Download App

Chapter 2: Pertemuan Yang Aneh

Pria tinggi berkulit putih itu menatap Judith yang sedang duduk menyesap kopi hitamnya, Judith tertegun.

"Anda dari Majalah 'Ladies Dignity'?" Pria itu bertanya.

"Benar! Euhhh ...anda?"

"Saya Eggi Hamdani, yang anda akan wawancarai!" Jawabnya sambil mengulurkan tangan.

"Saya...Judith!" Judith menerima uluran jabat tangan Pria tinggi itu.

Pria itu langsung duduk di hadapan Judith, lalu memanggil pelayan. Dia memesan teh jeruk tawar untuk dirinya sendiri.

"Anda mau yang lainnya?" Tanyanya, mengejutkan Judith yang sedang sibuk mengamatinya.

"Ahhh...tidak, Pak! Ini sudah cukup." Judith menolak halus.

Mereka terdiam sambil mencari-cari topik pembicaraan yang pas.

"Pria ini keren juga. Bersih, manis dan tampan. Kelihatannya juga ramah." Pikir Judith.

"Panggil Eggi. Saya belum jadi bapak-bapak." Katanya dengan santai.

"Ehmmm baik, euhh...Eggi, Ya! Terima kasih sudah bersedia melakukan wawancara ini." Kata Judith.

"Dengan senang hati." Jawabnya.

Pelayan mengantarkan teh pesanan Eggi, di tambah dengan roti gandum.

"Sebenarnya, wawancara ini mengenai apa, Ya?" Tanya Eggi sambil menyesap teh nya.

"Ehmm, seperti yang anda ketahui. 'Ladies Dignity' adalah majalah digital yang sedang berada di top chart. Artikel kami, membahas tentang wanita dan segala pernak-perniknya. Saya adalah penulis untuk beberapa artikel dengan view tertinggi. Saat ini, kami sedang membahas tentang pria-pria masa kini yang menjadi role model dan paling di damba oleh wanita." Judith menjelaskan.

Eggi mengangguk-angguk mengerti, sembari memperhatikan wartawan di depannya. Wajahnya cukup cantik walau hanya dengan Make up sederhana. Tubuhnya padat berisi, tidak seperti gadis-gadis pada umumnya yang kurus seperti pensil bak artis Korea. Cara bicaranya juga lugas, tidak di buat-buat. Kelihatannya, wanita ini cukup cerdas.

"Owhhh, begitu. Ehmmm, jadi aku ada dalam daftar itu, Ya?" Tanya Eggi penasaran.

Judith terdiam mendengar pertanyaan Eggi, dia menggaruk rambutnya dengan pulpen yang sedari tadi di pegangnya.

"Hmmm, bisa iya, bisa tidak sihh! Duhh, gimana ya?" Judith agak bingung mau menjelaskannya.

Eggi mengangkat alisnya.

"Sebenarnya, bukan anda yang masuk dalam daftar itu." Judith menggigit bibirnya.

"What? Maksudnya? Jadi siapa?" Eggi terkejut.

"Adon Black Student." Jawab Judith.

Eggi melongo. Wajah tampannya berubah tiga ratus enam puluh derajat, jadi kelihatan bodoh.

"Adon Black Student?" Eggi membeo.

"Iya. Itu yang ada dalam daftar." Judith mengiyakan.

"Apaaaaa?" Eggi bertanya dengan nada tinggi sekaligus melengking. Mirip sound sistem yang ngejuit kencang.

Judith ikut-ikutan melongo. Kaget oleh reaksi Eggi.

"Adon itu kan tokoh fiktif! Dia cuma tokoh game yang gue ciptakan!" Eggi terlihat jengkel.

"Iya, betul. Ini hasil dari survey dan kuesioner online kepada beberapa wanita." Judith menunjukkan hasil survey yang ada dalam selembar map.

Eggi langsung menyambarnya seperti kesurupan. Dia membacanya, beberapa kali raut wajahnya berubah warna. Dari merah ke biru, udah gitu kuning dan pucat. Mirip permen segala rasa.

"Njirrr! Ini majalah apaan sih?" Eggi menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Majalah Wanita, Pak!" Judith juga jadi terbawa kesal. Walau sebenarnya Judith mengakui kalau wawancara ini kekonyolan yang nyata.

"Iya. Gue tahu." Jawab Eggi ketus.

"Maksud gue, apa maksudnya harus tokoh game yang gue ciptakan yang harus di wawancara. Unfaedah banget!" Katanya lagi.

"Mohon maaf, Pak!Jangan marah sama saya! Saya kan hanya menjalankan tugas dari pimpinan. Jadi kalau bapak kesal sama saya, itu tidak pada tempatnya." Judith menjawab dengan wajah tanpa ekspresi.

