Download App

Chapter 2: Dibawa ke Apartemen

POV KENNETH IMMANUEL

Aku mengangkat tubuh mungil gadis itu ke dalam mobilku. Mungkin ia kelelahan sekali sehingga tidak terbangun bahkan saat tubuhnya kuangkat-angkat seperti itu.

"Kita mau ke mana, Tuan?" tanya Niko, salah seorang bodyguardku yang juga merangkap jadi supir.

"Apartemenku," jawabku.

Niko dan Oscar tampak saling pandang. Dua bodyguardku itu pasti heran mendengar aku akan membawa seorang gadis ke apartemen, karena selama ini aku tidak pernah membiarkan satu orang gadis pun memasuki ranah privasiku.

"Cepat!" perintahku. Entah kenapa tubuh wanita ini yang makin dingin dan pucat membuatku khawatir. Aku takut dia tak hanya sekedari tidur, tapi pinsan.

Niko melajukan mobil. Sekitar dua puluh menit kemudian, kami sudah tiba di apartemenku. Aku membaringkan tubuh gadis itu di atas tempat tidur. Tak lupa pula kunyalakan penghangat ruangan karena tadi gadis itu sempat mengatakan dirinya kedinginan.

"Apa yang akan Tuan lakukan dengan gadis itu?" tanya Oscar. Niko langsung menepuk bahu Oscar seolah mengatakan bahwa Oscar tidak pantas berucap demikian pada majikannya.

"Entahlah," jawabku. "Oh ya, kenapa kalian membiarkan gadis ini masuk ke ruanganku tadi?"

Niko dan Oscar kembali saling pandang. "Bukankah dia wanita yang Tuan pesan?" tanya Niko dengan nada ragu.

"Tidak. Aku hanya memesan satu wanita malam ini," jawabku.

"Oh, maafkan kami Tuan, kami pikir-"

Aku mengibaskan tangan. "Sudahlah, tidak apa-apa. Mungkin salahku juga yang tidak memberitahu dengan jelas pada kalian," ucapku.

"Oh ya, siapkan makanan. Wanita ini pasti lapar setelah terbangun nanti."

Oscar langsung bergegas mengambilkan daging segar dari dalam lemari.

"Hei, apa yang kau bawa ini? Mana mungkin gadis itu akan makan daging mentah seperti itu!" bentakku. Meski badan Oscar lebih besar dari Niko, tapi soal kapasitas otak, Oscar sangat payah.

"Oh, maaf, Tuan! Aku pikir dia sebangsa dengan kita. Lagipula, tak ada menu lain di dalam lemari es," ucap Oscar terdengar lugu.

"Kau carikan di luar. Ingat, makanan yang umum di makan oleh manusia!" tegasku.

Oscar dan Niko pun bergegas ke luar untuk menjalankan perintahku. Sementara aku kembali menemui gadis tadi yang masih berbaring di atas ranjang. Kembali kuperhatikan wajahnya, begitu cantik dan polos, seperti tak ada dosa di wajah itu. Mungkin ia adalah gadis baik-baik yang baru pertama kali masuk bar. Pasti ia sedang dalam masalah.

Melihat gadis itu tak kunjung bangun, aku jadi semakin khawatir. Terlebih ia tidur dalam posisi diam, tidak bergerak sama sekali. Maka kudekatkan telunjukku ke lubang hidungnya, untuk memastikan ia masih bernapas. Masih ada hembusan napas, tapi samar sekali. Ide konyol mulai muncul di kepalaku. Kupencet hidung mungil gadis itu sehingga kedua lubang hidungnya tertutup. Ia langsung gelagapan, mulutnya mangap-mangap mencari oksigen. Syukurlah gadis itu tidak mati. Bergegas kulepaskan tanganku dari hidung mungilnya.

"Oh, apa yang kau lakukan! Apa kau lakukan? Apa kau ingin membunuhku?" cerca gadis itu sambil berusaha duduk dan melotot menatapku. Ah, aneh sekali. Tadi dia mengemis-ngemis meminta pelukanku, kenapa sekarang jadi memaki-maki seperti ini?

"Aku pikir kau sudah mati. Kau tidak bergerak sama sekali sedari tadi," balasku.

Gadis itu tampak diam. Ia turun dari ranjang.

"Kau mau ke mana?" tanyaku.

"Mau pulang," jawabnya.

