Download App
62.5% Titik Koma

Chapter 5: arah.

Enam tahun sebelumnya,

Sebelum semuanya hilang.

Sepasang kekasih sedang bergandengan tangan. Si perempuan terlihat menarik tangan si lelaki. Sambil sedikit berlari dan tertawa, perempuan itu terus menggandeng tangan kekasihnya. Si lelaki yang sedang ditarik tangannya mempercepat langkahnya. Ia ikut tersenyum melihat perempuannya tertawa senang.

“Mau main apa dulu, Sayang?” tanya laki-laki itu.

Perempuan yang sedang ditanya menoleh dan menghentikan langkahnya. Matanya berpendar melihat sekeliling.

“Merry-go-round!!”

Laki-laki itu tertawa. Sudah menebak permainan apa yang mau dinaiki kekasihnya.

“Yaudah, yuk!”

Mereka berlari-lari kecil lagi menuju antrean komidi putar. Hari itu cuaca terik sekali. Namun tidak membuat semangat keduanya luntur. Antrean tidak terlalu panjang karena hari ini bukan akhir pekan. Dua muda-mudi yang sedang merayakan kelulusan SMA itu memutuskan mengisi hari kosongnya dengan pergi ke taman bermain. Selama mengantre tangan laki-laki itu tidak pernah melepas tangan si perempuan. Laki-laki itu tidak berhenti memandangi perempuan di hadapannya. Seperti yang selama ini selalu ia lakukan.

Perempuan di depannya ini selalu saja membuatnya tidak bisa berpaling. Contohnya pagi tadi saat si lelaki menjemput kekasihnya, kekasihnya ini keluar dari rumah mengenakan topi bertanduk unicorn. Rambutnya yang diwarnai menjadi merah juga terlihat mencolok di bawah topi itu. Laki-laki itu menggeleng sambil tertawa. Teringat saat pertama kali kekasihnya itu mau mewarnai rambutnya.

***

“Ro, aku mau warnain rambut deh…”

Romeo yang sedang mengerjakan latihan soal menoleh.

“Emang boleh sama mama?”

Gadis yang memanggilnya tadi menaikkan bahu.

“Ya kalau nggak boleh, aku cat sendiri aja!”

Romeo menggeleng geli.

“Mau warna apa emang?”

Gadis itu merenung.

“Merah.”

“Kok merah?”

Gadis itu diam sejenak lalu tersenyum usil.

“Biar kayak nama aku, Ruby! Kan artinya batu delima merah.”

Romeo kali ini benar-benar tertawa.

Lalu benar saja, keesokannya Ruby mengirim foto selfie sedang di salon. Rambutnya sebagian sudah di cat merah. Romeo hanya bisa tertawa. Kekasihnya itu, jika sudah menginginkan sesuatu maka ia harus mendapatkannya. Percuma melarang keinginan Ruby. Yang ada hanya membuatnya marah seharian.

***

Sepasang kekasih itu menaiki komidi putar. Ruby, si perempuan yang sejak tadi berlonjak girang langsung mencari kuda berwarna putih kesukaannya. Sedangkan Romeo, lelaki yang sedari tadi ditarik tangannya oleh Ruby menaiki kuda apapun yang berada di sebelah Ruby. Baginya kuda apapun tidak penting. Yang penting adalah gadis berambut merah menyala di sebelahnya.

Komidi putar itu mulai bergerak. Ruby tertawa semakin girang. Romeo yang sebenarnya tidak begitu menyukai permainan ini memandangi Ruby. Mungkin bisa dibilang Romeo memang kecintaan terhadap Ruby. Apapun yang Ruby mau, apapun yang Ruby inginkan, selalu ia iyakan. Bagi Romeo, ketika Bersama Ruby, kata ‘tidak’ seperti hilang dalam kosa katanya. Kemauan Ruby adalah keharusan bagi Romeo.

Permainan komidi putar itu selesai. Ruby masih duduk di kudanya menunggu Romeo membantunya turun. Tangan Romeo menggenggam tangan Ruby, membantunya turun. Ruby dan Romeo bergandengan tangan menuruni permainan itu. Lagi-lagi tangan Ruby sudah menarik tangan Romeo untuk mengikutinya menuju permainan berikutnya. Kali ini Ruby menarik Romeo menuju permainan roller coaster. Romeo mengekor saja kemanapun langkah kaki Ruby pergi. Hingga sore menjelang, Ruby yang mulai bosan, menarik Romeo menuju tempat makan di taman bermain itu.

“Laper,” kata Ruby singkat.

“Yuk makan.”

Romeo dan Ruby mencari tempat duduk dekat dengan jendela. Sejak awal mereka berpacaran, entah kenapa Ruby selalu memilih tempat duduk sebelah jendela.

