Download App

Chapter 3: Lingerie

Dua tahun lalu Aliff mendapat promosi lagi dan dimutasi untuk bekerja di kantor pusat perusahaan di Boston. Di sebuah ruang USG, pada hari kerja terakhir, keduanya bertemu secara sembunyi-sembunyi. Clara bertemu untuk melepas kepergian Aliffurokhman, kekasih gelapnya. Mereka berciuman dengan dalam dan hangat karena keesokan harinya Alif sudah akan pergi ke luar negeri bersama keluarganya. Di ruang sempit itu, Clara sudah sangat pasrah dan baru saja sedetik dipenetrasi secara vaginal ketika terdengar langkah kedatangan kepala perawat yang seketika membuyarkan semuanya.

Sejak itu hubungan dengan Clara hanya lebih banyak via chat dan email. Seperti email yang saat itu baru saja Clara baca. Ia baru menutup laptopnya ketika Cahyo bicara lagi soal rumah yang mereka akan beli.

“Sebelum kita bikin urusan jual-beli rumah di notaris, aku mau tanya. Kamu serius mau beli rumah itu?”

“Tentu.”

“Aku sebetulnya gak setuju, tapi kamu ngotot sih orangnya.”

“Ngotot itu nggak dosa kan? Kalo nggak ngotot aku gak kawin sama kamu, Pa.”

Dasar. Sebuah joke garing. Cahyo hanya tersenyum kecut. Topik pembelian rumah ini memang sensitif. Mereka terlalu sering beda paham. Tapi tiap kali muncul perang argumentasi akhirnya akan berakhir dengan kemenangan pada pihak Clara. Sebetulnya itu bukan karena argumentasinya kuat melainkan karena Cahyo mengalah saja. Ya, mengalah. Sebuah kegiatan yang sudah ratusan kali ia lakukan selama 3 tahun perkawinan mereka.

Mengalah mungkin nampak bijaksana. Tapi, bagaimana jika itu mencapai batasnya? Tidakkah sebuah konflik kecil akan menjadi bagai sebuah kerikil kecil yang cukup untuk menenggelamkan perahu yang sebelumnya sudah padat terisi jutaan kerikil yang sama? Tidakkah pada akhirnya sikap mengalah akan menjadi sebuah sikap kontraproduktif karena memang pada diri Cahyo sudah lama timbul ketidakpuasan. Ada kemarahan terselubung karena merasa selama ini dirinya hanya diperalat. Ego sebagai suami terabaikan, merambah sangat cepat dalam sanubari.

*

Mengikuti Lyn itu berarti siap dibawa dalam berbagai petualangan. Termasuk ketika pagi ini Lyn mengajak Velove menemaninya belanja di mall.

“Belanja? Tapi ini kan masih jam sekolah?” katanya saat duduk bersampingan di bangku pada salah satu koridor sekolah.

“Terus kalo jam sekolah, masalahnya dimana?”

“Lu ngajak bolos?”

“Yap!” jawab Lyn mantap, tanpa merasa bersalah.

Saat Love masih berpikir dan menimbang-nimbang, Lyn sudah berbicara lagi. “Kita berdua udah 18 tahun. Hanya tinggal hitungan bulan sebelum ninggalin sekolah. Masa’ sih nggak mau ngalamin petualangan dan agak sedikit badung. Ninggalin kenang-kenangan kalo kita pernah punya pengalaman unik.”

‘Masuk akal juga,’ pikir Love. “Terus, kita kaburnya gimana? Kita masih pake seragam sekolah. Dengan rok kotak-kotak warna ijo begini, orang akan tahu asal sekolah kita. Kalo dilaporin ke pihak sekolah ada dua cewek badung kelayapan di mall, gimana dong?”

Lyn mengebas tangan di muka Love. “Lu tuh cupu banget dah. Nggak semua mall seketat itu. Dan nggak semua orang usil ngelaporan seperti ketakutan lu.”

Love masih tetap ragu. “Kalo tetep kita dilaporin?”

“Denger. Biarpun dilaporin, paling sanksinya hanya teguran lisan. Gak mungkin juga kita dikeluarin karena ini menyangkut reputasi Yayasan St. Bernado. Mereka pasti gak akan mau kehilangan nama baik. Itu sanksi dan hukuman bukan untuk anak kelas 12 kayak kita yang bentar lagi tamat dari sekolah!”

Nah, atas dasar hal itu untuk pertama kalinya Love mengikuti langkah sahabatnya yakni: bolos. Mereka diam-diam meninggalkan sekolah dengan sedan hatchback yang dikemudikan Lyn.

