Download App

Chapter 2: Lahirnya sang terpilih

Xilopil, planet penuh misteri. Planet yang tak pernah ada dalam sistem tata surya yang dikenal oleh manusia, planet yang mempunyai dimensi lain. Planet ini mempunyai banyak keanehan tapi juga keindahan yang tiada dua. Peradabannya tertinggi dan tak ada yang menyaingi. Mereka, adalah yang paling tertua jauh diatas planet bumi.

Tertuliskan sebuah ramalan kuno yang menyebutkan bahwa bumi akan bertabrakan dengan meteorit untuk kesekian kalinya. Kali ini, jauh lebih dahsyat dan bisa menghancurkan seluruh isinya. Tak peduli dengan kisah si bumi, Xilopil justru bersyukur jika planet yang menjadi saingannya itu hancur berkeping-keping. Tapi, sebuah ramalan kosong yang tak bisa dilihat secara kasat mata membuat pemimpin tertinggi Xilopil atau biasa disebut Lord menjadi murka dan ketakutan.

'Jika bumi hancur, maka Xilopil pun akan hancur.'

Semua yang ada di sistem tata surya akan porak poranda dan kacau. Termasuk dimensi paralelnya. Ini yang membuat mereka geram dan ingin segera mengambil tindakan agar hal itu tak terjadi.

"Suruh enam orang terpilih itu hadir di istanaku!!" titah Lord dengan nada suara tinggi yang getarannya setara dengan tsunami di bumi.

Para pengawal istana turun ke kota, mencari enam orang terpilih itu. Enam orang yang mempunyai keahlian diatas rata-rata dan dinilai mampu beradaptasi dengan keadaan di bumi.

Yang pertama, Archiles. Si angkuh yang mahir sekali memanah, tampan dan berkharisma. Matanya berwarna biru kehijauan dengan tatapan tajam yang menghunus lawan. Senjata yang selalu ia bawa adalah panah tak kasat mata berwarna emas. Hanya orang tertentu yang bisa melihatnya.

Prak prak prak

Suara meriah tepuk tangan penonton mengakhiri pertandingan siang ini di sebuah tanah lapang dengan dua peserta yang berdiri di depan sana. Pertandingan memanah yang biasa diikuti oleh Archiles, selalu dan selalu tak bisa dikalahkan oleh siapapun.

Archiles tersenyum bangga. Raut wajahnya yang terbiasa dingin kini berubah cerah seketika. Ia bangga bisa mengalahkan Damian si mahir pembuat senjata. Panahnya bahkan mampu menembus gumpalan kerikil yang ia bulatkan menjadi bola keras tajam.

"Kau curang!!" tunjuk Damian. Tak peduli, Archiles berjalan mendahului Damian dan tak sengaja menyenggol bahu kekar lawannya itu.

Brukk

Damian menarik bahu Archiles lalu menjatuhkan tubuh yang sama kekarnya dengan dirinya. Archiles terjatuh, bibirnya meringis. Ia memegangi bahunya yang kemungkinan retak akibat perlakuan kasar Damian. Perlahan ia berdiri dan menegakkan kembali bahunya lalu menaikkan sudut bibirnya membentuk sebuah smirk yang terlihat mengejek.

"Kau yang bodoh. Masih mengelak kalau kau tak bisa menggunakan kekuatanmu?" tantangnya sombong. Damian menggeram marah. Ia menghentakkan kakinya dan menghempas seluruh debu yang berterbangan lalu mengumpulkannya menjadi satu.

Debu itu berubah menjadi busur dan panah yang terlihat gagah dan siap meluncur ke arah Archiles yang masih saja meremehkannya. "Kau, akan mati di tanganku."

Byurrr

Suara gemericik hujan jatuh tepat di atas keduanya. Senjata itu pun lenyap, berganti debu halus yang berterbangan tertiup angin. Keduanya sama menengadahkan kepalanya pada asal air, awan kecil berwarna putih melintas di atas kepala mereka.

Kekehan kasar dari Nereus membungkam kedua pria yang tadi bertikai. Mereka berdua sama menoleh, Nereus pun menghentikan awan itu seketika.

"Memalukan. Putra terbaik Xilopil bertengkar karena memperebutkan sesuatu yang terdengar seperti anak kecil. Archiles dan Damian, putra pertama dari klan Ethan dan Xyang pemimpin tertinggi Xilopil bertarung memperebutkan siapa yang terbaik dalam memanah? Sungguh ironis sekali," sindir Nereus. Ia berjalan mengitari keduanya dengan tangan yang dilipat di belakang punggungnya.

"Aku tak butuh nasihatmu," tegas Damian. Nereus menarik bibirnya. Ia berhenti sejenak lalu melayangkan tepukannya pada bahu sahabatnya itu.

"Setidaknya, kalian jangan mempermalukan klan kalian sendiri."

Ketiganya berdiri, bersitegang saling melirik satu sama lain dengan pandangan angkuh. Archiles, Damian dan Nereus dimana ketiganya masih dalam kasta klan tertinggi di Xilopil merasa paling berkuasa dan terbaik diantara yang terbaik.

Hening diantara mereka terusik, kala satu hempasan angin merusak segalanya. Tanah dan debu di sekitar lapangan luas itu bergulung naik hingga menutupi pandangan mereka. Kabut, seolah berada tepat di depan mata dan mengusir semua yang mereka lihat.