Eggi menatap wajah Judith. Dia mulai berusaha meredakan emosinya. Eggi merasa harga dirinya di banting dari puncak gunung Tangkuban Parahu ke Cipagalo.

"Gini,loh! Mbak Juju..."

"Judith!"

"Iya, Mbak Ju! Kok, mau-maunya ngerjain kerjaan konyol macem begini, sih?" Tanya Eggi.

Tuiinkkkk. Sekarang Judith yang emosinya baik ke ubun-ubun.

"Ehhh, anda nggak usah merendahkan profesi saya, Ya! Saya wartawan profesional yang bekerja sesuai dengan perintah pimpinan dan keinginan pembaca. Ini bukan pekerjaan konyol seperti yang barusan anda katakan." Judith ngos-ngosan mengambil nafas setelah ngerap barusan.

Eggi juga kaget sama reaksi Judith yang wajahnya jadi Semerah cabe keriting. Kalau di teruskan, pasti bakalan berdebat panjang sampe tiga kali lebaran.

"Ya, sorry deh! Bikin aja jadwal wawancara yang baru. Saat ini gue ga mood. Ntar hubungi aja manajer gue."

Eggi menyelipkan dua lembar uang berwarna merah di bawah cangkir tehnya. Judit tertegun.

"Saya permisi duluan, Mbak Ju! Masih banyak kerjaan." Katanya sambil terus meninggalkan Judith sendirian.

Judith mengusap wajahnya. Dia merasa lelah.

"Hufftt. Kayak dia sendirian aja yang paling sibuk. Terus, yang lain main gundu?" Katanya bersungut-sungut.

Hari sudah menjelang petang. Judith membayar minumannya barusan. Pelayan yang tampan menghitung bill.

"Ini kembaliannya, Mbak!" Katanya.

Masih ada sisa kembalian selembar uang merah dan dua puluh ribuan. Judith rada sumringah. Dapet tambahan buat bensin.

"Ehh, Mas! Rotinya take away dehh, tolong di bungkus, Ya!" Kata Judith.

"Siap, Mbak! Sebentar, Ya!" Katanya sambil terus membawa piring roti dan membungkusnya di dalam.

"Lumayan lah! Nggak usah beli camilan buat ntar malam." Judith memasukkan roti yang sudah di bungkus ke dalam tasnya.

"Tuhh, Cowok sebenernya tampangnya imut. Sayangnya, gampang naik darah! Belagu, deh! Pake bilang ini kerjaan konyol segala. Menyebalkan banget, huh!" Judith menggerutu sambil menuju tempat parkir, langkahnya berderap kayak anak-anak paskibra lagi latihan.

Eggi sampai ke rumahnya. Di ruang tamu, Eggi melihat Luki Manajernya, sedang rebahan dengan kedua kaki menyentuh dinding.

Eggi melempar Sling bag dan helmnya asal. Hampir menimpuk Luki yang lagi leyeh-leyeh seakan rumah ini miliknya seorang.

"Awwhhh! Nyaris aja. Ehhh, loe kenapa, Bro? Gimana wawancaranya?" Seketika Luki duduk tegak.

"Nyebelin." Jawab Eggi ketus sambil menghempaskan tubuh di sofa kuning besar kesayangannya.

"Nyebelin gimana?" Luki kaget.

"Yang mereka mau wawancara sebenarnya bukan gueee!" Eggi menjawab dengan luapan emosi jiwa yang membusuk.

"Laaahh, terus siapa?" Luki kaget sekaligus penasaran. Duduknya sampe maju ke depan.

"Adon!" Jawab Eggi kesal.

"Adon? Adon mana? Adonan semen maksud loe?" Tanya Luki heran.

"Hehhh! Loe jadi Manajer gimana sih? Masa nggak tahu kalau Adon itu tokoh game ciptaan gue!" Eggi melotot serem.

Luki melongo. Kaget sekaligus merasa geli. Pantas saja Eggi uring-uringan, pasti harga dirinya hancur berkeping-keping karena di kalahkan oleh tokoh game ciptaannya sendiri. Ibarat senjata makan Tuan.

"Nguahahhahahaa! Nguahahhahahaa!" Luki meledak tawanya. Matanya sampai berair.

Eggi makin kesal dan menimpuk Luki dengan jaketnya.

"Ampuunn, Bro! Hahahahaha, tapi gue nggak tahan. Kocaaakk banget hahahahh!" Luki tidak bisa menghentikan tawanya.

Eggi makin cemberut.

"Awas, Ya! Gue nggak kasih jatah bonus sama pisang bolen!" Eggi mengancam.

"Ahhh Jangan doongg! Hahhahahaha, Iya deh! Maaf!" Tetap saja, Luki nggak bisa menghentikan raut wajahnya yang menahan tawa sampai dia terkentut-kentut.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login