*

Puncak pembalasan Cahyo – kalau memang itu pantas disebut sebagai sebuah pembalasan – adalah ketika sejak sebulan lalu ia tidak lagi mengizinkan ponselnya dibuka oleh isterinya. Beda dengan sebelumnya ia selalu mengalah dan mengalah dan mengalah, kali ini ia bersikukuh dengan pendapatnya. Khusus untuk privacy, ia tidak mau pendapatnya dibantah. Ia tidak mau mengalah.

‘Enak saja,’ pikirnya. ‘Masak iya aku ngikutin semua maunya dia.’

Sikap kukuhnya memang pada akhirnya menimbulkan konflik baru. Tapi ia sudah tidak peduli. Khusus untuk yang satu ini, ia bersikukuh dan harus bersikukuh. Alasannya sederhana: ia tidak ingin hubungan khususnya dengan Latifa diketahui Clara.

Mengenai hal itu, ia sadar bahwa dirinya salah. Ia lalu mulai mencari pembenaran dengan menyebut sikap isterinya yang tak mau mengalah tadi. Lalu ada alasan lain. Yah, apalagi jika bukan masalah rumah yang baru mereka beli. Dan terakhir, yang ketiga, menurutnya, keuangan mereka dalam krisis karena Clara itu punya hobby yang – katakanlah - mahal. Ia punya berbagai koleksi benda-benda kuno yang ia miliki dan ini jadi hal yang sering jadi pemicu konflik karena otomatis hobby ini membuat anggaran rumah tangga tersedot cukup besar.

Cahyo mulai bersikap keras walau tak ditampilkan secara frontal. Dan dalam keadaan seperti itu, ia pikir tak ada salahnya juga ia mulai ‘membangkang’ dengan bersikukuh dalam hal privacy di ponsel. Sebuah privacy yang sebetulnya untuk menutupi kedekatannya dengan wanita lain di luar Clara.

Rumah tangga Clara dan Cahyo sudah jelas di ujung tanduk.

*

Dalam kabin mobil yang mengarah ke mall, Love bertanya: “Terus kita ke mall mau ngapain?”

“Mau traktir lu. Gue mau beliin lu sesuatu.”

“Wuihhh mantap. Lu mau traktir gue makan?”

“Ini masih pagi woy…”

“Terus lu mau beliin gue sesuatu itu apa? Baju?”

“Bukan.”

“Aksesoris?”

“Bukan. Gue mau ngasih surprise ke lu.”

“Aseeeeek,” Love kegirangan sambil bertepuk-tangan. “Ya udah terserah. Emang lu baru dapet duit dari bokap?”

“Dari Fathur lah,” jawab Lyn kenes sambil sigap menggerakkan kemudi sampai kendaraan mereka mulai memasuki sebuah mall. “Bokap mana pernah ngasih. Nyokap ngasih tapi hanya pas untuk kebutuhan.”

“Enak ya punya cowok sultan.”

“Memang. Nah lu sendiri kapan? Gak mau punya cowok sultan?”

“Mmmm.”

“Banyak cowok sultan yang mau sama lu. Kenapa lu nggak samber aja tuh si Kyle atau Burhan?”

“Nanti deh, gue pikir-pikir.”

“Dari dulu pikir-pikir terus. Jangan nyesel begitu lu udah sadar, bodi lu udah nggak menarik lagi dan gak ada cowok ganteng naksir.” Lyn menghembus nafas. “Udah deh, lu brenti dengan sikap trauma lu. Buka hati sama yang lain.”

Lyn memarkir kendaraan dengan sempurna. Mereka turun dan melangkah masuk ke dalam mall. Langkah mereka dipercepat karena sudah mulai terasa gerimis.

Butik khusus produk wanita yang Love dan Lyn masuki masih sepi. Belum ada calon pembeli yang datang. Love mengikuti saja ketika Lyn melangkahkan kaki ke sudut tertentu. Rak yang memajang produk aneka blouse, dilewati. Rak dengan produk aneka rok, dilewati. Begitu pun rak dengan produk gaun malam.

Love ikut berhenti ketika Lyn berhenti di area yang menjual aneka pakaian dalam wanita. Mata Love terbelalak sambil kedua telapak tangan menutup mulutnya sendiri. Di depannya terpajang lingerie, g-string, garter belt, stocking – bahkan yang bentuk jala - yang dikenakan pada manekin dan tergantung di rak. Inikah yang mau dibeli Lyn untuknya?

*


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C3
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login