Download App

Chapter 67: Terbawa angin

Baru saja kami selesai makan pagi ketika Kenny tiba untuk menjemputku. Kalau tidak ingat kejadian kemarin dan foto-fotonya, aku pasti terus terpesona pada tatapan matanya. Richard tidak mengajaknya bicara mereka berdua hanya saling memandang.

"Maaf kemarin Dri," kata Kenny kepada adik iparnya. Adriana mengangguk sambil melirik Richard.

"Temui mama, lalu balik ke sini." Kata Richard kepadaku.

"Tidak perlu ikut mengatur, Laura datang untukku bukan yang lain." Kata Kenny kepadanya.

Sebelum ketegangan di antara mereka meninggi, aku segera menyela.

"Rick, kurasa aku ingin tidur bersama mama, dan esok pagi langsung pulang. Jadi sekalian aku pamit," kataku lalu berjalan memeluk Adriana.

"Secepat itu…" Adriana bergumam.

Aku menepuk bahunya tetapi dia meringis kesakitan, aku lupa dia cedera di punggungnya.

"Maaf… maaf… Dri baik-baiklah bersama Richard, aku mencintai kalian." Kataku membuat Adriana mempererat pelukannya.

"Tinggalah satu malam lagi bersama kami?"

Aku menatap matanya rasanya banyak yang ingin kukatakan kepada Adriana tetapi tidak ada yang keluar dari mulutku. Aku menyalami Richard dan mencium pipinya.

"Aku tahu kamu orang yang baik dan penuh perhatian. Terima kasih Rick."

"Laura…" Tangan Richard menggenggam kedua tanganku dan meremasnya.

"We love you. Kuharap kamu akan bahagia dan baik-baik." Katanya.

"Thanks." Aku menggigit bibirku karena Richard mungkin sudah merasa bahwa aku tidak akan kembali. Kutarik nafas dan sekali lagi memandangnya.

"Bye…" cepat-cepat aku membalikkan badan. Aku merasa kehilangan mereka berdua.

Suasana canggung terjadi selama perjalanan bersama Kenny. Dia mengemudi dengan tenang, sesekali melihat padaku.

"Ken, tidak ada yang ingin kamu katakana?" aku mencoba mengajaknya bicara.

"Ummm… bagaimana kamu akan mengatakan kepada mama, hari ini datang dan besok pagi pulang? Apa kamu memikirkan perasaan mama?"

Nah… aku lagi yang salah dan Kenny memanfaatkan mama serta kelemahanku menghadapi mama. Dia bisa membayangkan perasaan mama tetapi tidak mempertimbangkan perasaanku.

"Serahkan padaku." Jawabku.

"Rencanaku siang ini akan mengajak mama dan kamu menginap di rumah baru. Mama kemarin …"

"Big NO!" aku memotong kata-katanya.

"Kenapa?"

"Aku ingin tidur bersama mama di kamarnya."

"Tapi aku sudah menyiapkan untuk makan malam di rumah baru dan mengundang beberapa teman dan keluarga."

"Maaf Ken, kamu tidak membicarakannya dulu denganku. Aku sedang tidak ingin bertemu dengan orang banyak."

"Laura, bagaimana jika tamu-tamu datang?"

Semakin kusadari Kenny berusaha dominan dan memaksakan kehendaknya serta memanfaatkan kelemahanku. Sebenarnya aku sudah akan mengatakan 'bukan urusanku' tetapi aku tidak ingin terlihat kekanak-kanakan.

"Maaf Ken, aku tidak siap, maukah kamu mengerti?" suaraku melunak.

"Tidak." Jawabnya bebal.

Kupikir tidak ada gunanya berdebat dengannya, maka aku mendiamkannya.

Mama terlihat lebih sehat dibanding saat aku mengunjunginya beberapa bulan yang lalu. Dia terlihat sangat gembira, bibirnya tersenyum lebar dan matanya berbinar.

"Anakku, kemarilah." Mama duduk di kursi roda.

"Ma…" aku berlutut dan mencium tangan mama lalu meletakkan kepala di pangkuannya. Aku tidak akan sanggup mengatakan kalimat perpisahan dengan mama. Pasti, bahkan aku juga tidak tahu bagaimana menjelaskan jika besok pagi aku pulang.

Kenny membawa koporku turun. Baru saja aku mengatakan tidak perlu menurunkan koper. Untuk satu malam saja aku cukup membawa tas kecil, ada perlengkapan mandi, satu baju tidur dan pakaian dalam serta kaos untuk ganti esok.

