Download App

Chapter 3: Part 3. Pertengkaran

"Wuih! Udah pada kumpul nih? Maaf ya Ibu datang ke sini agak lama," sapa Fatma, sekaligus menjelaskan alasan kenapa ia telat untuk datang ke meja makan, padahal semuanya sudah menunggu.

Dengan senyuman yang terukir di bibir, Fatma menarik kursi yang berada di samping Satya, lalu duduk di kursi tersebut.

"Tian mau sekalian Ibu ambilin nasinya?" tawar Fatma, yang sama sekali tak diberi jawaban.

Kembali mengulas senyuman miris, Satya hanya diam menatap interaksi keluarga kecilnya yang baru itu.

"Vina mau juga?" tawar Fatma pada Vina, yang juga tak mendapat sahutan sama sekali.

"Kalau kalian enggak ada yang mau, biar Ayah aja. Kan Ibu memang punya Ayah," ujar Satya mencoba untuk mengembalikan suasana, lalu menerima piring yang sudah berisi nasi beserta lauk dari tangan Fatma.

Kembali mengulas senyum, Fatma mengambil piring untuk dirinya sendiri, lalu mencentongkan nasi ke atas piring, disusul lauk pauk yang sudah ia masak.

Hal yang menyakitkan kembali ada di depan mata Fatma, kedua anak sambungnya tidak ingin menggunakan centong yang baru saja digunakan oleh Fatma.

Tian lebih memilih untuk berdiri, lalu mengambil centong yang lain dari dapur.

"Kenapa kek gitu, Tian? Kan sama aja. Centong yang ini juga enggak kotor kok," tanya Satya, sambil mengambil centong yang tadi digunakan istrinya dan membolak-balik, untuk memastikan jika tak ada kotoran sama sekali.

"Enggak mau, soalnya bekas tangan dia!" sarkas Tian sambil melirik tak suka ke arah Fatma, hal itu sukses membuat Fatma kembali diam dan hampir saja menjatuhkan air mata.

"Tian! Jaga omongan kamu ya! Perempuan yang ada di depan kamu itu adalah ibu sambung kamu! Ayah enggak pernah ngajarin kamu jadi anak yang kek gini!" sentak Satya, tetapi tak dihiraukan oleh Tian.

Ia justru mengambil piring adiknya, dan menyedokkan dua centong nasi ke atas piring tersebut. "Nih, Dek, dimakan!"

Vina mengangguk, lalu menerima piring tersebut dan mengambil lauk pauk yang disuka.

"Tian! Ayah lagi ngomong! Kamu dengerin enggak sih!" sentak Satya lagi, pada posisi seperti ini, Fatma benar-benar merasa bersalah.

"Mas, udah!" Fatma mengusap-usap lengan milik Satya, berharap jika kemarahan yang ada di dalam hatinya agar segera mereda.

"Enggak bisa dibiarin anak kek gini tuh! Harus dikasih tahu mana yang benar dan juga mana yang salah!" jawab Satya, sambil menatap kasihan pada Fatma.

Bukannya membenarkan apa yang tadi menjadi jawaban Satya, Fatma justru menggeleng, lalu berucap, "Udah, Mas. Sekarang waktunya makan, kita lanjutin makan dulu, yuk!"

"Tapi, Sayang ...."

Fatma kembali menggelengkan kepalanya. "Udah, Mas, udah. Tian sama Vina itu masih kecil, wajarlah. Nanti juga lama kelamaan pasti terbiasa kok sama aku."

"Halah kebanyakan caper!" sindir Tian, lalu memasukkan satu sendok nasi ke dalam mulut.

"Tian! Ayah enggak pernah sama sekali ngajarin kamu kek gini!"

"Ya iyalah enggak akan pernah! Emang Ayah selalu ada di rumah?" Pertanyaan tersebut langsung membuat Satya sukses terdiam.

Sadar. Satya sangat sadar jika selama ini ia memiliki waktu di rumah hanya sebentar, tetapi apakah ada yang tahu jika ia selalu bekerja? Berangkat pagi, bertemu malam. Semuanya untuk siapa?

Hanya untuk keluarga kecil yang sudah ia bayangkan keharmonisannya, tetapi kenyataan memang mengajarkan kita supaya tak terlalu berekspektasi tinggi.

Fera--istri dari Satya justru memilih laki-laki lain yang lebih memiliki waktu banyak untuk dirinya. Apakah perempuan tersebut pantas untuk dipertahankan? Jawabannya tentu saja tidak.

Maka dari itu, Satya lebih memilih untuk langsung menalak Fera saat itu juga.

Namun, ia kira setelah menikahi perempuan yang mengisi hatinya lagi, Satya akan merasakan keharmonisan sebuah keluarga, tetapi pada kenyataannya tak seperti itu.

