Download App

Chapter 3: Jodoh Tak Akan Kemana

Elio melirik halaman parkir stasiun. Hujan masih mengguyur dengan deras-derasnya. Tidak mungkin ada orang yang menantang berjalan di luar sana. Mengendarai sepeda motor juga sama bahayanya.

Tiba-tiba, mata Elio silau akibat cahaya flash dari kamera handphone yang ada di genggaman tangan satpam stasiun.

Dia menatap penuh tanya, tetapi diam saja. Sedikit takut kalau satpam itu murka, namun sebenarnya juga tidak terima karena diperlakukan seperti anak kecil. Tolong jangan samakan dia dengan pria aneh itu.

Berbicara soal si pria aneh, rupanya dia berani protes.

"Loh, Bapak foto kami? Kenapa tidak izin? Tidak bilang-bilang?" Bentaknya dalam satu tarikan napas.

Elio baru berniat untuk mendukung dengan beberapa anggukan mantap, tetapi kalimat yang keluar dari mulut pria itu membuatnya mangap seperti orang bodoh.

"Saya kan belum ambil pose, Pak!"

Satpam itu mengabaikan protes. "Siapa nama kalian?"

"Nama?" Elio mengulang, kedua alisnya terpaut bingung.

Dia curiga, sepertinya satpam ini mempunyai rencana yang patut dipertanyakan. Ingin dia berbohong dengan memberikan nama palsu, tapi sulit untuk melakukan itu dengan wajah netral. Sepertinya dia memang kurang praktik dalam menyuarakan hoax.

Elio memutuskan untuk berkompromi. Setidaknya, dia tidak memberitahukan nama panggilannya. "Saya Sira, Pak."

"Nama lengkap," tambah satpam itu dengan tatapan melotot. Meminta lebih dari apa yang Elio berikan.

Mau tidak mau, dia berkata jujur. "Elio Siraditya."

"Kok namanya agak aneh," satpam stasiun menyahut.

"Iya, bapak saya yang memberi nama juga sama anehnya," gerutunya asal-asalan.

Satpam itu berdecak, kemudian mengalihkan pandangannya pada lawan debat Elio tadi. "Kalau kamu?"

"Nnng…" dia nampak bingung, sungguh pria yang aneh. "…Sangkala Dharmayudha… tapi panggilannya Kala."

"Lah, kamu namanya juga lucu," celetuk satpam stasiun, "Jangan-jangan kalian jodoh?"

Elio terkesiap mendengarnya.

Dinobatkan sebagai sepasang muda mudi yang berjodoh oleh satpam stasiun, tentu saja Elio tidak terima.

Sebagai catatan, ini bukan perkara siapa yang mengatakannya. Bagaimanapun, semua orang berhak berpendapat dan mengutarakan idenya. Ini negara demokratis, bukan rezim otoriter yang dipimpin oleh seorang penguasa diktator yang absolut.

Maksud hati Elio, dia tidak terima dikatakan berjodoh dengan pria yang selama beberapa jam terakhir ini kerap mengganggunya. Persetan dengan kadar ketampanan yang berlebihan itu.

"Amit-amit jabang bayi!" Elio menampik. "Saya tidak sudi berjodoh dengan pria aneh seperti dia, Pak. Mending saya menikah dengan orang sakit jiwa sekalian!"

"Apa kau bilang?!" Pria aneh itu membusungkan dadanya, geram bukan main. "Berani-beraninya kau membandingkanku dengan orang sakit jiwa! Aku juga tidak terima!"

"Haish!"

Dengan satu kata yang sebenarnya tanpa makna literal itu, satpam stasiun berhasil membungkam Elio dan Kala. Satpam tua itu kemudian menunjukkan layar handphone-nya pada mereka berdua.

Dengan mata yang menyipit di balik lensanya, Elio mendapati wajah merahnya yang setengah menunduk dan Kala yang terlihat dongkol di sampingnya.

Itu foto yang tadi diambil tanpa izin mereka.

"Saya mau absen dan ambil tas sebelum pulang. Kalau saya lewat sini dan melihat kalian berdebat lagi, besok saya akan cetak foto ini dengan ukuran tiga kali empat meter, lalu memasangnya di billboard depan halaman parkir. Biar semua orang Semarang hafal wajah pasangan yang bikin onar di stasiun malam ini."

Memikirkannya saja Elio tidak mampu.

Namun, si satpam stasiun rupanya belum selesai mendengungkan ancamannya. "Kalau perlu, foto ini akan saya unggah juga di akun resmi Kereta Api Indonesia, sekalian biar kalian viral di seluruh negeri."

