Download App

Chapter 4: Simbol Falcon

Suwa membeku dengan wajah pucat pasi. Dalam sekejap mata pria itu sudah mencengkeramnya. Astaga, makhluk itu tersenyum. Bukan, ini bukan senyuman melainkan ancaman. Suwa langsung menarik kata-katanya. Ia meneguk ludah. Merasa lebih baik makhluk itu memasang wajah datar tanpa ekspresi ketimbang harus menarik sudut bibirnya. Firasatnya berkata, ini adalah tanda bahaya. Makhluk itu marah.

Ludra sang Falcon terakhir perlahan memunculkan sebilah pisau dari semburat es yang ia ciptakan. Dan langsung menyayat leher Suwa. Refleks Suwa memejamkan mata, bersiap mati. Tetapi ia kembali membuka mata lantaran pisau itu hanya menggores lehernya. Suwa terkesiap, tiba-tiba saja Ludra membenamkan kepalanya kelekukan leher Suwa yang terluka. Hingga mau tak mau gadis itu memiringkan kepala. Makhluk itu menciumnya. Tidak, lebih tepatnya menghisap darahnya. Suwa merasakan desiran aneh yang melingkupi sekujur tubuhnya. Ia meringis antara geli dan perih. Entah apa yang dilakukan makhluk itu padanya, yang jelas tubuhnya mendadak lemas.

Ya dewa, makhluk ini akan memakannya. Menghisap darahnya sampai habis. Sampai tubuhnya menciut kering seperti mumi.

Ludra terus menghisap darahnya sembari merapalkan mantera. Tak berselang lama, Ludra mengangkat wajahnya. Seketika itu juga luka goresan di leher Suwa perlahan menghilang. Membentuk garis lurus yang bersinar kekuningan. Lalu, garis itu meresap ke dalam kulit Suwa lambat laun memudar.

Suwa seketika limbung sembari memegang lehernya. Merasakan bagian tubuhnya itu terasa begitu dingin sampai membekukan, "Apa yang kau lakukan padaku?"

"Menandaimu." Ludra mundur, manik peraknya menatap Suwa yang tengah tersiksa tanpa rasa bersalah.

Suwa masih terus memegangi lehernya dengan panik. Sungguh ini dingin sekali. Berasa tenggorokkannya dijejali es batu yang sangat banyak hingga membuatnya menggigil ngilu.

"Dingin, ini dingin sekali." Suwa benar–benar tersiksa. Hawa dingin itu seakan mencekiknya.

"Ini akan segera berakhir."

Perlahan rasa dingin yang menyelimuti leher Suwa menyurut. Lehernya kembali normal. Ia terengah dan langsung mendongak menatap Ludra tajam.

"Kau benar-benar kejam."

Ludra tak menanggapi, ia membalik badan dan berkata, "Ayo, bersihkan dirimu!"

****

Suwa ternganga menatap hamparan sungai yang begitu jernih di depannya. Bebatuan kecil menjadi penghias di sepanjang aliran sungai. Dia melirik Ludra dengan kesal,

"Kau ingin aku mandi di sini?"

Ludra mengangguk.

Suwa membuka mulutnya lebar-lebar, "Ya ampun. Demi dewa... Aku perempuan dan kau~." Ia menelusuri diri makhluk di sampingnya, "Entah kau ini apa yang jelas wujudmu laki-laki. Dan kau menyuruhku mandi di sini, dengan kau melihat semua. Astaga!"

Suwa mengerang frustasi, bagaimana bisa makhluk putih itu menyuruhnya membersihkan diri di sungai yang terbentang luas dan bahkan tidak ada pembatas seperti bebatuan besar misalnya, untuk menutupi tubuh telanjangnya. Tubuhnya memang terasa lengket, pakaian merah mudanya lusuh diterpa debu. Wajahnya pun juga sama kumutnya. Dia memang perlu mandi. Tapi tidak jika ada sepasang mata melihatnya.

