Download App

Chapter 11: Ruangan VVIP

Andini tertegun saat beberapa petugas keamanan yang datang karena mendengar keributan yang terjadi di IGD justru memberi hormat kepada Gibran, Dimas pun sama herannya melihat pemandangan tersebut. Kepala petugas keamanan bahkan berbicara dengan begitu sopan pada Gibran.

"Kenapa tuan Gibran ada disini? Saya pikir tuan datang untuk mengunjungi..."

"Ssstttt..." Gibran memberi kode agar petugas itu tidak melanjutkan ucapannya, seketika petugas keamanan itu terdiam dan menyadari kelancangannya.

"Apa ada aturan dirumah sakit ini untuk tidak boleh menjenguk pasien tanpa seizin dokter?" tanya Gibran dengan pandangan yang menjurus kepada Dimas.

"Setahu saya tidak ada aturan seperti itu tuan." jelas petugas tersebut. Gibran tersenyum miring, seolah merasa menang dari Dimas.

"Jadi dengan alasan apa dokter melarang sy bertemu wanita itu?" kini Gibran mulai bertanya kepada Dimas. Dimas sedikit bingung untuk menjawabnya, ia hanya berpikir Gibran mungkin hanyalah siswa pengganggu yang sedang mengusik Andini.

"Aku hanya tidak ingin membuat pasien merasa tidak nyaman, apalagi kau memanggilnya dengan panggilan pelakor." jawab Dimas pelan.

"Itu memang panggilannya, jadi jangan coba-coba berani melarangku untuk masuk seperti tadi."

"Kalau begitu berhentilah memanggilnya dengan panggilan pelakor, aku sudah dua kali mendengar kau memanggilnya dengan tuduhan yang tidak sopan seperti ini." Perintah Dimas.

"Mau apapun panggilanku, itu bukan urusanmu. Jadi jangan memerintah ku." Dimas terlihat semakin kesal, saat ia akan menyanggah ucapan Gibran Andini sudah lebih dulu menghentikan keduanya.

"Bisakah kalian berdua berhenti? Kalian berkelahi seperti itu, apa kalian anak kecil yang sedang berebut mainan?" tanya Andini geram, kepalanya sudah lebih dulu sakit mendengar celoteh dua pria Dihadapannya.

Dimas menatap Andini, ia baru saja bertemu dengan mantan istri yang selama ini dicarinya. Banyak hal yang ingin dibicarakannya dengan Andini, tapi kemudian ia harus menahan semuanya, Dimas lalu kembali menatap Gibran, keberadaan Gibran seolah mengganggu pikirannya.

"Siapa sebenarnya anak ini?" batin Dimas.

"Aku ingin pasien ini dipindahkan." perintah Gibran, semua orang menatap heran. Seorang anak berseragam SMA berani memerintah mereka.

"Apa? Kau mau memindahkan ku kemana?" tanya Andini panik, ia tidak mengerti dengan jalan pikiran Gibran.

"Tentu saja ke tempat yang semestinya." jawab Gibran, ia memberi kode kepada petugas keamanan.

"Akan saya sampaikan kepada tuan Bernad." Ucapnya sembari berlalu pergi. Saat Gibran berjalan mendekat ke arah Andini, Dimas langsung menahannya.

"Kau.. siapa kau sebenarnya?" tanyanya dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Apa urusannya seorang dokter bertanya siapa aku?" Gibran menjawab dengan ucapan yang semakin membuat Dimas geram.

Semua orang didalam IGD mulai saling berbisik, mereka mendengar nama direktur rumah sakit yakni tuan Bernad turut disebut oleh kepala petugas keamanan tersebut. Mereka kini bertanya-tanya siapa sebenarnya siswa berseragam SMA yang ada dihadapan mereka saat ini

***

Andini tercengang saat ia dibawa ke ruang perawatan khusus VVIP, ia bahkan hanya mengalami luka kecil dan tidak perlu mendapat perawatan seperti ini. Tapi Gibran yang keras kepala, terus mengabaikan ucapan Andini.

"Kalau nona butuh sesuatu tolong sampaikan kepada kami." Kata seorang perawat dengan senyum ramahnya, Andini hanya mengangguk pelan. Ia terperangah melihat ruangan yang begitu luas. Didalamnya bahkan terdapat sofa, lemari es, dan banyak fasilitas lainnya.

"Apa ini kamar hotel?" Batin Andini kagum. Ia kemudian tersadar dari lamunannya.

"Ahhh, ini bukan saatnya untuk kagum Andini." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kemana perginya anak itu? Awas saja kalau dia kemari, akan ku omeli dia habis-habisan." imbuhnya.

Tak berapa lama, orang yang ditunggu datang juga. Gibran datang dengan membawa banyak buah-buah segar.

"Apa aku membuatmu tidak nyaman?" tanya Gibran. Andini sempat terperangah melihat Gibran yang datang dengan pakaian kemeja biasa, ia tidak lagi mengenakan pakaian SMA seperti sebelumnya.

"Kapan dia berganti pakaian? Orang-orang tidak akan berpikir dia masih anak sekolah jika melihat penampilannya saat ini." Ucap Andini dalam hati.

"Bisakah kau jelaskan apa yang terjadi sejak tadi? Kau membawaku ke ruang perawatan seperti ini. Aku bahkan sudah bilang bahwa aku hanya menunggu hasil pemeriksaan, jika semua aman aku akan pulang dengan segera." celoteh Andini.