Biar bisa lihat jalanan, Ro. Apalagi kalau hujan. Seru deh.

Romeo yang tidak begitu peduli duduk dimana hanya mengangguk saja kala itu. Yang penting sama Ruby.

“Mau pesen apa?” tanya Romeo pada Ruby.

Ruby memandangi menu dengan serius.

“Pingin yang manis.”

Romeo yang tau Ruby lebih suka makanan manis mengangguk dan memanggil waiter yang sedang berjaga.

Sebuah notifikasi muncul dari handphone Romeo. Romeo melihatnya. Tatapannya mendadak panik. Ruby yang menyadari perubahan ekspresi Romeo ikut melirik layar ponsel Romeo.

“Pengumuman UMPTN?” tanya Ruby.

“Iya…”

Ruby merapatkan posisinya ke arah Romeo. Tangannya menggamit tangan Romeo. Tatapannya menyiratkan bahwa semua akan baik-baik saja.

“Mau dibuka sekarang?”

Nada Ruby kali ini berubah menjadi lebih halus. Ia tau, pengumuman ini sangat penting bagi Romeo. Kerja keras Romeo selama ini tidak akan dilirik orang tuanya jika Romeo gagal.

“Aku temenin.” Kata Ruby sekali lagi, meyakinkan Romeo.

Romeo masih terpaku memandangi layar ponselnya.

“By, ini kesempatan terakhir aku…”

Ada nada gemetar dalam suara Romeo.

“… kalau sampai gagal lagi…”

Ruby memegang tangan Romeo semakin kencang.

“Enggak akan gagal, Ro.”

Salah.

Sebuah kesalahan besar bagi Ruby mengucapkan kalimat itu.

Romeo memandangi Ruby. Tangannya bergerak membuka layar ponselnya. Helaan nafasnya tertahan melihat layar ponselnya menunjukkan gambar loading. Tangan Romeo mengenggam tangan Ruby semakin kencang. Lalu, genggamannya terlepas.

Halaman website menunjukkan tulisan dengan warna merah. Romeo terpaku. Ruby menarik tangannya dari pangkuan Romeo. Dadanya ikut berdegup kencang. Pandangan Ruby bolak-balik beralih dari layar ponsel Romeo dan Romeo itu sendiri. Ia menatap mata Romeo yang mulai berkaca-kaca. Ruby tidak berani bersuara maupun bergerak. Bak patung, ia hanya bisa termangu memandangi Romeo-nya yang mendadak tertawa sumbang.

“Ro…” kata Ruby hati-hati.

Romeo masih tertawa getir.

Kali ini tangan Ruby berusaha meraih tangan Romeo. Sia-sia. Romeo langsung menepisnya. Ruby sedikit terlonjak.

“Gagal lagi kan, By?”

Nada Romeo mendadak menegas.

Ruby menggeser posisi duduknya menjauhi Romeo. Ketakutan terpancar di mata Ruby. Ia teringat saat Romeo melihat hasil ujian SBMPTNnya yang juga gagal. Ruby bergidik ngeri. Ia melihat ke sekeliling. Banyak orang, pikirnya.

“Ro, pulang aja yuk?”

Romeo yang masih memegangi ponselnya hanya diam.

Ruby memanggil waiter untuk meminta makanannya dibungkus dan membayarnya. Tak lama, Romeo berdiri dan berjalan ke arah luar tempat makan. Ruby yang menyadari itu buru-buru mengejar. Meninggalkan bungkusan makanan yang ia pesan. Romeo sudah berjalan mendekati mobil. Ruby yang tertinggal jauh ikut berlari menyusul Romeo. Keduanya masuk ke dalam mobil dalam diam.

Ruby yang baru memasang sabuk pengaman tersentak karena Romeo mendadak menginjak gas dengan kencang. Ruby duduk terdiam di kursi penumpang. Matanya terus menerus melirik Romeo yang mengemudikan mobil semakin kencang. Tangan Ruby memegang sabuk pengamannya erat-erat. Romeo seakan tidak menyadari ketakutan Ruby, tetap menginjak pedal gas semakin dalam.

Mobil itu melaju semakin kencang. Ruby hanya bisa pasrah memandangi jalanan yang kabur. Romeo mendadak memukuli setir dengan tangannya. Ruby yang melihatnya terlonjak kaget.

“Ro…”

Romeo tidak menghiraukan. Kali ini tangannya memukul kaca.

“Pecah nanti, Ro…”

Nada suara Ruby berubah menjadi gemetar.

“Diobrolin aja yuk, Ro…”

Romeo mendadak mengalihkan pandangannya ke arah Ruby. Tatapannya menajam. Romeo membanting setir ke arah bahu jalan. Ruby berusaha menahan badannya agar kepalanya tidak membentur kaca mobil.