"Aku akan mandi. Bisakah tuan pergi sebentar!" Suwa berucap sopan, berharap pria itu menuruti permintaanya.

"Mandilah, aku akan menunggu di sana." Ludra menunjuk pohon besar yang ada di sisi sungai.

Suwa terbelalak, tetap saja di posisi itu makhluk ini dapat melihat dengan jelas, "Aku wanita dan perlu privasi."

Ludra lantas menatap Suwa. Bukan tatapan tajam penuh intimidasi. Tetapi tetap saja bagi Suwa tatapan makhluk itu terasa menakutkan.

"Ma-maksudku aku tidak bisa mandi jika ada pria yang terang-terangan melihat. Aku manusia dan mempunyai rasa malu." Suwa berkata lambat-lambat. Ia perlu menjelaskan hal-hal yang menyangkut kehidupan manusia. Mungkin bagi makhluk legendary melihat dan dilihat saat mandi merupakan hal biasa.

"Aku mengerti." Ludra sedikit mundur. Lalu mengulurkan sebelah tangan ke atas. Bersamaan itu, sebagian air sungai tiba-tiba terangkat membentuk setengah lingkaran. Secara ajaib air itu membeku. Menjadi dinding pembatas.

Sekali lagi Suwa ternganga, begitu takjub akan hal luar biasa yang dilakukan makhluk ini.

"Mandilah!"

Suwa mengangguk kemudian dengan ragu melirik Ludra yang berbalik membelakangi dirinya, "Jangan membalikkan badanmu dulu. Aku perlu melepas pakaian."

Bisa dilihatnya makhluk itu mengangguk.

"Hmmm, tapi apakah kau bisa menciptakan pembatas melingkar?" Suwa menggigit ujung bibirnya setengah khawatir. "Jangan cuma sebagian. Aku takut jika ada makhluk lain yang melihat."

"Tidak ada. Ku pastikan hanya ada aku dan kau di tempat ini."

Suwa menghela nafas lega. Perlahan ia melepas satu persatu pakaiannya. Takut-takut kalau mendadak makhluk itu berbalik dan melihatnya. Tetapi sepertinya ketakutannya bisa ia simpan. Makhluk yang bernama Ludra itu masih terdiam menghadap ke arah berlawanan.

Perlahan Suwa mencelupkan tubuhnya ke dalam sungai. Pembatas yang berasal dari air yang membeku itu cukup mampu menutupi tubuh telanjangnya.

Suwa mandi dengan nyaman. Seakan-akan sudah lama tak menyentuh air. Ia memejamkan mata merasakan genangan air sungai terasa menenangkan. Tanpa sadar dirinya bersenandung. Sampai lupa bahwa ada yang menungguinya mandi.

Mungkin sang Falcon yang tenang itu mulai jengah.

"Cepatlah! Beberapa saat lagi pembatas itu akan mencair."

"APA?" Suwa seketika berjengit. Dengan cepat ia menggosok tubuhnya sembari menggerutu.

Makhluk sialan! Kenapa baru bilang?

Meski samar, Suwa bisa melihat pria bermata perak itu duduk bersandar di pohon sambil menselonjorkan sebelah kakinya. Dia tadi bicara dengan mata terpejam tenang. Suwa memutar bola mata tak habis pikir.

Lalu Suwa terkesiap panik saat sedikit demi sedikit dinding es tersebut mulai mencair, "Yah... Yah... Ti-tidak tunggu jangan mencair dulu!"

Byurrr!!!

Pada akhirnya dinding itu meleleh begitu cepat. Suwa seketika duduk, membenamkan tubuhnya ke dalam sungai sampai sebatas leher.

Ludra membuka mata. Menatap Suwa yang menunduk malu. Falcon terakhir itu berdiri lantas membalikkan badan, "Pakailah pakaianmu lagi!"

Suwa merangsek keluar dari sungai dengan hati-hati. Ia teramat malu. Dia telanjang dan tak jauh dari sana ada seorang pria. Meski yakin makhluk itu tidak akan bertindak asusila padanya. Tetapi tetap saja ia merasa cemas.