"Hmmm, aku tau, tapi untuk apa kau tetap diam di IGD yang sempit dan dipenuhi banyak orang itu? Bukankah disini lebih nyaman?" Gibran memberikan penjelasan yang membuat Andini sakit kepala.

"Tapi tidak perlu ruangan sekelas VVIP, apa kau gila? Gajiku sebulan akan langsung habis bahkan mungkin kurang untuk membayar ruangan ini."

"Tenang saja, kenapa kau harus bayar untuk dirawat dirumah sakit milik ayahku." ucap Gibran kemudian, ia terlihat bangga dan sombong dihadapan Andini. Andini sontak terperangah, ia tidak habis pikir dengan apa yang didengarnya barusan.

"Apa maksudnya dengan rumah sakit milik ayahmu?" tanya Andini syok.

"Iya, ini rumah sakit milik keluargaku. Jadi kau tidak perlu membayar semua biaya pengobatan disini, aku akan menanggung semuanya. Kau cukup fokus untuk pulih." kata Gibran dengan senyuman diwajahnya.

"Setelah kau pulih, maka aku akan membuatmu menderita di sekolah. Jadi cepatlah pulih!" batin Gibran.

"Haaahh, gila. Seberapa kaya keluarga bocah ini." gumam Andini pelan. Gibran yang bisa mendengar ucapan pelan Andini sontak tertawa.

"Hahaha, seberapa kaya? Apa kau tidak tau sekaya apa pria (Vino) yang kau pacari selama ini?" tanya Gibran heran.

"Ya Tuhan, kau masih berpikir aku punya hubungan dengan ayahmu?" Andini terdengar sangat frustasi.

"Tentu saja. Tapi jika kau bertanya karena benar-benar belum tau sekaya apa keluargaku? Maka aku akan jawab. Hmmm.. aku tidak tau seberapa kaya, yang jelas keluargaku saaaaaangaaaat kaya." Sahut Gibran dengan sombongnya. Andini yang geram melihat kesombongan Gibran sontak meraih bantal dan langsung melemparnya ke arah Gibran. Untungnya Gibran dengan sigap mengelak dari lemparan bantal tersebut.

"Apa-apaan kau? Kenapa kau melempar ku dengan bantal?" teriak Gibran marah.

"Aku malas mendengar celotehan bocah sepertimu! Sebaiknya kau pulang." kata Andini dengan wajah malas.

"Apa? Kau berani mengusir ku?"

"Tentu saja, ini kamarku sebagai pasien. Aku berhak mengusir siapa saja yang membuatku tidak bisa beristirahat dengan tenang."

Gibran langsung menatap tajam ke arah Andini.

"Kau.."

"Yang dia katakan benar, sebaiknya kau tidak mengganggunya untuk beristirahat." tiba-tiba sebuah suara mengagetkan keduanya, tampak Dimas sudah berdiri didepan pintu ruangan.

"Kau lagi.. mau apa kau kesini?" suara Gibran menunjukan ketidaksukaannya kepada Dimas.

"Aku akan membawanya untuk memulai pemeriksaan." ucap Dimas dengan wajah datar.

"Memangnya seorang dokter harus sampai mendatangi pasien hanya untuk membawanya melakukan pemeriksaan. Kau bukan seperti dokter pada umumnya." Gibran mulai mencurigai Dimas. Ditambah raut wajah Andini yang terlihat penuh kebencian saat melihat Dimas.

"Sudahlah Gibran, sebaiknya kau pulang. Terimakasih karena sudah menyiapkan ruangan yang nyaman untukku." ucap Andini dengan suara yang lebih pelan, Gibran terdiam, ia merasa nada suara Andini berbeda dari biasanya yang selalu bernada tinggi saat berbicara dengannya.

"Baiklah kalau begitu." Gibran akhirnya mengikuti perintah Andini untuk pulang, suara Andini yang terdengar pelan dan tidak nyaman membuat Gibran akhirnya mengalah. Ia berlalu pergi meninggalkan Andini dan Dimas. Sebelum pergi, ia sempat saling melempar tatapan tajam dengan Dimas.

"Bukankah benar seorang dokter tidak perlu sampai menjemput pasien hanya untuk melakukan pemeriksaan? setahuku itu adalah tugas perawat." Andini mulai berbicara saat dilihatnya Gibran keluar dari ruangan, Dimas mulai berjalan mendekatinya. Namun seolah mengabaikan pertanyaan Andini, ia justru balik bertanya kepada Andini.

"Dimana kau mengenal anak itu? Ada hubungan apa kau dengan anak muridmu itu?" tanya Dimas penasaran. Ia benar-benar terkejut saat salah satu rekan dokter memberitahukannya bahwa Gibran adalah anak dari pemilik rumah sakit tempat ia bekerja saat ini. Hal itu membuat Dimas semakin penasaran mengenai hubungan Andini dan Gibran, Dimas menangkap bahwa hubungan mereka bukan hanya sebatas guru dan siswa.

"Apa itu juga pertanyaan seorang dokter kepada pasiennya?" tanya Andini, ia kesal karena Dimas menanyakan hal yang tidak seharusnya ia tanyakan.

Dimas menatap Andini dengan tatapan tajam, ia lalu mendekati Andini dan langsung meremas pundaknya.

"Kemana saja kau selama ini Andini?" Bentak Dimas dengan nada suara tinggi, Andini tersentak namun kebenciannya terhadap Dimas membuatnya tidak gentar sedikitpun. Ia bahkan semakin benci mendengar pertanyaan Dimas yang seolah peduli kepadanya.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C11
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login