Download App

Chapter 3: Chapter 3: White

Aku kesiangan.

Semalam aku sulit sekali memejamkan mata. Insomnia lebih sering terjadi akhir-akhir ini. Sesampainya di kelas, aku begegas menduduki salah satu bangku yang kosong. Tak berapa lama, sebuah tepukan terasa di pundak kananku.

“Minka?” panggil seorang gadis yang duduk tepat di belakangku. Aku memiringkan kepala dan memandangnya. Rasanya aku belum pernah melihat dia.

“Ya?” sahutku. Gadis ini bermata cokelat tua dengan mata yang bulat melebar. Rambut hitamnya diikat kebelakang menjadi sebuah pony tail. Ia bermuka cukup manis. Tipikal gadis manis yang tak banyak bicara.

“Namaku Tamara,” ucapnya seraya mengulurkan tangan padaku. Tangan kananku menyambutnya.

“Aku juga mengambil Desain Komunikasi Visual sepertimu. Kita hanya beda kelas, tapi aku terpaksa masuk ke kelas ini karena jadwalku bertabrakan,” terangnya. Oh pantas saja aku tak mengenalnya. Dia tak pernah satu kelas denganku sebelumnya.

“Aku hanya ingin memastikan. Jangan tersinggung, ya?” Ia menatapku dengan penasaran. Aku pun menganggukkan kepalaku.

“Kau memang anaknya Walikota ya? Pak Tama Dinata?”

Aku menelan senyumanku. Kupikir dia akan menanyakan tentang apa. Ternyata...

“Iya,” jawabku singkat.

Tamara melemparkan seringai ke arahku. Detik berikutnya ia tersenyum simpul. “Oke aku cuma mau tanya itu,” ia tersenyum lagi padaku dan melanjutkan menulis catatan di bukunya.

Kenapa dengan anak ini?

***

Aku makan siang di rumah makan spesial seafood di dekat kampus bersama Kimmy. Aku baru mengenalnya saat tugas diskusi tadi dan ia sudah menceritakan hampir sebagian besar kehidupan pribadinya.

Sementara aku menghabiskan udang saus telur asin, ia sibuk menceritakan semua hal yang dapat diceritakan. Walau pun saat itu mulutnya masih penuh makanan. Sudah hampir seperempat jam ia menceritakan pengalaman percintaanya dengan mantan nomor 14. Rupanya ia suka sekali mengoleksi mantan.

“Sebenarnya dia cukup tampan. Tapi aku rasa dia sudah membuatku ilfeel sejak pertama kali bertemu. Habisnya mulutnya itu, Ka. Ugh, super duper bau. Aku kalau ingat dia jadi ingin muntah saja.”

“Ya tak usah diingat-ingat lagi. Lagian kau kan sedang makan,” kekehku.

Ia melirik ke makanannya. “Benar juga ya.” Kemudian menyeruput lemon teanya dengan jumawa. “Bagaimana denganmu, Ka? Certaikan tentang mantanmu!”

Aku tak punya mantan. Tak ada satu pun. Jadi bagaimana aku bercerita?

“Aku ...belum ...”

Ah sial. Aku malu mengakuinya.

Ia menatapku dengan penasaran. “Belum apa?”

Well, aku harus menjawabnya. Siapa tahu Kimmy dapat dijadikan teman yang enak untuk mencurahkan kegalauan hatiku.

“Aku belum pernah berkencan,” jawabku pada akhirnya. Aku memandang ragu-ragu Kimmy yang diam saja setelah aku mengungkapkan hal memalukan itu padanya.

Dan yang menyebalkan adalah, gadis itu menatapku seolah-olah kepalaku tumbuh jadi empat.

“Kau belum pernah ...” Ia tak melanjutkannya. Aku menganggukkan kepalaku lalu menatap jari-jariku yang bertautan.

Seketika ia berkata dengan cukup keras untuk di dengar semua pengunjung di tempat makan ini.

