyasar."

"Lo kira gue bocil apa," decak Arga yang disambut gelakan tawa oleh Dimas dan Rey.

Pria itu beranjak dari tempatnya. Ia melangkah keluar dari kelas. Namun, gerombolan gadis kurang lebih sepuluh orang yang mendekati Arga, membuat pria itu terlontar kaget dan membulatkan mata. Gadis-gadis itu menjerit heboh ketika mereka sempat memegang tangan dari murid baru itu. Mereka berteriak histeris karena saking senangnya.

Arga merasa geli kala dirinya bak makanan sedap bagi para gadis. Ia berusaha untuk mengelak semua sentuhan yang didapat. Sungguh memalukan!

Karena taka da pilihan lain, pria itu pun lari dari keramaian gerombolan tadi. Sepanjang koridor, Arga menjadi pusat perhatian oleh murid lain. Semakin lama, semakin banyak yang mengejarnya. Arga tidak peduli, ia lari secepat mungkin dengan perasaan ketakutan tersendiri dalam hati.

Dan akhirnya berhasil walaupun endingnya seragamnya menjadi berantakan, dasi lepas, bahkan ikat pinggang terlepas. Terdengar ambigu. Akan tetapi, sebenarnya tidak seperti apa yang dibayangkan. Rambutnya acak-acakan bak orang gila baru di sekolah. Arga menatap miris dirinya di cermin yang tertera di kamar mandi sekolah. Ia menghela napas berat, lalu kembali merapikan penampilannya.

"Gila, sih. Gue habis dikejar apaan barusan? Ngeri!" gidik Arga sendiri.

Usai merapikan, ia pun melangkahkan kakinya untuk keluar dari tempat itu. Namun, ada sesuatu yang membuat langkahnya terhenti sejenak. Sebuah buku tulis yang tepat di bawah sepatunya membuat perhatian pria itu teralih. Ia sedikit membungkukkan tubuh, kemudian tangannya berayun meraih benda tersebut.

Arga meneliti—membuka buku tulis secara pelan. Akan tetapi, tulisan nama pemilik buku beserta kelas membuat Arga mengernyitkan dahi.

"Keisya Mahardika, sepuluh MIPA 5?"

***

Kepalanya terasa pening. Dengan sebuah jus jeruk yang dia pesan, ia hanya menghembuskan napas beratnya beberapa kali. Rumit. Apakah dia harus percaya dengan gadis itu? Gadis yang dengan lancang membuat amarahnya naik. Keterlaluan.

Devon mengacak rambutnya sendiri. Dengan wajah yang terlihat gusar, ia mengusap beberapa kali. Tidak mempedulikan jus jeruk yang sama sekali belum ia sentuh, bahkan sudah tidak dingin lagi.

Ucapan seorang gadis itu menghantui di kepala. Menghiraukan beberapa saksi mata yang melihatnya sangat absurd. Tak peduli suasana kantin sangat ramai.

Beberapa jam yang lalu ....

"Jujur sama gue, lo tau 'kan tentang surat ini?" tanya Devon sembari menyerahkan surat pemberian dari Sang gadis.

Gadis itu malah menunduk, takut akan manusia bak singa di hadapannya yang dengan seenaknya menyeret ke gudang sekolah. Keji. Rasanya ia ingin lari sekarang juga dan berharap tidak bertemu kembali dengan makhluk di hadapannya.

"Kenapa lo diem?" tanya Devon lagi.

"Gu-"

Ucapannya tertahan ketika Devon sontak menarik dagunya.

"Lo punya mata, kan? Gue pengen lihat muka bajingan adek kelas jaman sekarang."

Gadis itu benar-benar merasa takut. Bibirnya gemetaran, seakan kata-kata untuk menjawab dari Si pria tidak bisa dikeluarkan.

Dagunya terasa tergores akibat kuku Devon yang lumayan panjang. Sang gadis yang tengah menahan rasa sakit tak berani menatap lawan bicara. Ia menutup kedua matanya. Napasnya pun tercekat.

"Oh, mata lo buta? Pantes nggak ada sopan santunnya sama kakak kelas," serah Devon sambil menghempas dagu gadis itu.

"Keisya Mahardika?"

Mata Keisya terasa panas. Buliran hangat keluar dari indra penglihatannya. Kedua tangannya menangkup wajah yang penuh dengan geraian airmata. Pundaknya bergetar. Tangisnya pecah.

