Download App

Chapter 2: Pria Misterius

Hati Amora terasa hampa. Langkahnya yang gontai menyusuri jalanan yang kini asing baginya, harus tetap dilaluinya walau terasa sangat berat.

Tidak ada yang peduli padanya. Hanya membawa sebuah tas dengan pakaian seadanya, ponsel, dan dompet dengan uang tidak seberapa, membuat Amora merasa bahwa dia tidak bisa pergi terlalu jauh dari tempatnya dibesarkan.

Bahkan kini harapannya untuk bisa melanjutkan hidup sepertinya sirna. Amora tidak bisa berbesar hati menerima kenyataan pahit yang terjadi dalam hidupnya.

Perih! Rasa itulah yang bisa menggambarkan bagaimana kondisi jiwanya saat ini.

Kesuciannya telah terenggut oleh orang asing yang tidak dikenalnya, bahkan foto-fotonya beredar tanpa permisi sehingga membuatnya harus menanggung malu yang sangat luar biasa melukai harga dirinya.

"Hidupku memang hanya sampai hari ini. Terima kasih karena telah memberiku napas hingga detik ini." Amora menatap lekat ke arah aliran sungai yang berada tepat di bawah jembatan yang kini menjadi tempatnya berpijak.

Tidak ada hujan yang menemaninya, hanya lantunan mentari senja yang bersiap menyambut kegelapan. Seperti rasa dalam hatinya. Gelap.

Semua hal telah lenyap dalam hidupnya dalam sehari. Kasih sayang ibunya, harga diri dan kehormatannya, bahkan semua teman-temannya pergi dari sisinya karena merasa jijik.

"Ya, selamat tinggal. Kenanglah aku sebagai Amora yang bagi kalian sangat memuakkan! Kenanglah aku sebagai Amora yang hina. Dunia ini memang bukan tempatku." Senyum getir Amora mengiringi luapan isi hatinya yang terus terlontar dari bibir mungilnya.

Tidak ada kendaraan yang melintas di sekitar jembatan ini. Sepi. Sama sepinya dengan hati Amora yang sudah tersakiti. Hanya semilir angin yang lalu lalang menyapu wajahnya. Kini Amora seperti sudah sangat memantapkan hatinya.

Ditapakinya ujung atas jembatan yang hanya menyisakan jarak satu meter dari pembatas. Pandangannya sudah mulai kabur karena Amora hanyalah seorang wanita lemah yang takut ketinggian.

Amora merentangkan tangannya. Berteman sepi, dengan air mata yang mengalir membasahi wajah cantiknya, Amora memejamkan matanya. Harapan hidupnya sudah tidak ada lagi.

"Selamat tinggak duni--"

Buugghh ....

Tubuhnya kini terjatuh tersungkur.

Bukan hanyut mengikuti aliran air sungai yang begitu deras di bawah jembatan yang dipilihnya. Namun, dia terjatuh di atas tubuh seseorang yang entah siapa.

"Aroma ini ...." Amora membatin saat mencium aroma tubuh pria yang begitu familiar. Dibukanya kedua matanya untuk memastikan segalanya.

Tubuh mungilnya yang menindih tubuh pria itu perlahan secara alamiah mulai bergerak menjauhi tubuh pria dengan aroma familiar itu.

Amora bergulir ke sampingnya. Dia belum berani melihat wajah pria yang mengagalkan aksinya. Ya, Amora gagal mengakhiri hidupnya.

"Ka-kamu siapa?" pekik Amora yang sudah sadar sepenuhnya dari keterkejutannya. Dia kini duduk sambil merapatkan kedua kakinya dan memeluknya erat.

Pria itu bergegas beranjak dari posisinya yang telentang di sisi jembatan. "Jangan sia-siakan hidupmu hanya karena sekumpulan manusia kotor seperti mereka! Balaskan dendammu, kalau perlu lebih kejam dan menyakitkan dari apa yang kamu alami, Amora!" ucapnya dengan tatapan mata tajam setajam belati anyar.

Amora menggelengkan kepalanya. Dia tidak kenal siapa pria ini. Namun, mengapa pria ini mengetahui namanya, bahkan juga mengetahui masalahnya.

"Katakan padaku, siapa kamu? Kenapa kamu tahu namaku?"

"Apa menurutmu itu perlu?"

"Katakan!"

"Ikutlah denganku, maka aku akan memberitahumu siapa aku!"