Suwa berjongkok memunguti gaunnya. Sesekali matanya mengintip was-was. Tubuh basah serta telanjangnya membuat ia kesulitan untuk mengenakan kembali bajunya, "Jangan berbalik dulu jika aku belum menyuruhmu."

Ludra yang berdiri diam dengan kedua tangan disilangkan ke belakang itu mengangkat alis, "Jadi sekarang kau menyuruh tuan mu?"

Suwa tersentak. Sadar ucapannya itu tidak pantas ditujukan pada pria yang berstatus sebagai majikan, "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud~."

"Sudahlah... Cepat pakai bajumu!"

"Ya tuan." Suwa mengangguk, dengan cepat ia memakai kembali pakaiannya. Kelereng hitamnya menatap lurus makhluk yang berdiri dengan sikap bersahaja dan begitu agung.

Sungguh indah.

****

Beberapa penduduk berlarian ke sisi hutan. Wajah mereka kalut dan takut. Mereka dikejar. Satu persatu penduduk itu berubah diri dalam bentuk seekor rubah. Ya, mereka siluman rubah.

Suara aungan itu semakin dekat dan mengerikan.

Meloncat-loncat. Berlari sekencang mungkin. Dan....

CRAAAAASSSHHH!!

Na'as satu siluman rubah tercabik oleh kuku-kuku tajam. Jeritan panik melengking. Tubuh mereka gemetar. Suara kepakan sayap itu terus menggema.

DEMMMMHH....

Dua belas siluman rubah itu membelalakkan mata. Takut. Di depannya berdiri makhluk besar yang teramat berbahaya.

Heise.

Dia adalah sang naga. Salah satu anak buah sang kegelapan yang paling tangguh.

Naga berwarna merah itu membuka mulut. Menyemburkan api besar. Menghanguskan para siluman rubah hingga berdebu.

Naga itu menyeringai, lambat laut tubuhnya menyurut. Berubah menjadi sosok pria rupawan.

"Inilah akibatnya karena telah mengambil milikku." Heise melirik ke arah tubuh wanita yang tergeletak tak berdaya.

****

Suwa berdiri bersejajar dengan Ludra. Masih di tempat yang sama. Ekor matanya melirik makhluk itu yang masih bergeming. Di dalam hati ia bertanya-tanya. Menyempurnakan kekuatan. Suwa mengernyit. Dia masih ingat percakapan sang penyihir dengan Ludra waktu itu. Bahwa Ludra harus menyempurnakan kekuatannya dulu sebelum menghadapi sang kegelapan.

Apanya yang disempurnakan? Suwa mencibir. Kekuatan makhluk ini jelas sangat hebat. Dia bahkan bisa membekukan air dan melesat ke sana kemari begitu cepat.

Alis Suwa semakin berkerut. Dan, apa maksudnya menandai? Untuk apa juga makhluk dengan kekuatan luar biasa ini memerlukan pelayan?

Tetapi segala pertanyaan itu hanya bisa ia pendam. Kalau beruntung, lambat laun pasti ia akan menemukan jawaban. Itupun kalau ia masih menjadi pelayannya. Suwa tersenyum miring. Ya, dalam benak, dirinya masih berpikir untuk kabur.

"Jadi, Apa yang akan kita lakukan sekarang tuan?

"Menunggu."

"Menunggu? Siapa?" Suwa memiringkan kepala tak mengerti.

"Menunggu ini." Ludra mengangkat sebelah tangannya. Air sungai itu terangkat membentuk gelembung-gelembung sebesar kepalan tangan. Gelembung-gelembung itu lalu membeku menjadi gumpalan es bundar. Ludra kemudian mengibaskan tangan. Membuat gelembung-gelembung beku itu terlempar ke sisi sungai.

PYARRR!!!

Bagian belakang sungai tersebut pecah. Seperti pecahan kaca. Gambaran hutan di belakang sungai seketika runtuh dan di sana terdapat dunia lain yang membentang. Sebuah tanah putih berlapis es. Seperti yang Suwa lihat saat pertama kali bertemu Falcon.

