Download App

Chapter 2: Lika

"Bim... Bima, bangun Bim." sayup-sayup kudengar suara Nenek memanggilku. Nenek menepuk-nepuk pipiku. Apakah aku beneran pingsan tadi? Aku sudah terbaring diatas tikar yang dibentangkan di atas lantai sekarang.

"Ana, ambilkan minyak kayu putih dikamar Ibu." Perintah Bi Mala kepada gadis bergigi emas yang membuatku pingsan tadi.

Apa? Ana? Bi Mala memanggil gadis itu Ana? Berarti dia bukan Lika? Seketika aku tertawa dan terbahak sendiri. Betapa konyolnya aku. Berprasangka dengan pikiranku sendiri sampai pingsan.

"Astagfirullah, kamu malah ketawa sendiri. Ya Allah. Apa Bima kerasukan ya Di?" Nenek menoleh kepada Paman Ardi.

Mereka semua tampak cemas. Apalagi Nenek.

"Kamu kalau masuk ke kampung orang, pikiran kamu harus bersih Bim. Jangan ada pikiran yang aneh-aneh." ucap Nenek

"Bima hanya kecapekan Nek. Sakit kepala." ujarku mencoba menyembunyikan kebodohanku tadi. Akupun bangkit duduk.

"Nak Bima tidur dan istirahat saja dulu. Pasti capek nyetir tadi. Perjalanan kesini cukup jauh juga." Bi Mala terlihat ikut khawatir.

"Nggakpapa Bi. Bima baik-baik saja kok."

Kamipun kembali duduk di kursi ruang tamu. Sekilas aku melihat seorang gadis lain berlalu, berjalan menuju dapur. Bukan, bukan Ana yang tadi. Ini perawakannya berbeda. Aku tak melihat wajahnya, hanya punggungnya yang sudah berlalu menuju dapur. Sepertinya saat aku pingsan tadi ia turut memperhatikanku.

"Lika lagi masak di dapur." Ujar Bi Mala seperti tahu pertanyaan dalam hatiku. Mungkin ia memperhatikan ekor mataku yang melihat sosok yang berlalu ke belakang tadi.

"Ohh.. iya Bi, itu.. anu, nggakpapa." jawabku gelagapan.

"Cieeee... ada yang grogi mau ketemu calon istri." Lagi-lagi Nenek menggodaku. Sepertinya Nenek sedang masuk masa pubertas ke sepuluh.

"Lika, ayo kemari dulu." teriak Nenek.

"Bima sudah nggak sabar mau ketemu kamu." sambung Nenek lagi.

Astaga, Nenek memang tak bisa menjaga harga diriku.

Dari dapur muncul seorang gadis, berjalan ke arah kami. Dia terus saja menunduk malu-malu. Apakah dia Lika?

"Maaf Nek, dari tadi Lika di kebun belakang ambil sayur. Terus lanjut masak." Gadis yang menyebut dirinya Lika itu mencium tangan Nenek dengan santun.

"Nggakpapa, Nak." Nenek mengelus kepala Lika penuh sayang.

"Ini Bima." Nenek menunjuk kearahku. Akupun mencoba tersenyum. Lika juga senyum malu-malu menatapku. Lalu menyalamku.

Aku terbius dengan senyum Lika. Senyum yang sangat manis. Wajahnya juga cantik. Badannya mungil. Kalian tahu Nikita Willy? Ya, Lika mirip-mirip Nikita Willy, hanya saja dalam kemasan yang lebih sederhana. Imut, menggemaskan. Eh!

"Lika, ajak Bima keluar sebentar saja. Melihat-lihat suasana di luar " ujar Paman Ardi. Sepertinya mereka mau kami ngobrol berdua biar bisa lebih saling mengenal.

"Iya, ajak Bima gih, biar Bibi yang lanjut masak." sambung Bi Mala lagi.

"Ayo Mas Bima, kita ke kebun belakang saja." ujar Lika malu-malu.

Akupun mengiyakan saja. Daripada ikut dengan obrolan Nenek, Paman dan Bibi. Daritadi mereka hanya bernostalgia saja. Cerita yang sudah berulang-ulang diceritakan Nenek kepadaku. Cerita masa mudanya. Cerita tentang bagaimana kehidupannya di kampung ini. Aku sampai hafal dan bosan.