Kedua mata Elio membelalak sempurna. Dia tidak bisa membayangkan betapa mengerikannya jika hal itu benar-benar terjadi. Itu lebih seram ketimbang karyanya yang pernah mendapat penghargaan Best Horror dari Indonesian Fanfiction Award tahun lalu.

Semua ini salah si pria aneh – Kala, namanya juga tak kalah aneh – yang dengan seenaknya merusak garis kehidupannya.

Dia tidak terima.

"Ini semua salahmu," tuduh Elio pada Kala dengan amarah membara.

"Cih!"

"Heh?! Diam tidak?!" Satpam itu ternyata masih memperhatikan.

"Tapi kan memang benar kata saya, Pak! Kalau bukan gara-gara dia, hidup saya masih damai sejahtera! Tentram tanpa–"

"Kau pikir aku senang bertemu denganmu? Dasar gadis tak punya hati! Kau sendiri yang memulai semua ini!"

Keduanya terus beradu mulut tanpa sadar bahwa si satpam stasiun tidak lagi menyela. Sesuatu yang aneh dan patut dicurigai, berhubung satpam tua itu sudah mengancam dengan sangat serius.

Sayangnya, Elio sudah tersulut api. Dia terlalu sibuk mempertahankan harga diri agar tidak dicap sebagai gadis yang membuat onar. Meski apa yang dilakukannya dan Kala saat ini adalah membuat onar.

Setelah saling lempar tuduh dan menyelipkan beberapa umpatan yang sengaja disensor sedikit-sedikit, Elio dan Kala terdiam. Cukup puas setelah mengeluarkan semua uneg-uneg.

Suara deheman berhasil membuat mereka mengalihkan pandang dari satu sama lain. "Sudah puas berantemnya?"

Elio hendak menjawab 'Belum,' namun tatapan dari satpam tua itu sungguh setajam silet. Kala yang tinggi dan terlihat lebih kekar dari satpam tua itu pun ikut mengkerut.

"Belum puas?" Satpam itu menantang, seolah bisa membaca isi kepala Elio. "Lanjutkan saja, tidak apa-apa."

"… sudah, Pak," gumamnya sambil menunduk malu. Entah kenapa, sepasang sepatu kets yang belum dicuci sejak dua bulan lalu itu nampak sangat menarik.

"Lanjutkan saja kalau mau," si satpam stasiun mempersilakan sekali lagi. Menambah kecurigaan.

Sepertinya memang telah terjadi sesuatu selama mereka berdua sibuk berdebat. Buktinya, satpam tua ini kini mengatakan hal yang sungguh bertolak belakang dari apa yang sebelumnya disampaikan.

Atau, jangan-jangan, si satpam ini–

"Saya sih tidak mau tahu lagi. Entah kalian mau berdebat sampai besok subuh atau mau pacaran di kolong jembatan," si satpam melanjutkan dengan nada acuh tak acuh. "Yang pasti, saya sudah peringatkan."

Jantung Elio mulai berdegup kencang.

Bukan karena si satpam baru saja mengatakan hal aneh yang melibatkan kata 'kalian', 'pacaran' dan 'kolong jembatan' dalam satu kalimat, tetapi karena ada perasaan tidak enak yang tiba-tiba datang.

"Saya sudah upload foto kalian berdua di akun Cuitter stasiun ini. Untung saya belum benar-benar diangkat jadi admin akun resmi Kereta Api Indonesia, bisa-bisa kalian viral dalam semalam."

Benar saja, layar handphone satpam stasiun itu menunjukkan fotonya dan Kala yang telah diunggah di laman Cuitter milik stasiun Tawang. Caption yang diketikkan satpam itu pun tak kalah membuatnya malu bukan main.

[Perhatian kepada seluruh pengunjung dan penumpang yang berada di kawasan Stasiun Tawang.

Tolong berhati-hati dan segera menjauh jika bertemu dengan sepasang muda-mudi yang membuat onar di peron dekat pintu keluar.

Namun saya yakin, pertengkaran mereka malam ini hanyalah percikan api kecil yang akan menyulut sumbu percintaan abadi.

Ingat, benci dan cinta itu beda tipis.

Lagipula, jodoh memang tidak akan kemana.]

Tanpa berkata apa-apa lagi, satpam tua yang kurus dan tidak terlalu tinggi itu melenggang pergi.

Kalau perlu didramatisir, dia berlagak seperti seorang tokoh utama film superhero yang memunggungi musuhnya tepat sebelum bom meledak.

Elio menutup wajahnya yang merah padam dengan kedua tangan. Hidupnya berakhir detik ini.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login