Download App

Chapter 2: Bab 2 : Keselarasan Dunia

{Kamu boleh pergi kemanapun kamu mau, tapi titel santri pada dirimu jangan sampai kamu hilangkan sampai kapanpun itu}

* * *

* *

*

Layaknya api yang menjalar, kabar tentang keinginan Dharma untuk keluar dari pesantren sudah terdengar ke seluruh penjuru pesantren. Gonjang ganjing berita lainya membuat semua orang semakin penasaran dengan inti permasalahannya.

Meskipun belum mengantongi restu Dharma sudah mulai menyiapkan apa saja yang ia akan bawa nanti. Tidak banyak, hanya beberapa pakaian yang ia masukkan dalam tas, salah satunya Al Qur'an, beberapa buku yang nantinya bisa menemaninya saat penat, dan tentunya dompet, ponsel dan kawan-kawannya.

Kali ini dia keluar sebagai Arya Dharma, dia akan menjelma sebagai orang biasa makan pakaian yang ia siapkan pun harus biasa. Tidak lagi memakai sarung dan Koko, tapi layaknya anak muda jaman sekarang. Kaos oblong, dengan jaket jins serta celana.

Tok tok tok

Pintu kamar Dharma di ketuk. Tanpa menunggu lama,Dharma langsung membukanya.

Kamar dengan luas enam kali sepuluh persegi itu terlihat megah. Dengan satu ranjang tempat tidur berukuran besar bak ranjang seorang raja dengan hiasan warna emas di ukiranya. Belum lagi, seluruh ruangan berkarpet merah. Jendela kaca menjulang tinggi dengan tirai ratu yang menghiasinya, di tambah keindahan dengan adanya rak buku di samping kiri kamar tersebut. Di sudut kanan ada ayunan yang terbuat dari anyaman. Tepat di depan ranjang ada kaca rias yang tak kalah mewahnya. Pintu kamar Dharma terbuat dari kaca. Jika ditutup pintu itu adalah dua baris kaca dengan menampakkan seluruh badan, dan ketika digeser akan seperti pintu pada umumnya.

"Kamu beneran mau pergi ke kota?"

Baru saja pintu kaca digeser, seorang perempuan menampakkan wujudnya. Dengan pasmina yang melilit di kepala serta lehernya dan juga gamis twill yang biasa ia gunakan sehari-hari. Wajahnya bak bidadari yang turun dari khayangan, kulit putih bersih, wajah tanpa noda, merah merona di padu dengan celak yang mempertajam matanya.

Dia Anissa Rahma_kakak perempuan nomer tiga dari Arya Dharma. Tanpa menunggu sang pemilik kamar untuk mempersilahkan ia masuk, ia sudah lebih dulu masuk dan duduk di ayunan separuh lingkaran yang terletak di pojok kanan kamar. Ayunan itu menjadi tempat jujukan siapa saja yang datang ke kamarnya. 

"Iya, mbak yu … Bosen aku di sini." Jawab Arya Dharma masih dengan merapikan barang-barangnya.

Mbak yu adalah panggilan yang biasa Dharma gunakan untuk kakak perempuannya saat mereka sedang ada di ruangan pribadi. Saat di depan orang, Dharma tetap memanggil Ning untuk semua kakaknya. Itu di karenakan untuk menghormati kakaknya dan mengajarkan kepada para santri untuk selalu hormat pada yang lebih tua. Sebab itu pula yang kadang membuat Dharma merasa bosan. Seakan saat dia keluar, maka dia harus memakai topeng kerajaan. Berubah menjadi manusia sempurna.

"Mau kemana kamu, gak takut nanti gak bisa pulang?''

Ning Anis_panggilan akrabnya mengejek adik laki-lakinya itu. Wajar saja, sebab adiknya selama ini hanya keluar masuk pondok dengan banyak pengawalan. Jangankan keluar kota, ke tengah kota saja dia di kawal oleh beberapa santri dhalem. 

"Mbak yu pengen aku gak balik? Doain kok jelek,"

"Haha…Bukannya gitu, malah Mbak Yu khawatir sama kamu. Bisa gak hidup di kota? Ke luar aja kamu diantar, ini mau jalani hidup sendiri." Ledek Ning Anis.

"Mangkanya, aku pengen buktiin kalau aku bisa berdiri sendiri."

"Wih… Gayanya."

Dharma sudah selesai mengemas barangnya. Dia meletakkan tas ranselnya di sebelah meja rias.

"Jadi, Mbak Yu selama aku gak ada tolong jagain Ibu. Jangan lupa ngasih vitamin saat mau sahur nanti, bukanya jangan langsung yang manis-manis. Kasih satu kurma saja, ibu itu kalau kebanyakan manis penyakitnya kambuh. Jangan lupa juga, kalau sudah jam dua belas malam suruh istirahat. Begadang pada bulan puasa bagus, apalagi kalau buat tadarus, tapi ibu sudah sepuh. Takutnya malah kecapekan. Ujung-ujungan kayak ramadhan tahun lalu, di rawat di rumah sakit. Terus_"

"Stop!"

Ning Anis menghentikan pesan-pesan Dharma. Dia sedih, kenapa adiknya memilih meninggalkan keluarga padahal dia tahu sendiri jika hatinya tidak bisa jauh dari keluarganya. Terutama, Ibunda mereka.

"Kamu tenang saja, ada aku sama Ning Nadhir yang menjaganya. Kamu fokus sama tujuanmu saja." Lontar Ning Anis.

