Download App

Chapter 9: Antara Nyawa Dan Tagihan

"Di luar itu bau apa sih? Telur busuk juga kalah busuknya sama bau di halaman."

Seiring dengan gerutuan itu terdengar di udara, tampak satu sosok pemuda membuka pintu dengan terburu. Mengenakan jaket kulit bewarna hitam dan celana jeans yang senada. Wajah tampannya tampak jelas menyiratkan bahwa si empunya belum bersentuhan dengan air pagi itu.

"Buat mual aja!"

Rizal memicit hidungnya dan menggerutu saat masuk ke dalam rumah. Hanya untuk mendapati kedua orang tuanya yang tampak panik di ruang tamu. Kebingungan membuat Rizal menurunkan tangan dari hidungnya.

"Kenapa, Ma?" tanya Rizal. "Lagi ada masalah?"

Lestari yang tampak kusut wajahnya dengan jejak air mata yang telah mengering, melotot. Tangannya bergerak cepat meraih bantal sofa yang telah kusam itu. Melemparnya pada sang anak bungsu.

"Lagi ada masalah?" tanya Lestari dengan nada menyindir. "Lagi ada masalah sontoloyo! Harusnya kamu nanya kapan kita nggak ada masalah!"

Rizal tersentak. Jujur saja ia kaget. Karena jarang sekali Lestari bersikap seperti itu. Membentak dirinya seraya melempar bantal kumal itu padanya? Iiih! Untung sekali Rizal berhasil mengelak di waktu yang tepat. Alhasil bantal sofa itu mendarat di lantai tanpa sempat mengenai dirinya.

"Mama kok marah-marah sih? Heran deh."

Tidak bermaksud berlebihan, tapi Rizal memang heran. Karena walaupun kehidupan mereka seperti itu, tapi Lestari adalah tipe-tipe ibu seperti yang ada di layar kaca. Yang mengutamakan penampilan dan pembawaan di depan orang banyak. Yang selalu bersikap layaknya ibu-ibu sosialita. Hingga jarang sekali atau mungkin tidak pernah Rizal mendapati Lestari mengucapkan kata sontoloyo.

'Ehm ... itu masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia nggak ya?'

Lestari mendengkus kasar. Menggerakkan bahunya sekilas hingga tangan Harjo yang sedari tadi memberikan pijatan di sana, terhempas seketika.

"Kamu abis dari mana sepagi ini baru pulang hah?!"

Rizal semakin yakin ada yang tidak beres. Karena bukannya apa. Rizal pernah dua hari dua malam tidak pulang dan apa Lestari sibuk menanyainya ketika pulang? Tidak dong.

"Tumben sih, Ma. Biasanya juga mau aku pulang kapan atau nggak pulang, nggak pernah tuh ditanyain," jawab Rizal sambil beranjak. Letih lantaran berdiri terus menerus, ia memilih duduk. "Biasanya juga kan Kak Vika yang selalu ditanyain kalau dia balik telat dari klub."

Harjo meringis. "Ya wajarlah kalau Vika ditanyain tiap pagi. Dia itu kerja di klub. Kalau dia balik telat, kira-kira apa yang bisa terjadi?"

Pertanyaan Harjo membuat Rizal terdiam. Matanya mengerjap sebelum embusan napas panjang itu meluncur dari hidungnya.

"Aku tau. Klub itu tempat yang nggak aman buat cewek. Wajar sih kalau Mama dan Papa nanya Kak Vika tiap pagi. Mama dan Papa pasti khawatir dengan Kak Vika."

"Ck!" decak Harjo sambil mengibaskan satu tangannya. "Kami mah bukannya khawatir sama Vika. Tapi, kami justru khawatir sama klubnya."

Rizal melongo. "Eh?"

"Kalau Vika pulang telat dan ternyata dia buat masalah di klub ... gimana coba?"

Rizal makin melongo.

"Maka dari itu tiap pagi kami selalu nanya Vika udah balik atau belum. Biar kami sebagai orang tua nggak merasa was-was dan yakin kalau dia nggak buat masalah."

Astaga! Rizal menepuk dahinya.

"Oke. Jadi ..." Rizal ingat dengan kebingungannya yang pertama. "... di luar itu bau apa sih? Busuk banget sumpah!"

Lestari dan Harjo saling pandang. Tapi, tidak ada dari mereka yang menjawab pertanyaan itu. Alih-alih, Harjo mengatakan hal lainnya.