"Laura kamu akan tinggal lebih lama? Kulihat kopormu besar? Seru mama.

Aku tidak menanggapi kata-kata mama melainkan menyodorkan bungkusan hadiah untuknya. Kubelikan mama selembar scarf sutera Almond blossom karya Van Gogh

"Aduh indah sekali, bahannya lembut dan warnanya unik."

"Pelukisnya membuat gambar ini sebagai kenangan kelahiran keponakannya. Saya juga suka warnanya, Ma… sebentar lagi udara dingin jadi mama bisa memakainya." Kataku.

Kenny ke dapur untuk membuat minuman dan dia kembali dengan membawa minuman panas, secangkir kopi untuknya dan satu teapot teh untuk mama dan aku.

"Ma, saya sudah bilang sama Ken, nanti ingin tidur bersama mama." Kataku. Ini adalah caraku menghindari Kenny.

"Hey… Laura… aku…" Kenny menyela.

"Biar sudah, mama juga senang, hanya saja kamarnya kotor dan bau."

"Saya akan membantu membersihkannya." Jawabku lagi.

"Taruh Kasur lipat di bawah, Kenny bisa ikut tidur di situ kalau mau, kamu bersama mama di atas."

"Okay."

Siang itu mama sangat gembira sehingga dia lupa jam istirahat dan tidak tidur setelah makan siang dan minum teh lagi seore harinya.

"Apa kalian sudah memutuskan tanggal pernikahan?" tanya mama sore harinya.

"Sebenarnya sudah." Kenny menjawab dengan cepat sekali.

"Tetapi Laura datang ini untuk membahas perubahannya, mungkin kami akan mempercepatnya."

Rasanya ingin aku melempar kepalanya dengan sepatuku.

Senyum mama semakin lebar , wajahnya yang terlihat tulus dan berbahagia semakin melukai hatiku. Apakah Kenny tahu jika hatiku menangis? Perbuatannya telah membuat semua impianku dan harapan mama tidak akan terwujud. Kenny belum mengatakan permintaan maaf dan sepertinya terlalu percaya diri bahwa aku akan menuruti semua kemauannya. Aku menatapnya dengan kesal dan Kenny membalas tatapan itu dengan mata elangnya. Kami bertatapan mata seperti akan saling menerkam.

"Kamu terlihat semakin cantik, honey, betul kan ma?"

Dia mendekatiku dan memelukku dari samping lalu mencium pipiku. Kenny mencuri kesempatan.

Kenny ingin aku mengikuti permainannya di depan mama. Okay, kita lihat nanti. Aku memberinya senyum yang kuusahakan semanis-manisnya. Kenny tertegun mungkin tidak membayangkan reaksiku.

"Laura I love you more deeper."

"You think?"

"Kamu pasti tahu dan merasakannya." Kata Ken dengan senyum melebar.

Sekitar 30 menit kemudian mama menguap dan minta pamit istirahat sebentar.

Kenny menarik lenganku dan akan memeluk tubuhku ketika kami tinggal berdua.

Aku bergeming dan memejamkan mata. Betapa menyakitkan, aku ingin berada di dalam pelukannya, namun seketika itu aku terbayang perempuan yang kemarin kulihat keluar dari kamar tidurnya. Tubuhku terasa kaku dan air mataku berlinang.

"Hentikan… aku, aku tidak bisa." Kataku dengan gemetar.

Kenny melepas pelukannya lalu duduk.

"Ken… kamu tahu, kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini." Kataku.

"Oh Laura, biar waktu yang mengaturnya, aku sudah berjanji kepadamu, kita menikah dan pindah ke rumah itu."

"Apa alasanmu menikah?" tanyaku.

"Aku mencintaimu dan ingin kamu menjadi istriku, ibu dari anak-anak kita… Laura, itu kan mimpi kita sejak dulu."

"Kamu tidak pernah mencintaiku, aku yang mencintaimu dan kamu memanfaatkannya," Kataku.

"Mengapa berpikir begitu?"

Kenny mendekat dan berusaha meraih tubuhku tetapi aku mengelaknya.

Kurogoh tas untuk mengambil handphone lalu membuka galeri foto dan menyodorkan hp itu kepadanya.

"Bahasa cintamu sungguh unik, apakah ini yang kamu sebut cinta? Bisa menjelaskannya?"

Kenny memandangku lalu kembali melanjutkan melihat koleksi galeri foto dan menemukan foto-fotonya sendiri.

"Ken, aku penganut monogami. Semoga kamu mengerti."