Dharma terdiam. Dia menghela nafas. Memang saudara lah orang pertama yang selalu bisa mengerti kita, sebelum kita sendiri yang mengungkapkannya.

Ning Anis adalah satu-satunya kakak perempuan yang faham akan hasrat adiknya. Dia juga faham betul jika Dharma belum bisa menerima perjodohannya dengan kayla. Mungkin karena usia mereka yang terpaut paling dekat. Hanya selisih satu tahun, bisa dikatakan mereka saudara sundulan. Ning Anis baru saja genap satu tahun, Dharma lahir tepat satu tahun kemudian pun di bulan yang sama.

"Ya sudahlah…"

Beberapa detik mereka terdiam. Menikmati keheningan.

"Kenapa kamu memilih berkelana? Padahal ada yang lebih manfaat. Pergi ke Yaman, misalnya." 

Ning Anis mencoba mencari tahu, apa yang adik laki-lakinya rencanakan. Apa tujuan dia pergi dan sebab lainnya?

"Seperti yang aku bilang, Yu… Aku ingin mencari jati diriku. Merobek garis takdir,"

"Ngawur! Merobek garis takdir, gak oleh ngunu kui! (Tidak boleh seperti itu)."

"Maksudnya, aku pengen jadi orang biasa, Yu… Gak jadi Arya Dharma anaknya Abah Umar. Kalau kamu tahu bagaimana enaknya kehidupan di luar sana, pasti kamu juga ingin merasakannya. Kita akan disuguhi banyak macam orang dan pemikiran mereka. Bahwa tindakan lebih baik daripada sekedar berbicara. Bagiku masalah di luar sana adalah tantangan!" 

"Ck ... Ck ... CK ... Pengen kok pengen cari masalah," Ning Anis sampai geleng-geleng kepala, tidak faham dengan jalan pemikiran adiknya tersebut.

"Capek, Yu… Pengen nakal, aku. Capek di pandang sempurna, capek di kira enak hidupnya, capek pura-pura bahagia. Hahaha…," tambah Dharma.

Ning Anis mengamati wajah adik laki-lakinya itu. Dia seperti sedang mencari sesuatu dari dalam matanya.

"Tapi, kamu belum mendapatkan izin." Timpal Ning Anis.

Dharma terdiam. Menunduk memainkan jari-jarinya. Hal itulah yang membuat dia gelisah sampai sekarang.

Jarang ada yang tahu bahwa putra dan putri kyai besar itu juga manusia biasa. Mereka dilahirkan tanpa apapun juga. Sama seperti manusia pada umumnya. Tapi sebab,m titelnya, dia di tuntut sempurna.

Jika pada usia balita mereka masih bisa tertawa, maka setelah umur enam tahun mereka sudah harus mengerti etika. Tentang kewajiban seorang hamba pada Tuhannya. Ibadah, ibadah dan ibadah. Ilmu, ilmu dan ilmu. Waktu bermain terkuras dengan hal-hal tersebut, sehingga tidak jarang jika mereka lebih dewasa dari kebanyakan anak lainya. Mereka sudah mengemban tanggung jawab besar, pada santri-santri mereka dan juga agama. Seakan mereka sudah di takdirkan untuk menjadi lentera agama.

Jangankan untuk nakal, untuk menuju nakal saja kadang mereka tidak sempat. Padahal mereka juga ingin seperti anak pada umumnya. Bolos sekolah, bermain sampai dimarahin orang tua, atau melakukan kenakalan lainya.

Nakalnya para penerus pesantren itu berbeda, bagi orang tua mereka saat target hafalan tidak sesuai waktu maka mereka sudah di anggap nakal. Berat bukan, karena itulah Dharma ingin menjadi manusia biasa.

Terlebih setelah mengetahui, jika di luar sana banyak sekali gagasan tentang hak-hak manusia yang bisa didapatkan.

"Aku akan meminta izin pada Abah. Semoga beliau mengerti. Aku hanya meminta satu bulan saja tidak selamanya. Aku pasti akan kembali," ujarku.

"Tapi ibu dan keluarga lainya tidak menganggapnya seperti itu. Mereka memahami jika kamu ingin lari dari perjodohanmu."

Dharma diam lagi. Dia tidak memungkiri jika alasan lainya memang itu.

"Jika memang alasanmu hanya untuk mencari pengalaman saja, mungkin bisa diterima. Tapi, untuk menghindari perjodohan ini, aku yakin sekali Abah dan ibu tidak akan mengizinkanmu." Tambah Ning Anis.

Dharma tersenyum. Dia tidak ingin membuat saudarinya ikut gelisah dengan masalahnya.

"Tenang saja, rejeki, jodoh dan maut adalah takdir Mubram, Qodar Alloh yang mana tidak bisa kita ubah. Doakan saja yang terbaik untukku, ya yu ...," balas Dharma dengan memegang bahu Ning Anis. Tatapan cemas yang diperlihatkan Ning Anis ingin segera Dharma sibak dengan keyakinan yang ada di hatinya.

"Sebisanya kamu mendapatkan restu ibu. Agar perjalananmu berkah," pesan Ning Anis.

Dharma mengangguk. Lagi, dia menampakkan wajah biasa saja seakan tidak sedang ada masalah apa-apa. Padahal dalam hatinya sedang terjadi bencana sebab setelah mengutarakan niatnya waktu itu, ibunya belum lagi mengajaknya berbicara.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login