Download App

Chapter 3: Bab 3 Santi ~ Terkepung

Kubuka minuman susu kaleng dan roti isi untuk sekadar mengganjal perut setelah memastikan tidak ada mobil lain yang melintas selain mobil merah itu. Lega rasanya ketika bisa merasakan kembali selai cokelat ini. Seraya mengunyah makanan, kubuka isi ransel hitam yang berisi rokok, korek api, sabun wajah, dan dua buah celana dalam.

Kuangkat tinggi-tinggi dua celana dalam berwarna abu-abu itu dengan jijik dan melemparkannya sembarangan. Lalu kucoba meraba satu-persatu kantong tas berharap menemukan uang yang terselip seperti kebiasaan orang-orang sebelum menjadi mayat hidup.

"Kosong," gumamku merogoh kantong dalam.

Detik berikutnya aku terdiam ketika meraba sebuah benda di kantong dalam tas itu. Kuambil benda yang ternyata sebuah foto berukuran 3x4 yang menampakkan seorang anak perempuan berpakaian seragam. SD dengan rambut yang dikuncir kuda dan dua buah lesung pipi yang menghiasi wajahnya.

"Apa yang punya tas ini sudah punya anak?" gumamku lagi. "Atau jangan-jangan mayat yang terbakar itu pemilik tas ini."

Sontak tubuhku bergidik ngeri lalu memejamkan kedua mata sambil berdoa dalam hati bahwa aku tidak bermaksud mengambil makanan tanpa ijin.

Tas siapa pun itu, aku cuma pengen ambil makanannya. Nggak bermaksud merampok, sungguh, ampuni aku Tuhan. Semoga mayat itu nggak menghantuiku nanti malam.

Kukembalikan lagi foto itu ke tempatnya sambil beranjak menuju tempat lain. Kuputuskan untuk membawa ransel hitam sebagai bentuk tanggung jawab karena sudah mengambilnya tanpa ijin. Lagipula aku harus mencari bahan makanan untuk beberapa hari ke depan.

####

Dengan tertatih-tatih, kedua kakiku menapaki jalanan entah apa namanya, tidak ada papan penunjuk jalanan. Hampir semua fasilitas dirusak dan dicoret diganti dengan tulisan yang menyerukan untuk menggulingkan pemerintahan. Bahkan beberapa diantaranya menuliskan kata-kata kasar yang tak pantas dibaca. Bekasi benar-benar seperti kota mati.

Kupandang langit, cuaca sudah tak seterik tadi, awan tebal berarak menuju arah barat yang membuat matahari sedikit tertutup. Aku berhenti sejenak karena tak tahan dengan rasa sakit di kaki, kulihat telapak kakiku melepuh dengan luka lecet. Kulihat sekeliling mencoba mencari apotek atau klinik kesehatan ataupun puskemas.

Kedua iris mataku menyipit melihat sebuah banner bertuliskan minimarket yang sudah robek di sisi kiri jalan. Menahan perih, aku berlari kecil menuju swalayan itu berharap menemukan obat, makanan, dan minuman serta pembalut wanita.

Langkahku terhenti melihat dua mayat hidup berpakaian usang dan compang-camping sedang berusaha melepaskan diri dari badan mobil fortuner yang menindih tubuh mereka. Mayat hidup itu melihatku dengan bola mata putih menakutkan sambil menggeram ingin memangsa. Aku yakin mereka adalah gelandangan yang terkena imbas dari penyakit aneh dan air sungai yang tercemar. Teringat ketika awal pandemi menyerang negara ini, hampir seluruh lapisan masyarakat berebut fasilitas kesehatan hingga tenaga medis kewalahan. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk merawat pasien yang memiliki kesempatan hidup lebih lama.

"....Mau bagaimana lagi, rumah sakit overload bahkan dokter dan perawat kami juga turut menjadi korban. Jangan salahkan pihak rumah sakit jika pada akhirnya kami memilih pasien yang punya kesempatan hidup lebih baik," ucap seorang dokter berperawakan bongsor dan berkacamata sambil menangis saat diwawancarai oleh media massa.

Tak bermaksud membunuh namun suara mereka bisa mengundang mayat hidup lain, dengan terpaksa kutancapkan ujung pisau ke dahi mereka hingga darah kehitaman menyembur keluar. Mayat hidup itu seketika mati, tapi aku tidak tahu apakah dengan cara ini mereka akan mati dengan arti sebenarnya atau mati sementara.

Kutunggu hingga beberapa menit, dua mayat hidup yang telah 'mati' itu tidak hidup lagi. Aku bernapas lega akhirnya tahu cara membunuh mereka. Kutatap pintu swalayan dan berlari kecil menuju tembok bercat kuning pucat.

Dengan hati-hati kuintip pintu berkaca tebal yang berdebu sambil sesekali berjinjit. Aku tidak yakin jika di dalam tidak ada mayat, namun posisiku sekarang sendirian, jika menghadapi satu mayat mungkin tak masalah. Tapi bagaimana jika di dalam sana ada sepuluh mayat?

Tapi kau harus makan, San!

Suara batinku berteriak tuk menyuruhku masuk. Kukumpulkan nyali sejenak lalu mendorong pelan pintu kaca itu. Suara derit terdengar bersamaan dengan aroma lembab menyeruak dengan lampu utama yang berkedip-kedip membuat suasana semakin horor. Beberapa barang sudah habis, mungkin karena aksi penjarahan yang terjadi. Tembok-tembok pun terkena cipratan darah entah milik siapa.