Dulu saat mendapati Kenny bersama Marina, aku menangis dan menghilang. Sekarang aku lebih kuat dan mampu menghadapinya. Aku ingin Kenny tahu bahwa aku bukan perempuan cengeng yang akan meminta kepadanya untuk kembali kepadaku dan merengek agar dia setia kepadaku. Kejujuran tidak ada pada Kenny, aku tidak bisa melanjutkan hubungan dengannya.

"Darimana kamu dapat ini?"

"Apakah penting? Aku juga tahu bahwa ini bukan satu-satunya perempuan yang menghiburmu. Oh Ken… kukira aku mengenalmu, laki-laki yang sangat aku hargai dan hormati, harusnya aku sadar bahwa kamu tidak pernah mencintaiku."

"Laura itu tidak benar. Kamu pasti tahu."

"Kalau cinta, kamu tidak akan mengkhianatiku."

"Hatiku hanya untukmu. "

"Apa yang kamu lakukan? Bercinta dengan banyak perempuan tetapi mencintai satu orang saja… oh bukan bercinta tetapi bersetubuh!" aku hampir kehilangan kendali.

Kuatur nafas dalam sampai aku menjadi tenang.

"Kenny, mari kita sudahi. Terima kasih kamu sudah sempat memberikan rasa bahagia untukku dan menghiburku. Semoga alam semesta akan mencatat dan mengmbalikan kebaikan-kebaikan itu kepadamu."

Ruangan terasa sunyi. Kalau ilmu pengetahuan sudah maju, mungkin aku akan segera memanfaatkan teknolgi itu untuk seketika meninggalkan tempat ini, dalam sekedipan mata.

"Oh ya… aku hanya ingin tidur dengan mama, jangan paksa aku ikut pestamu."

"Laura… aku akan menjadi suamimu, memperhatikanmu dan menyayangimu." Katanya sambil meraih tanganku dan menciuminya.

Perasaanku terasa hambar, cintaku kepada Kenny sepert terbang bersama angin atau menguap di udara.

Aku berdiri menuju kamar tidur mama.

"Laura kembalilah… Laura aku membutuhkanmu." Dia membuntutiku.

"Tinggalkan aku… aku bisa hidup sendiiri dan sudah terbiasa. Aku… aku tidak membutuhkanmu." Kataku sambil masuk ke kamar mamanya.

"Jadi ini maumu, karena dokter di Belanda itu? Siapa namanya, Eric?"

Aku membalikkan badan menghadapi Kenny, sungguh dia yang bersalah tetapi tidak minta maaf malah menuduhku.

"Sayangnya… kita harus berpisah. Mari baik-baik pisahnya, aku tidak menaruh dendam dan kudoakan kamu menemukan cintamu yang sesungguhnya."

" Laura, aku bisa menjelaskannya."

"Terima kasih untuk kebaikkanmu."

Malam itu aku makan berdua dengan mama sementara Kenny ke rumah barunya. Dia melakukan panggilan video call dan mengarahkan kamera ke teman-temannya.

"Laura, mereka menyampaikan salam untukmu, sayang sekali kamu tidak bisa hadir, tetapi mereka mengerti bahwa kamu kelelahan dan kurang enak badan." Kata Kenny. Aku hanya bisa melambaikan tangan dengan lesu. Bagus sekali dia memberi alasan seperti itu. Bapak guru yang sopan dan disegani, harus selalu sempurna di depan orang banyak.

Selesai membersihkan meja makan aku dan mama masuk ke kamar dan kami mengobrol lama. Aku tidak bisa mengatakannya kepada mama karena aku tidak ingin melukainya.

"Mama yang sehat ya… saya selalu berdoa untuk mama." Aku menyandarkan kepala ke bahunya yang kurus.

"Terima kasih anakku, alangkah bahagianya mama kelak menyaksikan pernikaan kalian dan lahirnya cucu-cucu…"

Aku menitikkan mata membayangkan bila impian mama tidak bakal terwujud.

Kutinggalkan Pulau Bunga dengan hati hampa tetapi aku lega telah membuat keputusan ini.

Kenny mengantarku ke bandara.

"Laura, jangan membuat keputuan apa pun… aku akan mempersiapkan semuanya.

"Bye Kenny" aku hanya mengucapkan kalimat pendek itu tanpa berusaha mendengar yang lainnya. Cintaku telah terbawa angin yang menerbangkannya menjadi serpihan-sepihan kecil dan tiada artinya.

Kenny akan menjadi masa laluku.

***


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C67
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login