Suwa tercengang. Jadi, tumbuh-tumbuhan di belakang sungai itu hanyalah gambaran-gambaran tidak nyata. Sebagai benteng tak kasat mata yang melindungi lapisan sejati di dalamnya.

Lalu samar-samar ia mendengar suara seekor burung, yang semakin lama semakin mendekat.

Ya, benar. Seekor elang putih terbang menghampiri mereka. Ukurannya kecil sebagaimana elang pada umumnya. Tetapi ketika semakin lama elang itu mendekat dan menembus dinding yang pecah. Elang putih tersebut berubah besar dan semakin membesar sampai seukuran raksasa.

Suwa membelalak tak percaya. Sepertinya ia akan terkena serangan jantung. ASTAGA... Benar-benar mengejutkan dan di luar nalar. Suwa langsung beringsut mundur. Sembunyi di belakang Ludra saat elang raksasa itu turun dan berdiri di hadapan Ludra.

Paruh elang itu tepat berada di wajah Ludra. Kemudian elang itu melenguh manja ketika Ludra membenamkan dahinya di paruh elang dan mengelus-elus pucuk kepala sang elang dengan sayang, "Aku merindukan mu."

Elang itu terlihat nyaman dalam rengkuhan Ludra. Sesekali Suwa mengintip, melihat betapa menakjubkannya elang itu. Bulu seputih salju. Paruhnya berwarna silver mirip dengan pakaian Ludra. Suwa terlonjak kaget saat tiba-tiba elang itu membuka mata. Menatapnya.

Iris elang itu juga sama. Perak memukau seperti mata Ludra.

"Tidak perlu takut. Zie, dia jinak." Jelas Ludra melirik Suwa yang terlihat ketakutan di belakangnya. Ludra pun melepaskan rengkuhannya, kemudian berjalan mundur, "Elang putih. Simbol Falcon."

Elang putih itu kemudian sedikit membungkukkan badan menyentuh tanah.

"Ayo naik. Kita akan terbang." Ludra seketika mengangkat tubuh Suwa, meletakkannya di atas punggung elang. Disusul Ludra duduk di belakangnya. Ludra memberi isyarat agar elang itu mengepakkan sayap, bersiap terbang.

Suwa menjerit histeris saat elang itu membawa mereka terbang menuju angkasa.

****

"Kau bermain-main lagi Heise."

Perwujudan naga merah menghentikan langkah saat pria bertopeng emas itu menegurnya, "Bukan urusanmu sang kegelapan."

"Ya, memang bukan urusanku. Selagi itu tak mengganggu." Sang kegelapan 'Dosta' melangkah menghampiri Heise.

Mereka saling berhadapan. Yang satu menatap tajam yang satu entah tatapan seperti apa yang ia berikan karena topeng emas yang melingkupi keseluruhan wajahnya. Membuat tak ada satupun makhluk yang bisa menerka emosi dari Dosta. Tapi satu hal yang diketahui. Penguasa Legendary Land itu memancarkan aura hitam ketika marah. Dan hari ini, sepertinya Dosta sedikit emosi. Bukan karena dirinya. Melainkan hal lain yang mengganggu keabadian hidupnya.

Heise, panglima tertinggi itu tampak tidak terpengaruh. Dari ke tujuh anak buah terhebat sang kegelapan. Hanya dialah yang bersikap acuh kepada sang kegelapan. Tetapi, dia jugalah yang menjadi anak buah terkuat sang kegelapan. Heise bersendekap tenang, "Jadi, apa yang harus kulakukan hingga kau datang kemari?"

"Pimpinlah beberapa pasukan mencari Falcon yang masih hidup"

###


CREATORS' THOUGHTS
Uwakiya Uwakiya

Halo, jangan lupa Review lalu beri batu kuasa / power stone ya! Untuk menaikkan cerita ini. Trimakasih

Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C4
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login