"Zal, coba besok pagi kamu ke klub ya?"

Rizal melepaskan jaket kulitnya. Hari sudah mulai beranjak siang. Suhu pun mulai naik. Menimbulkan rasa gerah untuk cowok itu. Terlebih lagi karena ia belum mandi.

"Ngapain, Pa? Ngecek apa Kak Vika buat masalah atau nggak gitu?"

Sedetik pertanyaan itu lepas dari lidahnya, Rizal mendapati ada satu bantal sofa yang kembali melayang ke arahnya. Kali ini ia telat sadar dan hanya bisa mengaduh samar saat benda itu mendarat di hidungnya.

"Ih, Mama apaan sih?"

Tampak jijik, Rizal menyingkirkan bantal sofa itu sejauh yang ia bisa. Ia merinding. Membayangkan entah sudah berapa tahun bantal sofa itu tidak pernah terkena air.

"Apaan apaan. Kamu itu yang apaan. Baru pulang sekarang sementara Mama dan Papa udah pusing dari tadi," gerutu Lestari. "Vika pergi dari rumah. Pakaiannya udah nggak ada lagi di lemari."

"Apa?!"

Rizal yang syok bahkan tanpa sadar bangkit dari duduknya. Matanya membesar dalam keterkejutan yang berhasil membuat ia membeku untuk beberapa saat. Seperti butuh waktu untuk mencerna baik-baik apa yang baru saja Lestari katakan.

"Mama bilang apa? Kak Vika pergi dari rumah?"

Lestari dan Harjo sama-sama mengangguk.

"Iya! Makanya Mama dan Papa bingung."

Tatapan mata Rizal tampak tak percaya dengan perkataan ibunya itu. Maka tidak heran bila ia kemudian beranjak. Pergi ke kamar Vika hanya untuk mendapati kebenarannya. Bahwa memang tidak ada lagi pakaian Vika di sana. Sang kakak benar-benar pergi dari rumah.

Kali ini, kepanikan Lestari dan Harjo langsung menulari Rizal. Cowok itu tampak pucat.

"Pokoknya besok kamu samperin Vika di klub. Apa pun yang terjadi, kamu harus bawa dia balik ke rumah."

Rizal mengacak-acak rambutnya. Sungguh ia tidak habis pikir.

"Argh! Kok Kak Vika pake acara pergi dari rumah sih? Padahal udah gede, eh malah kayak gini? Pergi dari rumah? Ck. Apa-apaan sih? Buat susah orang aja."

"Makanya itu, Zal. Kamu jangan sampai lupa buat nyamperin Vika. Suruh dia balik. Pokoknya apa pun yang terjadi, Vika harus balik."

Tak bersuara, Rizal sekarang sama bingung dengan kedua orang tuanya. Di benaknya, ia membayangkan kemungkinan yang akan terjadi bila ia sampai menemui Vika di klub. Bayangan kursi yang melayang dan meja yang terbanting seketika membuat ia bergidik ngeri. Bahkan semua bulu kuduknya dengan kompak berdiri.

"G-gimana kalau Papa aja yang nyamperin Kak Vika di klub?" tanya Rizal menawar. "Biar aku jaga Mama di rumah."

Bukan tanpa alasan mengapa Harjo menyuruh Rizal yang pergi, alih-alih dirinya. Karena ia pun sudah bisa memperkirakan apa yang akan terjadi bila ia sampai nekat menemui putrinya itu.

Wajah Harjo terlihat kaku seketika. Ia menggaruk tekuknya yang sama sekali tidak gatal. Mencari alasan.

"P-Papa kan udah tua, Zal. Mudah masuk angin loh. Masa kamu nggak kasihan sama Papa? Emangnya kalau Papa masuk angin, kamu mau kerokin? Nggak kan?"

Rizal bukannya tidak tau kalau itu hanya alasan Harjo saja. Tapi, dengan hal tersebut, ia pun menjadi makin pusing. Layaknya ia yang terjepit pada situasi yang amat genting. Hingga lirihan nelangsa itu mau tak mau mencicit juga dari tenggorokannya.

"Ah! Nyamperin Kak Vika itu artinya bertaruh nyawa. Tapi, kalau nggak disamperin, tagihan aku gimana?"

Karena mau jujur atau tidak, itulah yang dipikirkan oleh Lestari dan Harjo dari tadi.

*

bersambung ....


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C9
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login