"Gu-gue nggak seperti apa yang kakak pikirkan."

Devon terkekeh kecil mendengar suara gadis di hadapannya, berbicara terbata dan keringat yang bercampur dengan air mata. Rasanya, Devon semakin membenci adik kelasnya yang satu ini.

"Untung aja lo cewek, kalau cowok mungkin lo nggak akan hidup lagi hari ini."

Keisya bungkam. Tak berani mengatakan apapun. Bukan tak berani, namun mulutnya terlalu lemah untuk mengatakan hal yang sebenarnya.

"Cewek bajingan."

Tangis Keisya kembali menderas. Ia tak kuasa mendengar perkataan pria di hadapannya yang membuat setengah raganya seakan hilang.

Tak peduli dengan buku tulis yang di dekapannya, Keisya tetap menangis. Ia berusaha menahan tangis itu, namun justru semakin mengalir tanpa henti.

Devon berdecih. Menatap miris gadis di hadapannya tidak mengakui kesalahannya, pikirnya.

"Pergi."

Akhirnya hanya kata itu yang menjadi ending dari percakapan mereka. Tapi, Keisya masih tetap dalam posisinya. Tak menggubris pria di hadapannya.

"Pergi, buluk!"

Jleb!

Tangis Keisya makin dibuat pecah saat itu juga. Ia pun berbalik seraya menyeka air matanya. Ia tak merasa jika sesuatu yang sedari tadi di dekapannya jatuh. Tak peduli. Keisya lebih memilih pergi dari hadapan pria bak monster itu.

Devon mengusap wajahnya beberapa kali ketika mengingat kejadian tadi. Ia mengakui bahwa dirinya terlalu kejam. Tapi, hanya dengan cara itu ia bisa mengetahui hal yang sebenarnya. Meskipun tidak menciptakan hasil yang memuaskan.

Akhirnya, pria itu meminum jus jeruk miliknya yang sedari tadi didiamkan, rasanya telah berbeda dari sebelumnya. Terasa sangat asam, seperti perasaannya saat ini.

"Pokoknya gue nggak peduli. Gue harus tahu yang sebenarnya. Sekalipun nyawa cewek itu terancam."

***

Dengan menelenggelamkan wajah di lipatan tangannya, ditambah suasana kelas yang tenang tiada penghuni, Alby tersenyum samar saat ia memasuki alam mimpinya. Dia pun tak menyadari tengah tersenyum saat itu.

"Tuan Puteri. Bangunlah."

"Hei. Satu tambah satu berapa?"

Gadis itu membuka matanya. Ia nampak mengulum senyumnya, dan menjawab, "Dua, lah".

"Kalau gue tambah elo?"

Gadisnya mengerutkan kening, "Nggak tau."

Pria itu mengulum senyum. Perlahan, ia membisikkan sesuatu di telinga gadisnya, "Cinta."

Sang gadis dengan kedua pipinya yang bak kepiting rebus itu pun lari dari hadapan pangerannya. Ia tidak mau terkena senam jantung secara terus-menerus, tidak bisa dikontrol. Sedangkan pangerannya yang jauh di belakangnya terus memanggil namanya.

"Woi, bangun preman! Lo ngapain di sini, bego!"

Alby membuka matanya dengan cepat kala pria di hadapannya menimpuk pundaknya dengan botol air mineral yang berada di genggaman Sang pria. Sial. Mimpi lagi. Bisakah pangerannya tadi ada di dunia nyata ini? Bukan hanya di dunia mimpi yang membuat dirinya terbang dengan harapan-harapan mimpi itu.

Alby beranjak dari posisinya. Berdiri di hadapan pria yang membuatnya naik pitam.

"Lo yang ngapain di sini?!"

"Banyak yang ngerubungin gue tadi. Nggak usah bacot kalau jadi cewek!"

"Udah, mending sekarang lo pergi. Gue mau tidur. Mau ketemu tuan Puteri, daripada ketemu sama lo, bingkisan dosa!" sambung Arga.

Alby menggeram kesal. Ia mengepalkan tangannya, bersiap memukul wajah tengil pria di hadapannya. Namun, niatnya gagal ketika Sang pria dengan wajah tidak berdosa itu mengguyur seluruh tubuh Alby dengan botol air mineral yang sedari tadi dibawa. Seragam Alby basah kuyup, dari rambut sampai kaki.