Aku berbalik ketika merasakan ada sesuatu yang bergerak. Kutajamkan pandangan dan telinga sambil melangkah mendekati rak berisi makanan kaleng. Kubuka resleting tas dengan sangat perlahan agar tidak menimbulkan suara, lalu memasukkan beberapa bahan makanan seperti kornet, sarden, mi instan, air mineral, pembalut, sikat gigi, sabun, hingga minyak wangi dengan cepat. Lalu bergerak menuju rak obat.

"Obat pusing, obat nyeri haid, obat batuk, betadine, plester, perban, obat masuk angin," bisikku perlahan sambil memasukkan obat ke dalam tas.

Tiba-tiba terdengar suara geraman membuat adrenalin tiba-tiba merambat naik. Pupilku melebar ketika ada satu mayat hidup memakai daster merah berlari ke arahku.

"Setan!" umpatku berlari keluar swalayan dan menutup pintu kaca tebal itu.

Aku berlari dan berlari sekencang mungkin mengabaikan rasa sakit di telapak kaki. Sejenak aku mengumpat ketika lupa tidak mengambil kaus kaki di sana atau mencari sandal yang bisa digunakan.

"Sumpah kakiku sakit," kataku sambil terus berlari berusaha mencari jalan Raya.

Keberuntungan memang tidak selalu berpihak padaku ketika melihat gerombolan mayat hidup di belokan jalan buntu. Mereka semua menoleh dan mengejarku seperti mangsa empuk untuk dimakan hidup-hidup. Adrenalin dalam tubuhku semakin berpacu hebat membuat keringat membasahi tubuh.

Kupaksa otakku mencari jalan keluar namun yang ada hanyalah deretan rumah yang berdempetan. Tak ada waktu menoleh ke belakang namun suara geraman mereka membuat bulu kudukku berdiri. Aku hampir menyerah namun tujuan hidupku masih panjang. Aku tidak mau serta merta mati begitu saja.

Manik mataku akhirnya menangkap sebuah rumah berlantai dua dengan tangga melingkar di sisi kanan. Sekuat tenaga aku menaiki tangga itu ketika para mayat hidup meraung-raung mencoba meraih diriku dengan tangan mereka.

Napasku tersengal-sengal dan perutku kembali keroncongan lagi. Aku melangkah cepat dan mencoba membuka pintu bercat hitam yang ternyata tidak dikunci. Kututup pintu itu dan mengganjalnya dengan kursi kayu dan meja.

"Ada mayat hidup nggak ya di sini? Sumpah aku capek," keluhku seraya mengintip para mayat hidup yang masih di luar. "Ya elah.... "

Tubuhku merosot ke lantai yang kotor untuk menetralkan detak jantung. Melihat sekeliling sambil membatin sudah berapa bulan penghuni rumah ini meninggalkan kediamannya. Kasurnya pun berantakan, atapnya rusak, dan beberapa hiasan kamar jatuh ke lantai.

Terlintas pikiran untuk membersihkan diri, tapi aku takut untuk turun ke bawah. Akhirnya kuputuskan untuk mendekati lemari berbahan kayu jati berharap menemukan baju yang tertinggal di sana.

"Akhirnya," gumamku mengambil sebuah kaus bergambar spongebob berwarna kuning menyala, celana jeans, celana dalam, bra, serta sepasang sepatu yang kebetulan sesuai dengan ukuranku. "Untung masuk rumah yang tepat."

Beberapa detik kemudian terdengar suara pintu kamar dipukul diiringi suara geraman lagi. Refleks kuambil baju itu seperlunya ke dalam tas lalu menyingkirkan meja dan kursi yang menghalangi pintu keluar menuju balkon.

Kulihat para mayat hidup masih di bawah menatapku dengan buas. Aku menelan ludah sambil berpikir keras. Aku tidak tahu berapa jumlah mayat hidup di dalam rumah ini tapi melawan sepuluh mayat hidup di bawah pun rasanya juga tak mungkin.

Aku pun kembali masuk ke dalam kamar itu dan mencari benda tajam yang sekiranya bisa membantuku melawan mereka di laci maupun lemari. Kulihat patahan kayu dari atap rumah yang tergeletak di lantai. Sesuatu dalam diriku menyuruh untuk membakar kayu itu dengan sarung bantal.

Kulakukan dengan gerak cepat, membelit kayu dengan kain hingga beberapa lapis. Lalu merogoh korek api dari dalam saku celanaku. Aku harus berterima kasih kepada pemilik ransel itu. Siapa pun dia, benda yang dimilikinya sudah menyelamatkan hidupku. Setidaknya dua kali.

Perlahan kain itu terbakar, cepat-cepat aku keluar kamar dan melemparkannya jauh-jauh untuk mengalihkan perhatian mereka. Kayu itu terbang sebelum akhirnya terhempas di tong sampah membuatnya terbakar. Para mayat hidup bergerak mendekati benda terbakar itu seperti anak kecil yang tertarik dengan kembang api.

Satu masalah selesai

Kini aku harus menghadapi mayat hidup yang berada di dalam rumah ini. Berapapun jumlah mereka aku harus siap, aku harus bertahan untuk mencapai zona hijau.

Untuk mencari keadilan dan menyelamatkan Randy.

Kupegang erat pisau di tangan kanan sembari di tangan kiri memegang kenop pintu. Irama jantungku kembali berdetak cepat, ketika suara geraman itu semakin berisik.

Satu

Dua

Tiga

Tuhan, lindungi aku dan maafkan aku karena telah menjadi pembunuh.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C3
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login