Download App

Chapter 2: BAB 02 – Kenangan Lalu 

Suara desah napas Kania yang semakin memburu, terdengar berpadu bersama hela napas halus sang pemilik bibir yang sedang mengecupinya. Dan ketika rasa itu semakin tak tertahan lagi, si gadis terlihat menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan sambil merintih.

Bulir-bulir keringat pun nampak membasahi kening, saat ia menengadahkan kepalanya dalam mata yang terpejam rapat. Lalu bibirnya yang separuh terbuka itu, terus saja tak henti memperdengarkan desis dan desah lembut dalam kesyahduan angannya.

Saat segala rasa yang semakin saja merejam dirinya, kinipun telah saja kian menggelorakan gairah. Hingga sesuatu yang ada di dalam diri, dengan kuatnya menguasai serta menuntut agar melakukan sesuatu yang bisa membuat dirinya lega.

Dada Kania yang terasa begitu penuh, kini telah saja membuatnya tersengal dan sulit bernapas. Lalu setelah keinginan itu tak dapat ia kendalikan, diraihnya kedua telapak tangan yang masih memeluknya dari belakang itu untuk menyentuh dadanya yang sesak.

Dengan seketika, Kania pun menjerit disaat telapak tangan itu dengan patuh menurutinya dan kini bergerak mengelus dan meremas tubuh bagian atasnya dengan lembut. Merasa mendapatkan sebuah pelampiasan sementara, digeliatkan punggungnya untuk membuat bagian depan tubuh atas yang masih mengkal itu semakin kuat tersandera remasan dengan semakin erat.

Sedemikian menghayati kenikmatan yang ia dapatkan, Kania kembali terdengar mengerang sembari kakinya meronta layaknya menendang sambil sesekali merapatkan kedua pahanya. Lalu ketika ia sudah kehilangan seluruh kesadarannya, Kania pun semakin melengkungkan punggungnya saat remasan dan belaian itu kian melambungkan jiwa.

Dan, gadis itu pun serasa saja terbang keawan lembut seputih kapas ...

---

Dengus napas keduanya berpadu seolah mereka sedang berpacu saling berkejaran. Mata Kania semakin terpejam, dalam iring desah napas terengah yang diselingi oleh rintih dari bibirnya. Ekspresi wajahnya seperti orang yang sedang kesurupan, malah semakin menonjolkan kecantikannya dalam rambut kusut-masai yang sedemikian menggoda pandangan mata.

Dalam mata yang terus saja terpejam dengan rapat, Kania sudah tak menyadari lagi saat sosok tubuh yang ada di belakangnya kini bergeser ke depan dirinya. Kemudian dengan tetap memeluk, sang perayu menyandarkan tubuh Kania untuk bersandar di sofa. Lalu secara perlahan, ia merubah posisi untuk berlutut di depan sang gadis sembari tangannya terus saja melepasi satu persatu kancing piyama yang dipakai oleh sang gadis.

Suara air dari sungai yang lamat-lamat gemericik mengalir mengiringi hujan, kini terdengar menjadi bertambah lebat mengguyur gubuk jerami itu. Dan, napas Kania pun semakin terengah saat merasa leher depannya dikecupi dengan liar dan basah serta begitu panasnya. Hingga desah dan rintih napasnya, seolah tiada dapat didengarnya lagi karena tertutup oleh suara hujan dan aliran sungai yang kini mulai pasang.

Saat seluruh kancing bajunya terlepas dan tersibak, terpampanglah tubuh atas Kania yang tanpa mengenakan pelapis dalam. Dan tak berselang lama, iapun merasakan betapa bagian tubuhnya kembali dibelai dengan lembut.

Sosok tubuh yang berlutut dihadapan Kania, dengan sepenuh syahdu telah saja membelai kelembutan kulit tubuhnya. Dan terasa begitu sarat akan perasaan sayang, wajah itu terus saja menunduk untuk mengecupi kulit di bagian bahu.

Kania merintih sambil meraih leher sosok didepan yang terus saja mencumbunya. Lalu dengan penuh hasrat, Iapun menarik perlahan kepala itu kebawah sambil membusungkan tubuhnya kedepan seolah menyodorkannya pada bibir basah itu untuk dikecapi sebagai pengobat rasa sesak di dadanya.

Bibir dan hidung itu itu menggeser perlahan sambil mendesah mengendus tubuh, mengecup, menghirup dengan diiringi dengus napas memburu dari keduanya. Dan, keringat pun semakin membasahi wajah Kania yang tertengadah keatas sambil kedua matanya masih terpejam rapat.

Rintihan yang memelas, mendadak saja berubah menjadi jerit yang tak dapat ditahannya saat Ia merasakan betapa bibir dan lidah itu secara bersamaan menghisap dan memelintir puncak sensitifnya.

"Ahhhh ... Mas Rangga ..." Jerit Kania memelas, sambil memeluk erat kepala yang menempel pada tubuh atasnya itu.

Namun, jerit itu seolah menyadarkan kedua orang yang sedang hanyut melupakan semua yang ada disekitarnya. Karena dengan tiba-tiba saja, Kania tersentak dan membelalakkan kedua matanya. Lalu disadarinya lagi, bahwa hujan lebat dan gemericik air sungai didepan gubugnya hilang seketika berganti alunan musik lembut dari stereo set.