Nafas Romeo memburu. Tatapannya yang tajam menatap Ruby. Hilang sudah tatapan lembut penuh kasih yang sejak tadi pagi Ruby saksikan. Romeo-nya mendadak menatapnya dengan benci. Ruby termangu melihat perubahan drastis itu.

“Diobrolin, By?”

Romeo membuka suara. Tatapannya menusuk.

“DIOBROLIN KATA KAMU?!”

Suara Romeo meninggi. Ruby menciut dalam kursinya. Jalanan saat itu entah kenapa mendadak sepi.

“KAMU MAU AKU NGOBROLIN APA LAGI?!”

Ruby terdiam.

“KAMU NGGAK BACA TADI HAH?! AKU GAGAL LAGI, BY!”

Nada Romeo semakin meninggi.

“Kan masih ada kampus lain, Ro…”

“GILA YA KAMU?! KALAU AKU MINTA MASUK SWASTA, ORANG TUA AKU MAKIN NGEREMEHIN AKU! KAMU KAN TAU!”

Ruby menyesal membuka suara.

“INI SEMUA GARA-GARA KAMU!”

Kali ini Ruby terkejut. Tidak menyangka Romeo akan mengatakan kalimat itu.

“Salah aku, Ro?!”

“YA EMANG SALAH KAMU! HARUSNYA AKU DENGERIN IBU BUAT NGGAK PACARAN SAMA KAMU! KAMU GANGGU FOKUS AKU, BY!”

Ruby semakin tidak percaya.

“Aku ngapain Ro…”

“KAMU SELALU NGAJAK AKU PERGI! AKU JADI NGGAK BELAJAR!”

Ruby menghapus air matanya.

“Ro, yang selalu ingetin kamu buat masuk tempat les kan aku…. Kamu yang nggak pernah mau, kamu yang bilang lagi males…”

“POKOKNYA SEMUA GARA-GARA KAMU! AKU GAGAL GARA-GARA KAMU! TANGGUNG JAWAB KAMU!!”

Romeo memukulkan tangannya ke kemudi mobil. Ruby memundurkan duduknya. Air matanya berurai. Tatapannya terfokus pada Romeo yang masih membentaknya sambil memukuli kemudi mobil. Ruby terdiam. Ia hanya bisa menangis melihat Romeo-nya yang mendadak berubah. Dengan air mata yang berderai, Ruby melepas sabuk pengamannya dan memeluk Romeo. Romeo yang berusaha menghindar tidak sengaja memukul kepala Ruby. Ruby mundur ke arah kaca, hampir membenturkan kepalanya ke kaca. Keduanya terkejut. Ruby memegang pelipisnya yang terkena tangan Romeo. Wajah Romeo berubah menjadi panik.

“Pulang aja, Ro.”

Air mata Ruby berhenti. Ia membenahi duduknya dan kembali memasang sabuk pengamannya.

“Aku minta maaf bikin kamu gagal lagi.”

Romeo terdiam.

“Maaf aku selalu ngajak kamu pergi.”

Helaan nafas berat terdengar dari mulut Ruby.

“Maaf aku nggak bantuin kamu belajar.”

Romeo kembali memukul kemudi.

“Maaf aku matiin cita-cita kamu.”

Romeo menatap Ruby lagi, masih sama tajamnya.

“Aku anterin kamu balik, habis itu jangan hubungi aku dulu. Aku mau sendiri.”

Ruby terdiam. Ia membuang muka ke arah jendela. Romeo sekali lagi menginjak pedal gas dengan kencang. Ruby sudah tidak memerdulikannya. Mobil itu melaju dengan kencang. Membawa dua orang di dalamnya yang jantungya sama-sama sedang berdegup kencang. Kali ini bukan karena rasa bahagia yang membuncah seperti tadi pagi. Namun karena amarah yang entah bagaimana bisa meluap hebat. Kali ini keduanya tak lagi menggandengkan tangan. Tak ada lagi tawa renyah yang sampai sore tadi masih saling mereka dengar. Suasana cerita tadi mendadak berkabut. Berubah menjadi dingin.

Dan sejak itulah, semuanya berubah.

Sejak hari itulah, tawa mereka memudar. Tatapan mereka menegang. Mereka mulai memundurkan langkah saat salah satu dari mereka mulai berteriak marah.

Seharusnya dari titik ini mereka berhenti.

Namun kenapa tidak?

Pertanyaan yang sampai bertahun-tahun kemudian masih terngiang di kepala Romeo dan Ruby.

Hingga saat ini.

Enam tahun berlalu dari kejadian hari itu. Pertanyaan itu muncul lagi, saat mereka akhirnya bertemu kembali. Dalam persimpangan yang lagi-lagi tak searah.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C5
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login