Tak lama kemudian, dari dalam gulungan debu itu keluarlah dua orang berpakaian serba hitam dengan corak khas pengawal istana Xilopil. Ketiganya terdiam, namun segera menunduk dan menekuk kaki kiri lalu menopang kaki kanannya sambil mengepal kedua tangannya. Ketiganya pun memberi hormat bersamaan. "Hormat, utusan yang mulia penguasa Xilopil."

Utusan pengawal itupun memberi perintah ketiganya berdiri dan mendengarkan titah yang mulia. Tangan pengawal membuka perlahan gulungan kertas hologram yang ia pegang lalu merentangkannya dan mulai membaca isi surat tersebut.

"Kalian, orang terpilih dari yang terpilih diperintahkan segera menemui yang mulia penguasa Xilopil untuk menerima tugas penting bagi kelangsungan hidup penghuni Xilopil," titah yang mulia yang dibacakan oleh utusan. Pengawal itu menutup gulungan kertas hologram dan mengubahnya menjadi butiran kecil serupa pil dan menyerahkannya pada ketiga putra klan tertinggi itu. Pengawal itu memundurkan langkahnya dan sekejap mata mereka pun menghilang dari pandangan.

Tinggallah ketiga pria disana saling melirik satu sama lain. Archiles, si paling tua menaruh pil hologram itu dalam sebuah kotak dan menyimpannya di saku jasnya. Tanpa berkata apapun ia pergi meninggalkan dua orang yang masih terdiam di tempatnya. Damian menoleh dan menatap dingin Nereus yang juga ingin beranjak pergi dari tempat itu.

"Nereus," teriaknya. Nereus menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Ada sesuatu yang pentingkah sampai istana memanggil kita?"

Nereus menggedikkan bahunya. Ia pun sebenarnya tak tahu. Tapi, satu kalimat yang pernah ia dengar dari ayahnya membangkitkan rasa ingin tahunya. "Sepertinya tentang ramalan bumi. Hanya itu yang pernah kudengar."

Ia pun melangkah pergi meninggalkan Damian yang masih sibuk berpikir tentang isi hologram tadi.

'Apakah ramalan itu tentang enam ksatria bayangan?'

Dalam perjalanan pulang, Archiles bertemu dengan seorang pemuda yang tampaknya berusia lebih muda darinya. Pemuda itu melambaikan tangan dan berlari menghampirinya. Ia tampak terengah-engah mengatur napasnya saat mendekati Archiles yang saat ini berdiri mematung sambil melirik pemuda itu.

"Tuan Archiles," sapanya.

"Archiles saja. Aku tak setua itu," tolaknya.

Pemuda itu mengusap peluh yang menetes di dahi dan perlahan mengangkat wajahnya menatap pria kekar di hadapannya. Ia lalu membuka sebuah kotak berisi pil yang sama persis seperti milik Archiles.

"Archiles, kau mendapatkan pil hologram ini juga?" ujarnya menunjukkan pil itu pada Archiles yang dijawab dengan anggukan kepalanya. "Aku dan dua temanku juga mendapatkannya."

Archiles mengernyitkan dahinya lalu mata tajamnya memindai sosok yang tadi berbicara dengannya. Pemuda tadi sedikit ketakutan, ia menelan ludahnya kasar dan bersiap meninggalkan Archiles yang nampak tak bersahabat. Namun sebelum itu terjadi, tangan Archiles menarik kerah baju milik pemuda tadi.

"Siapa namamu?" tanyanya dengan suara tegas. Pemuda itu menunjuk dirinya sendiri. Archiles mengangguk pelan.

"Namaku, Federline."

Archiles menatap kembali sosok pemuda tadi lalu menarik tangannya dan berjalan cepat menghindari kerumunan orang banyak yang penasaran dengan percakapan dua pria berbeda usia tadi.

"T-tuan, kau akan membawaku kemana?" pemuda tadi bertanya. Archiles tak menjawab namun langkah kakinya membawa mereka masuk kedalam sebuah ruang kosong tak kasat mata.

"Siapa saja yang mendapat pil itu?"

Federline takut-takut ingin menjawab. Tangannya bergetar namun segera ditepis olehnya. Ia kembali tegak menatap lurus pada sosok Archiles yang terkesan angkuh.

"Aku, Edies dan Vodlan," jawabnya.

"Siapa mereka? Keturunan klan apa?"

"Kami hanya rakyat biasa. K-kami...."

Archiles menarik kerah Federline hingga tubuh pemuda itu terangkat. Federline menariknya dan menghempas tangan itu.

"Kalian hanya rakyat jelata, tidak pantas datang ke istana," bentaknya. Federline menunjuk wajah Archiles dengan tangannya. Seketika wajahnya penuh amarah dan emosi saat melihat Archiles yang tampak meremehkannya.

"Pantas saja Damian membencimu. Kau bahkan tak pantas menyandar putra mahkota klan Ethan." tangan Federline menunjuk dada Archiles berulang kali sambil terus mengumpat.

"Ini semua tidak ada hubungannya dengan keluargaku."

"Kau, angkuh."

Federline pergi meninggalkan Archiles dengan dendam yang tertanam di hatinya. Archiles tak sepantasnya meremehkan orang lain dan menganggap dirinya lah yang paling berguna. Memang, darah klan Ethan tak seharusnya mengalir di tubuhnya.

'Apa yang salah dengan pertanyaanku?'


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login