Seseorang masih nampak berlutut di depan kakinya, sembari menyandarkan wajah pada dadanya dengan napas yang sedikit terengah. Seolah tak percaya, Kania mengusap rambut di kepala itu dan perlahan menengadahkan kepala sahabatnya untuk sejenak dipandangi.

Senyum sarah begitu lembut, begitu tulus dan penuh kasih sayang padanya. Seakan tak kuat menatap wajah teduh itu, Kania menundukkan kepala dan segera tersadar untuk merapikan bajunya yang tersingkap.

Perlahan didorongnya pundak Sahabatnya kebelakang. Kemudian, si gadis terlihat bangkit berdiri dari sofa itu. Dengan lembut ia mengusap rambut sahabatnya dan berkata perlahan hingga hampir tak terdengar,

"Aku mau tidur, sudah malam."

Dengan menunduk setengah linglung, kamia berjalan memasuki kamarnya dan menutup serta mengunci pintu dengan tergesa yang menimbulkan suara agak keras. Sementara di ruang tengah, Sarah pun ikut bangkit berdiri dan berjalan gontai memasuki kamarnya.

---

Kania membaringkan tubuhnya dengan seribu perasaan berkecamuk dalam dadanya. Ia malu pada Sarah, lebih malu lagi daripada saat Ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi dalam konsultasinya.

Melebihi rasa malu dirinya kepada Sarah, bayangan yang kini mengganggunya adalah sesosok tubuh maskulin dengan wajah tersenyum sayang yang saat ini menatap dalam bayangannya.

"Mas Rangga ...," rintih Kania memelas.

Lalu, ingatannya pun melayang pada waktu kurang lebih lima tahun yang lalu saat Ia masih belia. Karena perlakuan yang ia dapatkan tadi dari Sarah, dengan tanpa sadar telah saja membawa kenangan dalam hidupnya yang telah Ia kubur dalam di dasar hati dan pikiran.

Entah apa yang menyebabkan, selama yang Ia rasakan tadi bersama Sarah malah secara tak sadar membangkitkan memorinya. Hingga seolah, apa yang Ia rasakan tadi adalah kejadian beberapa tahun lampau. Dan bagai dalam kenyataan, Mas Rangga-lah yang mencumbunya tadi.

Rangga Dewandaru, sesosok pria manis yang menyayanginya dan menjadi pria pertama yang membuatnya jatuh hati serta mengenalkan gairah yang belum pernah Ia rasakan.

***

Malam semakin larut, dan Kania pun masih saja belum bisa memejamkan matanya. Karena sesaat setelah kesadarannya hilang dalam pelukan sahabatnya, pikirannya terus saja tak henti melayang pada ingatan sekitar lima tahun yang lalu.

Pada suatu tempat indah agak jauh dari hiruk pikuk perkotaan, disanalah ia bermukim menjadi satu-satunya kesayangan orangtua. Rumah tempat Ia dilahirkan, bukanlah sebuah tempat yang istimewa bagi orang lain yang melihatnya. Namun, itu menjadi istimewa karena merupakan tempat Ia dilahirkan serta tumbuh besar dan menjadi saksi masa-masa remajanya.

Dibangun oleh ayahnya diatas tanah warisan kakek Kania, namun bangunan itu nampak berdiri kokoh meskipun hanya berbentuk sederhana. Rumah permanen yang tepat berda ditengah halaman itu, terlihat begitu teduh dengan bermacam pohon buah-buahan yang mengitarinya. Lalu yang membuatnya semakin lengkap, sebuah kolam ikan dibelakang rumah juga kian menambah asri tempat tinggal itu.

Kania masih ingat dengan sangat jelas, ketika pada suatu hari sebuah sepeda motor memasuki rumah itu. Dimana, pengendaranya adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan perawakan tegap yang menggendong ransel cukup besar dan sebuah tas kulit agak besar terselempang di bahunya.

Dengan penuh percaya diri si pengendara berhenti didepan teras rumah dan memarkirkan sepeda motor, lalu membuka helm dan turun dan menghampiri pintu rumah. Mahatma beserta Ariyani yang saat itu tengah duduk santai di ruang tamu bersama Kania, segera saja berdiri untuk melihat siapa tamu yang datang di sore hari itu.

"Selamat sore, Paman." Seraut wajah lusuh karena keringat dan debu tampak menyeringai kepada Mahatma, saat sang empu rumah keluar menghampirinya.

Sejenak sang tuan rumah memandangi pemuda tinggi berperawakan sedang yang berdiri di hadapannya, lalu terdengar tawanya yang lepas saat mengenali tamu tersebut.

"Ha-ha-ha ... Rangga. Iya, Kamu Rangga ... Paman agak pangling tadi," sambut Mahatma sambil menerima uluran salam dari sang tamu yang langsung saja mencium tangannya.

"Bu, Kania ... Ini ada tamu. Pada ingat anak ini, apa enggak ?" Dengan heboh saking gembira, Mahatma langsung saja berteriak untuk memanggil anak dan istrinya keluar.

---

Pertemuan itu menjadikan sore di rumah keluarga Mahatma menjadi semarak, karena mereka kedatangan tamu muda yang tak lain adalah Rangga. Pemuda tersebut, adalah keponakan jauh Mahatma yang datang dari kota untuk mengunjungi mereka.

***


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login