"Sekarang sudah jam dua pagi. Besok saja pulang, biar diantar oleh supirku."

"Hah? Apa kau pikir aku sudi menginap di sini denganmu? Tidak akan!" makinya. Ia mengedarkan pandangan untuk mencari pintu ke luar, namun kembali menatapku saat sedang menyadari satu hal. "Oh, ini bukan bar yang tadi. Tempat apa ini? Di mana aku sekarang?" tanyanya.

"Kau sedang di apartemenku. Aku yang membawamu ke sini-"

"Brengsek!"

Plakk!

Telapak tangan gadis itu menampar pipiku. Kurang ajar sekali! Ingin rasanya kukeluarkan taring dan cakarku untuk mengoyak tubuh itu. Untung saja aku masih menahan diri. Ia ke luar dari apartemen bertepatan dengan Niko dan Oscar yang hendak masuk.

"Nona! Nona mau ke mana?" Oscar tampak berusaha mencegahnya.

"Tidak usah dikejar!" cegahku. "Ternyata aku hanya membuang-buang waktu membawa gadis itu ke sini," dengusku.

"Lalu bagaimana dengan makanan ini, Tuan?" tanya Niko.

"Buang saja atau berikan saja pada security di bawah."

"Untukku saja! Makanan manusia juga lezat, kok, meski tak membuat perut kenyang." Oscar menyambar makanan di tangan Niko.

Aku berbalik badan, meninggalkan dua bodyguard yang masih berebut makanan itu. Kembali kumasuki kamarku. Aku meraba pipi, tamparan gadis tadi masih terasa melekat di sana. Sial! Berani-beraninya dia menamparku! Kalau aku tahu aku begini jadinya, pasti tidak akan kuberikan pelukanku padanya tadi. Dasar gadis tidak tahu terima kasih!

***

POV SHEINA CHARLOTTE

Untung aku masih menyisakan dollar di dompet untuk ongkos, sehingga aku masih bisa pulang ke rumah dengan menggunakan sebuah taxi. Badanku sudah lebih hangat, tapi jika berlama-lama bersentuhan dengan angin malam, mungkin aku akan menggigil lagi.

Aku tiba di rumah pukul tiga dini hari. Hellena belum tidur. Ia masih duduk merenung sambil menatap foto ayah. Dua botol wine yang sudah kosong tergelatak di atas meja.

Hellena mendelik menatapku. "Kenapa pulang? Kupikir kau sudah ke neraka menyusul ayah," sindirnya tajam.

"Ayahku tidak ada di neraka. Ayahku ada di surga," sahutku. Perdabatan sore tadi di pemakaman masih membekas di dada dan ingatakanku. Melanjutkan perdebatan dengan kakakku itu, akan membuat batinku terasa sakit. Aku pun berlalu masuk kamar.

"Kau harus membayar kematian ayah! Kau juga harus mati!"

Kudengar Hellena berteriak-teriak di ruangan itu. Aku menutup telinga rapat-rapat. Jika menuruti perkataan Hellena, aku mungkin juga ingin bunuh diri. Tapi satu hal yang aku pikirkan, sepanjang hidupnya ayah selalu berusaha agar aku bisa hidup lama. Jika aku memilih mati, maka itu artinya aku mengkhianati perjuangan ayah. Tidak. Aku tidak ingin mengecewakan ayah.

Pikiranku teralihkan pada laki-laki yang kutemui tadi. Tatapannya dingin tapi tubuhnya begitu hangat. Pelukannya berhasil menyembuhkan sakitku yang sedang kambuh. Barangkali jika berada di sebelahnya, aku bisa lebih bebas beraktivitas.

Oh, apa yang aku pikirkan ini? Tidak! Aku tidak ingin dekat-dekat dengannya. Aku masih ingat apa yang ia lakukan dengan seorang wanita di dalam ruangan VIP bar itu. Ia pasti laki-laki hidung belang. Bahkan mungkin saja, ia juga berniat melakukan hal yang sama padaku saat membawaku ke apartemennya tadi. Apa jangan-jangan ia sudah melakukannya?

Mataku terbelalak. Bergegas aku mengecek pakaianku sendiri. Pakaianku masih utuh, kaus kaki sampai sarung tangan masih terpasang, belum ada yang ganjil rasanya. Huffft! Aku menghembuskan napas lega. Aku langsung merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Hari ini terasa berat sekali.


Load failed, please RETRY

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login