“Astaga, Minka!” Ia meminum minumannya lagi. “Bagaimana mungkin?” tanyanya menuntut. Aku langsung membungkam mulutnya. Astaga ini memalukan.

“Jangan teriak-teriak!” Aku melepaskan tanganku dari mulutnya. “Orang-orang melihat kita!”

Sebenarnya tidak juga sih. Orang-orang hanya melihat kami sekilas, lalu kembali lagi pada makanannya.

“Oke oke. Aku hanya heran saja,” ucapnya. “Kau cantik, pintar, manis, body aduhai, anak orang kaya, dilihat dari mana pun kau itu seperti bongkahan berlian yang bisa bicara. Pasti ada yang salah di hidupmu. Coba ceritakan. Siapa tahu aku bisa membantu.”

Aku pun menceritakan segalanya, mulai dari sikap ayahku hingga penjagaannya terhadapku. Pokoknya semua yang mengganjal di hatiku, ku curahkan padanya. Kurasa aku dapat mempercayai orang ini.

Kimmy mendengarkanku dengan saksama. “Oke jadi satu kesimpulan. Intinya, kau mau hidup bebas kan?”

“Tepat.”

Gadis bersurai blonde itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Tebakanku memang tak pernah meleset.”

Nada dering handphone milik Kimmy berbunyi. Ia langsung mengeceknya. Beberapa detik kemudian ia tersenyum sangat lebar sampai melewati kupingnya.

“My bae sudah datang!” Pekiknya setelah mematikan telepon.

Yap, beruntungnya dia. Memiliki seseorang pria yang bisa mengantar-jemput, bukannya seorang supir.

“Aku pergi dulu ya.” Ia berdiri dengan buru-buru. “Kalau kau mau curhat datang aja padaku. Aku akan mendengarkanmu. Tapi sayang sekali kekasihku sudah menunggu. Bye Minka.” Kimmy berlalu menuju keluar dengan setengah berlari.

Dan … aku sendiri lagi di sini ...

Masih ada beberapa belas menit sebelum Pak Min sampai.

Setelah membayar makananku, aku pun bergegas keluar. Gerimis masih turun dan aku tak membawa payung. Ditambah aku sudah terlanjur keluar. Malas sekali jika harus kembali lagi ke tempat itu. Terpaksa aku harus berjalan.

Jalan kaki sebentar tidak terdengar buruk.

Saat baru berapa menit berjalan, dua pasang tangan kekar masing-masing berada di kedua tanganku. Hal itu terjadi tiba-tiba tanpa dapat ku sadari. Salah satunya tangan itu menempelkan sebuah benda tajam dingin di leherku. Benda itu seolah-olah siap untuk digunakan untuk menebas kepalaku kapan saja.

“Jangan teriak atau lehermu akan ku penggal,” ancam orang itu. Kedua orang itu mencengkeram kedua tanganku dengan saat kencang.

Sial, aku tak bisa bergerak.

Kakiku menendang ke sana kemari dalam usaha yang sia-sia. Sebelum aku dapat berteriak, sebuah sengatan menyakitkan terasa panas di leherku. Aku melirik pria yang memegang alat suntik di tangan kanannya.

Aroma cairan di alat suntik itu sangat menyengat. Baunya menyita seluruh kesadaranku. Aromanya sungguh memuakkan.

Tangan dan kakiku masih bergerak-gerak, namun aku lupa apakah bibirku ikut bersuara atau tidak. Kepalaku terasa berat dan mataku perlahan-lahan mengkhianati usahaku untuk kabur dengan terpejam. Aku merasa sangat pusing. Kepalaku berputar. Pijakanku berputar. Segalanya berputar.

Detik berikutnya yang ku ingat adalah kedua tanganku diborgol oleh orang tadi dan tubuhku dilemparkan begitu saja ke dalam mobil mereka.

Segalanya memutih.

Putih ... seputih awan terang yang berkelebat begitu saja di hadapanku.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C3
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login