Apakah Nenek kalian juga begitu? Setiap hari mengulang cerita yang sama. Cerita nostalgia tentang masa mudanya.

~~~

"Kamu tahu soal perjodohan ini?" tanyaku pada Lika. Kami duduk di sebuah pondok dekat kebun sayur milik keluarga Paman Ardi.

Halaman belakang rumah Paman Ardi cukup luas. Dan ditanami berbagai macam tanaman. Ada sayuran, cabai, dan sebagainya.

Ana juga turut bersama kami. Tadi Lika mengajaknya. Kata Lika nggak baik jika wanita dan pria yang belum menikah ngobrol berdua saja.

Oh ya, Ana adalah putri Paman Ardi dan Bi Mala. Sebenarnya wajahnya manis dan lucu. Hanya saja sepertinya hobbynya makan melulu sehingga badannya sangat gempal.

"Tahu mas." jawab Lika.

"Lalu kamu setuju?" aku meliriknya.

"Nggak setuju dia Mas, Mbak Lika sering cerita ke Ana. Katanya dia takut. Dia nggak mau menikah sekarang." Tiba-tiba Ana menjawab pertanyaanku.

"Ana!!!" Lika melotot ke Ana. Lucu sekali ekspresinya. Diam-diam aku senyum sendiri melihatnya.

"Bukan begitu maksudnya Mas." sahut Lika. Dia menarik nafas panjang. Mungkin dia takut aku tersinggung karena dia tidak setuju dengan perjodohan ini.

Padahal akupun nggak mungkin langsung mau-mau aja dijodohkan seperti ini. Walaupun Lika ternyata cantik, lucu dan menggemaskan.

"Lika nggak punya siapa-siapa lagi Mas. Hanya ada keluarga Paman Ardi sebagai keluarga Lika sekarang. Lika takut mengecewakan mereka. Terutama mengecewakan mendiang Ibu." Mata Lika mulai berkaca-kaca.

"Kamu nggak perlu takut. Kamu nggak perlu mengorbankan diri dan perasaan kamu untuk mereka. Aku juga bisa menolak perjodohan ini."

"Tapi sebelum ibu meninggal. Pesannya adalah menitipkan Lika ke keluarga Mas Bima. Sepertinya Kakek Nenek Lika ada perjanjian dengan Kakek Neneknya Mas Bima dulu."

Ya, aku tahu tentang janji itu. Nenek bolak-balik menceritakannya kepadaku. Dulu Kakeknya Lika berjasa menyelamatkan nyawa Nenek. Mereka sahabat dari masa kecil. Waktu Nenek butuh transpalansi ginjal, ternyata Kakek Lika yang menjadi pendonornya. Dia merelakan satu ginjalnya untuk Nenek.

Sejak itu mereka berjanji, silaturahmi antar mereka tidak boleh putus, dengan cara menjodohkan anak mereka. Tapi ternyata Ayahku dan Ibu Lika gagal dijodohkan karena Ibu Lika diam-diam kawin lari. Lalu berlanjutlah perjodohan ini menjadi perjodohan antara aku dan Lika.

Hening sesaat.

"Kamu udah punya pacar?" tanyaku menyelidik.

"Ehmmm.. hmm.. itu... " Lika gelagapan

"Udah Mas, pacarnya Tono. Di sana rumahnya." Ana menunjuk ke arah sebelah kanan kami. Ke arah rumah Tono. Aku manggut-manggut.

"Oh... ternyata Lika udah punya pacar."

"Ana!!!" Lagi-lagi Lika melotot. Ana hanya nyengir lebar. Gigi emasnya kembali bersinar.

'Ting'

"Kabur ah. Ana ke rumah Wati ya Mbak. Jangan bilang-bilang ibu. Nanti Ibu marah kalau Ana main melulu." Ana berlari kecil meninggalkan kami berdua. Walaupun badannya bongsor, Ana cukup lincah juga.

"Ana... Ana... jangan pergi. Kami nggak boleh berdua disini." Teriak Lika.

"Udah nggakpapa." sahutku mencoba meredam ketakutan Lika.

"Nggak boleh mas. Lika takut "

"Emangnya aku hantu, makanya kamu takut."

"Bukan itu.. kata ibu kalau laki-laki dan perempuan duduk berduaan, nanti ada setan ditengah-tengahnya." ujar Lika polos.

Sontak aku tertawa.

"Ihhhh, kok ketawa sih. Ayo kita masuk ke dalam rumah saja Mas. Lika takut." Lika mulai berdiri. Aku menarik tangannya. Aku belum mau masuk kedalam rumah.

Lika kaget ketika kutarik tangannya. Tubuhnya kaku, menegang. Matanya terbelalak.

"Duduk di sini dulu. Aku malas mendengar obrolan mereka. Itu-itu saja. Pasti bernostalgia lagi." Aku memegang tangan Lika semakin erat. Mendudukkannya kembali di pondok.

Lika masih diam, kaget, sepertinya dia syok karena aku memegang tangannya. Dan sudut matanya mulai basah. Hah... kenapa Lika malah jadi nangis.