Amora menggelengkan kepalanya dengan cepat. Dia tidak mau ikut tangan pria itu hanya karena diiming-imingi akan diberitahu identitasnya. Amora bukan wanita bodoh lagi yang bisa terpedaya seperti itu.

Sejujurnya dia masih sangat trauma pada sentuhan pria sejak hari di mana kesuciannya direnggut. Jangankan untuk bersentuhan, Amora bahkan takut untuk menatap mata pria. Apalagi pria yang saat ini duduk di hadapannya. Sekilas Amora sempat melihat biru manik matanya yang begitu tajam.

"Kamu pikir dengan kamu bertindak seperti ini, maka semuanya akan berakhir? Kamu terlalu bodoh kalau menyia-nyiakan sisa umurmu dengan mengakhirinya seperti ini!" Ucapan pria itu tajam. Sangat tajam sampai terasa menusuk hati Amora.

Amora masih tertunduk. Dia tidak berani untuk mengangkat wajahnya. "Jangan ikut campur masalahku. Kita bukanlah orang yang saling mengenal untuk kamu terlibat dalam hidupku!"

"Apa kamu yakin?" tanya pria itu sinis.

Amora mendongak. Kali ini dia bisa dengan jelas melihat wajah pria yang sejak tadi bicara dengannya.

Tampan!

Hanya satu kata itulah yang terngiang di benaknya ketika dia melihat visual nyata pria itu. Meskipun Amora masih sangat takut kepadanya. Dia kemudian kembali menunduk setelah beberapa detik terpesona oleh ketampanan pria itu.

"Amora ...," ucapnya lembut. Sangat lembut sampai Amora merasakan kehangatan dari suaranya.

Pria itu menarik napasnya panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Amora bahkan bisa mendengar dengan jelas irama napasnya karena di tempat ini terlalu sepi.

Amora hanya meringkuk. Dia menyesali dirinya yang salah memilih tempat untuk mengakhiri hidupnya. Seharusnya dia memilih jembatan lainnya dan bukan di jembatan ini. Jembatan di dekat tempat dia dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh ibunya sebelum pindah ke rumah barunya yang mewah.

"Aku mengenalmu dan mengetahui dengan baik bagaimana kehidupanmu. Aku bahkan mengetahui apa yang membuatmu berada di tempat ini dan memilih untuk mengakhiri hidupmu. Aku bukanlah orang asing." Pria itu menjeda penjelasannya.

Didekatinya Amora yang masih meringkuk ketakutan. "Amora, biarkan aku membantumu untuk membalaskan semua rasa sakit yang sudah kamu rasakan. Kamu tidak pantas untuk mendapatkan perlakuan seperti ini!"

Kata-kata pria itu sama sekali tidak bisa dicerna oleh Amora dengan baik. Ini terlalu tidak masuk akal baginya. Pria asing ini berkata seperti dia adalah seorang teman yang sudah mendampingi Amora sejak kecil.

Amora sendiri tidak pernah merasa bahwa dia pernah bercerita kepada orang lain tentang apa yang dialaminya selama ini. Jadi, sangat mustahil baginya jika ada orang yang mengaku begitu mengenalnya dan mengetahui semua masalah hidupnya.

"Aku tidak mengenalmu! Aku mohon pergi dari sini dan biarkan aku untuk mengakhiri hidupku dengan baik dan dalam diam. Aku tidak butuh orang untuk mengasihaniku!" teriak Amora saat tangan besar pria itu mencoba untuk menyentuh kepalanya.

Amora tersentak. Pria itu dengan paksa membelai lembut pucuk kepala Amora. Tentu saja Amora segera berusaha untuk menghindarinya. Dia tidak ingin disentuh oleh seorang pria yang bahkan tidak dikenalnya.

Dihempaskannya tangan besar pria itu. Amora menunjukkan penolakan yang begitu besar pada pria yang sejak tadi membuatnya takut itu.

"Jangan sentuh aku!" teriak Amora lirih. "Aku sudah tidak suci lagi, jadi percuma kalau kamu mau melakukan hal aneh kepadaku!" pekiknya.

Pria itu menarik diri. Dia tahu bahwa teriakan Amora itu mengandung kepedihan yang mendalam. Sangat dalam sampai sukmanya terasa sakit mendengarnya.

"Amora, aku minta maaf. Benar-benar minta maaf. Aku hanya ingin membantumu. Tidak lebih." Pria itu tersenyum getir. Dia berharap bahwa Amora bisa mempercayai ucapannya walau hanya sedikit saja.Wanita ini harus bisa diselamatkan.

*****


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login