"Biar nggak molor terus, sesekali emang harus disiram lah, ya."

Alby terkejut bukan main dengan apa yang pria itu lakukan. Ia menatap sekujur tubuhnya yang sangat basah. Lalu, tatapan tajamnya dilempar ke arah Sang pelaku.

"Lo udah bosan hidup, ya?"

Pagi kembali menyapa. Langit hari ini tidak secerah biasanya. Awan hitam yang pekat menutupi, membawakan efek gelap bagi bumi. Namun, mendungnya langit tak membuat aktivitas manusia terhalang. Mereka semua sudah keluar rumah untuk pergi ke tempat tujuan. Jalan kota telah rama dengan kendaraan. Banyak anak sekolah, para pekerja atau hanya sekadar membeli sesuatu ke pasar nampak berlalu-lalang. Tak heran ada beberapa bagian jalan yang macet seperti biasa, membuat orang-orang terkadang harus melewati jalan pintas. Layaknya seorang papa dan anak yang berada di mobil yang sama. Sedari tadi keduanya terdiam. Gadis berambut sebahu yang duduk di kursi belakang hanya mendengarkan alunan lembut yang berasal dari headset. Lagu yang mengalun indah dari ponsel setidaknya membuat Caca tenang.

Jujur saja, dia masih kesal dengan perlakuan papanya kemarin. Sangat membuat dadanya sesak. Tanpa rasa bersalah pun Arya masih membahas topik kemarin. Benar-benar membuat Caca muak dan itulah mengapa headset tersimpal manis di kedua telinganya.

Mobil berhenti tanpa sadar. Namun, Caca belum melepas benda itu di telinga, dia juga belum membuka mata. Papanya menghela napas. "Ca, papa duluan, ya. Kamu hati-hati di jalan. Belajar yang rajin,"ucapnya sambil mengelus puncak kepala Caca. Arya pun keluar dari mobil tanpa menunggu jawaban dari anaknya. Karena ia tahu, Caca tidak akan menjawabnya.

Sopir pribadi Caca pun menginjak gas kembali dan melaju cepat menuju sekolah. Seperti biasa, Miya berangkat lebih dulu darinya dikarenakan ada jam tambahan di waktu pagi bagi kelas 12. Alhasil, Caca berangkat sendiri lagi. Karena tahu akan terjadi kemacetan pada jalan utama, Caca menyuruh sang sopir agar melewati jalan pintas seperti kemarin. Awalnya, sopir pribadi Caca ragu karena takutnya mobil-mobil akan dihalangi oleh remaja nakal yang sering mengganggu perjalan. Namun, Caca meyakinkan.

Ia kontan mengernyitkan kening saat melewati jalan pintas yang aman dan damai. Tidak terjadi kemacetan sedikitpun. Caca melempar headset yang sedari tadi ia kenakan. Tatapannya meneliti seluruh sudut jalan dari dalam kaca mobil. Sesuatu yang ia cari pun ditemukan. Akan tetepai, saat itu berbeda kondisi. Caca sontak menyuruh sopirnya untuk menepikan mobil.

"Non, mau ke mana?"

Seraya membuka pintu, Caca menjawab, "Tunggu aku sebentar ya, Pak. Nanti aku balik lagi." Usai mengatakan hal itu, ia berlari menuju ke tepi jalan menghampiri lima pria yang berada di sana. Caca menganga saat melihat salah seorang dari mereka terluka, tak lain Louise. Si Pria berkacamata yang menjadi pria terkalem di geng Alaska.

Semua tatap para pria langsung teralih saat Caca datang. Gadis itu terlihat berjongkok, lalu menatap lengan Louise yang terdapat bercakan darah. Caca memegan lengan pria itu, kemudian ia meraih sesuatu dari dalam tas yang tak lain mengeluarkan kotak P3K. Dia dengan lihai mengobati luka yang ada pada lengan Louise. Tanpa mengatakan apapun, anggota Alaskan nampak memperhatikan cara gadis itu dalam mengobati luka. Tak lama kemudian Caca pun selesai mengobati lengan Louise. Ia kembali memasukkan kotak P3K ke dalam tas.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login