"Jangan Mas. Lepasin tangan Lika. Nanti Lika hamil." ucapnya sambil menangis.

Sontak aku tertawa terpingkal-pingkal. Astaga!!. Selugu inikah Lika. Perutku sampai sakit sekali karena tertawa.

"Kenapa Mas malah ketawa. Aku nggak mau hamil Mas." ucapnya masih menangis.

Aduh, didikan macam apa yang diterima Lika selama ini? Siapa yang sudah mendoktrin Lika, kalau pegangan tangan bisa hamil. Apakah hidup terpencil di desa ini membuat pengetahuan Lika tidak luas.

"Lika, dengar ya. Kalau aku hanya memegang tanganmu. Kamu nggak akan hamil. Cuma pegang tangan. Itu juga karena aku mau kamu duduk di sini. Bukan mau macam-macam. Aku malas ke dalam."

"Tapi... kata ibu..."

"Ibumu salah. Pegangan tangan nggak bisa buat wanita hamil."

"Jadi boleh?" tanyanya malah jadi penasaran.

"Iya bolehlah."

"Tau gitu kemarin aku pegang tangannya Tono." ujarnya lagi sambil cemberut.

"Tono memang pacar kamu??"

"Ehmm... Nggak sih Mas. Lika suka sama Tono, tapi nggak berani bilang. Tono juga sepertinya suka sama Lika. Dia selalu baik dan perhatian ke Lika. Tapi dia juga nggak pernah bilang kalau dia suka sama Lika." jelas Lika. Aku mengangguk-angguk mengerti.

"Umur kamu berapa sekarang?"

"Enam belas tahun Mas."

"Sekolah kamu?"

"Lika nggak tamat SMA Mas." Lika menunduk malu.

"Kenapa?"

"Lika cuma sampai kelas satu SMA, terus nggak lanjut lagi. Ayah Lika sakit-sakitan. Ibu jadi tulang punggung. Dari pagi sampai sore Ibu ke sawah. Jadi akhirnya Lika yang ngurusin ayah di rumah."

"Ngurusin ayah kan bisa pas pulang sekolah."

"Sekolah Lisa jauh Mas. Mana ada sekolah disini. Harus jalan berpuluh-puluh kilometer. Jadi kalau sekolah, Lika pergi subuh. Pulangnya sampai rumah udah sore. Kan jadinya nggak ada yang urusin ayah."

"Kamu mau lanjut sekolah?" tanyaku menyelidik.

"Mau mas. Mau banget." mata jernih itu berbinar-binar.

"Tapi emangnya masih bisa ya?" sambung Lika lagi.

"Bisa. Ambil paket C. Kalau kamu mau, bisa ikut sama Mas dan Nenek ke Jakarta. Biar kamu lanjut sekolah. Bisa lanjut kuliah juga."

"Tapi harus nikah sama Mas Bima dulu ya?" tanyanya ragu-ragu.

Aku tertawa lagi.

"Mas Bima sepertinya hobbynya ketawa. Daritadi ketawa mulu."

"Habisnya kamu lucu."

"Jadi aku harus nikah sama Mas Bima dulu baru bisa lanjut sekolah?" ia mengulang pertanyaannya.

"Iya." jawabku asal, sedikit ngarep.

"Nggak mau ah. Lika takut."

"Takut apa?"

"Takut hamil." jawabnya enteng.

Aku tertawa lagi. Bisa awet muda aku kalau terus-terusan dekat dengan Lika. Bawaannya pengen ketawa terus, karena tingkah polos dan lucunya.

Lika berdiri hendak beranjak dari pondok tempat kami duduk.

"Mau kemana?" tanyaku.

"Masuk kedalam Mas."

"Sebentar lagi Lika. Aku masih mau nikmati udara segar disini." Aku mencoba menahan Lika.

"Tapi Lika udah lapar."

Lika melangkahkan kakinya meninggalkan pondok.

"Lika tunggu." Aku sedikit bergegas menyusul Lika. Lika pun berbalik kearahku dan menungguku.

"Cepetan Mas. Laper nih."

Aku sedikit berlari. Tiba-tiba aku menyandung batu ketika sedikit lagi sejajar dengan Lika. Sontak aku menarik tangan Lika untuk menyeimbangkan badanku agar tak terjatuh. Dasar badan Lika juga mungil. Mana tahan dia menopang badanku yang sedang tak seimbang. Kami pun jatuh bersama dengan posisi badanku diatas badan Lika

Hening. Beberapa detik lamanya aku menikmati wajah polos Lika. Matanya yang jernih. Bibirnya yang menggemaskan. Lika pun tampak syok dan tertegun.

"Bima!!! Lika!!! Apa-apaan kalian!!" Nenek menjerit, memecah keheningan kami. Menyadarkan lamunanku yg sekilas terpaku memandang wajah Lika.

Aku buru-buru berdiri. Lika pun demikian. Air matanya terlihat sudah membasahi pipinya. Ia berlari sambil nangis tersedu-sedu kearah Nenek, dan memeluk Nenek.

"Nek... Lika takut hamil!!"


Load failed, please RETRY

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login