Download App

Chapter 18: Apa Boleh Buat

Arjuna yakin seyakin-yakinnya kalau Vika itu memang kurang otak dan memiliki kelainan. Bagaimana tidak? Di saat ia baru sadar dari pingsan, ia justru melayangkan perkataan menggoda pada Arjuna?

"Ketampanan yang menyilaukan."

Arjuna sampai tidak bisa berkata apa-apa. Ia melongo seperti vampir bodoh sementara Vika yang kembali memejamkan mata. Samar, tapi lirihan terdengar dari bibir cewek itu.

"Nggak nggak nggak kuat. Aku nggak kuat sama silaunya."

Lirihan itu terlontar dengan sedikit nada yang mengikutinya. Yang mengingatkan Arjuna akan tujuh orang cewek yang pernah hits di tahun 2010. Dan ia yakin, di antara ketujuh orang cewek itu, tidak ada personilnya yang bernama Avika Bhanurasmi.

'Astaga. Aku beneran ngisap darah cewek gila kayak gini?'

Ingin mundur, jelas tidak bisa. Arjuna hanya bisa merutuki kelemahan dirinya tadi. Seandainya saja ia bisa menahan nafsunya tentu saja ia tidak akan berakhir seperti ini. Di mana ia mendapatkan makanan simpanan dalam bentuk seorang cewek yang benar-benar membuat ia geleng-geleng kepala.

*

"Jadi gimana, Pak? Bapak beneran mau milih Dek Vika kan?"

Duduk di depannya adalah Bobon. Yang menyempatkan waktu di sore itu untuk mendatangi kediaman Arjuna yang asri. Rela menembus macetnya jalanan berkat jam pulang kantor lantaran satu kertas yang ia harapkan akan mendapatkan tanda tangan Arjuna.

Arjuna menarik napas dalam-dalam. Tampak memijat pangkal hidungnya, wajah vampir itu terlihat kusut. Walau tentu saja Bobon bisa melihat dengan jelas perbedaan antara Arjuna yang sekarang dengan Arjuna pagi tadi.

Itu karena Arjuna sudah berpuasa selama enam bulan lamanya. Dan berkat darah Vika yang ia isap, tentunya Arjuna terlihat berbeda. Bila tadi Arjuna terlihat lemah dan wajahnya terlihat kusam, sekarang setelah darah segar Vika mengalir dalam tubuhnya maka tentu saja penampilannya berubah. Ia terlihat segar dan wajahnya pun terlihat bersinar. Tak aneh sebenarnya bila Vika menyebut vampir itu menyilaukan.

"Kalau saya ada pilihan lain," ujar Arjuna seraya mengangkat wajahnya. Melihat pada Bobon yang kicep. "Saya pasti nggak mau milih Vika. Cewek itu benar-benar ...."

Tidak menuntaskan perkataannya, Arjuna memejamkan mata. Kedua tangannya naik di udara dan mengepal dengan perlahan, kuat.

Bobon sontak meneguk ludah. "Ehm, tapi---"

"Tapi, saya sudah terlanjut mengisap darahnya. Saya nggak mungkin puasa tujuh bulan lagi," potong Arjuna dengan napas menggebu. Walau anehnya, cara bicaranya tetap seperti biasa. Mengalun seperti memiliki irama tersendiri. "Dan ..."

Wajah Arjuna terlihat nelangsa. Tampak payah dalam menerima kenyataan yang ada. Begitulah yang Bobon lihat dari sorot matanya.

"... darahnya memang manis."

Jangan ditanya lagi, ekspresi bangga itu seketika merekah di wajah Bobon. Ia tersenyum lebar. Mendehem dengan sok penuh wibawa dan membusungkan dada.

"Seperti yang menjadi motto CV ADAD, Pak. Kenyamanan dan keamanan adalah yang utama. Jadi Bapak nggak usah heran kalau makanan simpanan yang saya tawarkan itu endeus endolita."

Arjuna sepertinya tidak terlalu sependapat dengan hal itu. Ia jelas teringat dengan pengalaman buruknya enam bulan yang lalu.

"Kalau emang gitu, harusnya enam bulan yang lalu saya nggak kena tipu."

Di situasi lain mungkin Bobon akan gemetaran karena tudingan yang diberikan Arjuna. Tapi, sekarang berbeda. Berkat rasa bangga akan rasa darah Vika, otaknya pun bisa diajak bekerja sama. Lagipula bukankah mencari alasan adalah keahlian dasar pemasaran?

"Bukannya kena tipu, Pak. Hanya saja yang tempo hari itu benar-benar di luar dugaan. Toh siapa yang menduga kalau Cindy itu mengidap masokisme?"