"Tian, enggak boleh ngomong kek gitu. Kamu tahu? Ayah kamu kerja siang malam untuk apa?" ucap Fatma yang mencoba untuk menyadarkan anak sambung laki-lakinya itu.

"Itu semua dilakuin, supaya keluarganya berkecukupan. Semua kebutuhannya tercukupi. Kamu hanya perlu bakti sama orang tua kamu, Nak," sambung Fatma, yang membuat Satya kembali jatuh cinta dengan istrinya saat ini.

Bukan hanya paras yang menawan, tetapi tutur katanya pun sangat sopan dan juga dapat langsung dipahami.

Bukannya tersentuh dan tersadar setelah Fatma berucap seperti itu, Tian justru memundurkan kursi yang tengah didudukinya, lalu meninggalkan ruang makan.

"Tian!" panggil Satya, dengan wajah yang kini penuh dengan kilat amarah.

Buru-buru Fatma menggenggam lengan Satya dan berusaha untuk mengontrol emosi yang kini tengah meluap-luap.

"Mas, udah enggak penting ah! Dari tadi marah-marah terus," ucap Fatma, lalu tangannya bergerak untuk mengusap keringat yang berada di sekitar dahi suaminya.

"Kita sebagai orang tua memang harus sedikit keras, Sayang," jawab Satya, sambil menatap wajah Fatma.

Bukannya setuju, Fatma justru menggelengkan kepalanya. "Bukan dengan cara seperti itu, Mas. Perlahan aja, lagian ini baru hari pertama."

Mendengar penjelasan yang diutarakan oleh Fatma, membuat Satya sadar dan membenarkan apa yang diucapkan oleh Fatma.

"Nak, nanti selesai makan kamu juga siap-siap gih! Bentar lagi jam tujuh," titah Fatma, karena makanan yang berada di piring Vina akan habis sebentar lagi.

Setelah selesai menghabiskan makanan, Vina langsung melenggang pergi menuju ke dalam kamar, tanpa mengucap sepatah kata pun.

"Maafin kedua anak Mas ya, Sayang," pinta Satya, sambil menatap wajah teduh milik Fatma.

"Tidak apa-apa, Mas. Udah ah! Jangan dibahas terus," jawab Fatma, lalu melepas genggaman tangannya dan beralih kembali memegang sendok. Memasukkan satu suap nasi ke dalam mulut.

"Mas, mau ke mana? Makanannya belum habis, itu sedikit lagi!" tanya Fatma, saat Satya Satya berdiri dan merapikan jas yang dikenakannya.

Satya tersenyum, lalu mengusap lembut puncak kepala istrinya itu. "Mau ngobrol empat mata sama Tian. Kamu mau ikut?"

"Makanannya dihabisin dulu!" titah Fatma, yang langsung dijawab anggukan pasrah oleh Satya.

Kembali duduk di kursi tadi, juga memegang sendok, melanjutkan kembali makanan yang tinggal sedikit lagi. Sengaja Satya mempercepat mengunyah makanan yang masuk ke dalam mulut.

Karena sebentar lagi Tian pasti akan berangkat sekolah. Dan dugaan Satya memang benar, Tian sudah terlebih dulu berangkat ke sekolah.

Terbukti dari kamarnya yang sudah terkunci rapat. Satya pun lebih memilih untuk masuk ke dalam kamar miliknya sendiri.

"Mas, udah ngomong sama Tian?" tanya Fatma yang heran, karena Satya sangat cepat sekali.

Fatma juga ikut melangkahkan kaki meninggalkan ruang makan, saat suaminya itu pergi untuk bertemu dengan Tian.

"Udah berangkat," jawab Satya, lalu menghampiri Fatma yang sudah siap dengan jas di tangan.

Sambil memasangkan jas ke tubuh suaminya, Fatma menyempatkan diri untuk berucap, "Mas, nanti coba kontrol emosi kamu ya. Enggak baik marah-marah sama anak yang masih kecil kek gitu."

"Sayang, mereka memang masih anak-anak, tapi bukan seharusnya kamu selalu belain mereka terus," jelas Satya. Mengutarakan opini yang ia punya.

"Mas, kamu percaya enggak sama yang namanya kebersamaan? Eum ... lebih tepatnya adalah kekuatan dari bersama?" tanya Fatma, dengan kedua mata yang menatap manik mata sang suami.

"Aku hanya menginginkan kalau kedua anak aku itu bisa menghargai kamu, Sayang," ucap Satya, tak peduli dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Fatma tadi.

'Semua ada waktunya kok,' ujar Fatma di dalam hati, itu hanya untuk menguatkan dirinya saja.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login