Arjuna bergidik. Ketika Bobon menyebut nama cewek yang sempat menjadi makanan simpanannya untuk dua hari itu, ia meremang seketika. Entah menggelikan atau memalukan, nyatanya Arjuna tidak pernah mengira akan bertemu cewek seperti itu seumur hidupnya. Lebih tidak mengira lagi kalau justru dirinya dimanfaatkan untuk kepuasan seksualnya.

"Tapi, Dek Vika ini jelas beda. Dia termasuk ke dalam kelas elite makanan simpanan. Benar-benar sudah melewati tahapan seleksi yang lebih ketat, Pak. Makanya saya berani nawarin Dek Vika ke Bapak. Toh saya nggak mungkin mengecewakan Bapak untuk yang kedua kali."

Arjuna menyipitkan mata. Melihat pada Bobon dengan sorot antara yakin dan tidak.

"Karena saya sudah janji dengan diri sendiri, Pak," ujar Bobon seraya menyunggingkan senyum penuh percaya dirinya. "Tak kan terulang kedua kali ... di dalam hidupku."

Buru-buru Arjuna mengangkat satu tangannya. Memberikan isyarat pada Bobon untuk berhenti bernyanyi.

'Astaga! Yang bener aja deh. Ini nggak Vika, nggak Pak Bobon. Hobinya kok malah nyanyi nggak tau tempat sih?'

Bobon dengan senang hati menghentikan senandungnya. Walau di dalam hati, lagu itu masih melantun. Ehm ... sepertinya karena efek senang dengan bayangan tanda tangan Arjuna yang benar-benar akan ia dapatkan.

"Tapi ...."

Senyum Bobon membeku dengan satu kata itu.

"Beneran kan dia nggak ada kelainan kayak gitu?" tanya Arjuna penuh antisipasi. "Atau mungkin kelainan yang lainnya?"

Bobon memaklumi kalau Arjuna sekarang benar-benar waspada. Ia tidak akan menyalahkannya. Yang perlu ia lakukan adalah meyakinkan Arjuna.

"Dijamin, Pak. Dek Vika walau gila, tapi dia bukan pengidap masokisme. Toh Bapak denger sendiri kalau dia masih perawan."

Mata Arjuna mengerjap. Tak sadar, tapi ia mengangguk. Membenarkan hal itu.

"Satu-satunya kelainan Dek Vika ya cuma itu, Pak. Dia memang agak gila. Tapi, lama-kelamaan pasti ntar jinak juga kok."

Arjuna mengusap dagunya. Tampak diam setelah mendengar penjelasan Bobon. Ia menimbang sejenak. Tapi, sepertinya ia memang tidak ada pilihan lain. Terutama karena Arjuna pun tidak akan berbohong betapa darah Vika memang masuk ke dalam seleranya.

'Ya ampun.'

Jakun Arjuna naik turun. Ia mendadak merasa kesat di tenggorokannya. Nyaris kering.

'Baru ngebayanginnya aja, aku mendadak haus lagi. Ehm! Ini pasti karena aku baru selesai puasa. Makanya jadi mudah lapar gini.'

Akhirnya, keputusan pun Arjuna ambil. Ia mengulurkan tangan. Meraih pena yang ada di sisi mejanya. Dan melihat itu, mata Bobon membesar dalam kilat kebahagiaan.

"Sini surat kontraknya."

Bobon segera membuka tas kerjanya. Gesit mengeluarkan satu map dari dalam sana. Langsung menyerahkannya pada Arjuna.

"Ini, Pak."

Arjuna menerimanya. Membuka map tersebut dan tanpa bertanya atau membaca lagi, ia langsung membubuhkan tandatangannya di sana. Sungguh! Tak terkira lagi lebarnya senyum Bobon.

Tuntas menandatangani berkas-berkas tersebut, Arjuna mendorong kembali map tersebut pada Bobon.

"Untuk sisanya, atur saja langsung dengan asisten pribadi saya seperti biasanya, Pak."

Bobon meraih map tersebut. Membawanya ke depan dada layaknya itu adalah benda yang amat berharga.

"Baik, Pak. Saya akan segera menghubungi Pak Krisna."

Arjuna hanya mengangguk.

"Kalau begitu," lanjut Bobon seraya memasukkan terlebih dahulu map ke dalam tas kerjana. "Saya pamit, Pak."

"Oke, Pak."

"Dan ... titip salam buat Dek Vika, Pak."

Dahi Arjuna mengerut. Tapi, ia tetap mengangguk. "Baik."

"Saya permisi, Pak."

Arjuna kembali mengangguk. Dalam hati bertanya.

'Ini Pak Bobon beneran mau pergi atau nggak sih?'

Bobon bangkit dari duduknya. "Semoga langgeng terus sama Dek Vika, Pak."

"Eh?"

"Selamat sore."

Tuntas mengatakan itu, barulah Bobon pergi. Keluar dari ruang kerja Arjuna dan meninggalkan vampir itu yang tampak melongo.

'Langgeng? Maksudnya?'

*

bersambung ....


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C18
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login