Download App

Chapter 11: Gara-gara Joshua

***

Setelah membeli makan malam di salah satu restoran Indonesia yang tak jauh dari tempat kerjanya, Aletta pun pulang menggunakan jasa supir Taxi.

Mobil kecil berwarna biru muda itu membelah Kawasan Senayan dan mengantarkannya ke Perumahan Elit Sarada, Kawasan Menteng.

"Yang mana, Mbak?" tanya supir Taxi begitu melewati gerbang Perumahan Elit Sarada.

"Blok A nomor delapan, Pak," jawabnya sembari melihat rumah-rumah besar yang berjejer di kanan dan kiri jalan.

Mobil berbelok ke arah kiri dan berhenti hampir di ujung jalan yang di depannya dibatasi oleh tembok besar. Aletta mengeluarkan dua lembar uang berwarna biru, lalu menyerahkannya pada supir. Dia mendapatkan uang kembalian sebesar dua puluh tiga ribu.

Gadis itu turun dari Taxi sambil menjinjing satu paper bag besar berisi makanan khas Indonesia yang dibelinya tadi. Dia memandang rumah tingkat berwarna abu-abu muda yang diterangi lampu kuning temaram. Tidak ada pagar yang menghalangi. Hanya ada mobil Pajero Sport keluaran terbaru milik sang ayah yang tak tertutup apapun di halaman rumah.

Aletta melangkah mendekati rumah baru orang tuanya. Dia menekan bel dan menunggu dengan tenang. Tak butuh waktu lama, pintu pun terbuka dan menampilkan wajah Varrel yang menatapnya datar.

"Masuk," kata Varrel singkat. Pria itu langsung berbalik dan tersenyum sumringah karena kedatangan putrinya. Namun, dia masih teguh pendirian untuk pura-pura marah pada Aletta yang tak kunjung datang ataupun meneleponnya.

"Papa masih marah?"

Pertanyaan Aletta menghentikan langkah Varrel. Pria berkacamata itu pun berbalik. Dia mendapatkan Aletta yang masih berdiri di depan pintu, belum menjejakkan kaki masuk ke rumah.

"Siapa yang marah?" balas Varrel sengit, menatap dengan alis yang menukik.

"Papa terlihat tidak senang dengan kedatanganku," jawab Aletta dengan wajah muram.

"S--siapa?" Varrel terlihat gelagapan. "Siapa yang tidak senang?"

"Papa."

Bibir Varrel bergetar seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia malah membuang napas kasar.

"Lihat kan... Papa baru saja membuang napas kasar. Papa tidak senang dengan kedatanganku?" tanya Aletta mengerutkan kening. "Kalau Papa tidak senang--"

"Papa senang," sela Varrel seraya mengepalkan buku-buku jarinya.

"--aku akan tetap di sini," sambung Aletta yang perlahan tersenyum ketika mendengar jawaban Varrel. "Padahal aku belum menyelesaikan ucapan ku," ujar Aletta menyeringai tipis.

Varrel menggeleng gemas dengan kelakuan Aletta yang menggodanya.

"Sudahlah, masuk saja!" rajuknya malu. Kali ini dia tidak berbalik, tetapi menunggu Aletta datang kepadanya.

Anak gadis yang menjadi kesayangan Varrel itu melangkah masuk, lalu memeluknya sambil tersenyum.

"Aletta pulang, Pa. Jangan marah lagi."

Varrel mengelus rambut putrinya. "Papa sangat senang kamu datang, Le. Hanya saja... Papa marah karena harus menelepon mu dulu untuk datang. Lain kali, jangan begitu, Le. Kalau beberapa hari terpisah dari Papa saja kamu sudah lupa begini, Papa bisa sedih kalau kamu tinggal terpisah."

Aletta mengangguk paham. "Iya, Pa. Maafkan Ale. Aku janji akan sering-sering datang ke sini kalau sudah tinggal terpisah dengan kalian."

"Janji loh, ya?"

"Iya, Pa, janji."

Aletta dan Varrel tertawa sejenak sebelum akhirnya Varrel melepas pelukan. Menatap lengan putrinya yang menjinjing sesuatu. "Kamu bawa apa?"

"Oh, ini...." Aletta mengangkat paper bag. "Untuk makan malam. Aku membelinya sekalian pulang kerja. Sepertinya enak, karena restonya ramai." Dia menyerahkan paper bag itu pada sang ayah.

Varrel membuka paper bag dan mencium aromanya. Pupil matanya bergetar. Dia langsung menatap Aletta sumringah. "Tumis kangkung, ya?"

Aletta mengangguk kecil. "Ada Ayam Bakar Taliwang juga untuk Papa."

"Ah, Ale... kamu ini... sulit sekali Papa marah terlalu lama padamu," ujar Varrel menutup paper bag, kemudian mengajak putrinya ke ruang makan, di mana Stefani berada.

Sampai di ruang makan, mereka mendapati Stefani yang tengah membuka apron, lalu menggantungnya.

"Mama masak?" tanya Aletta begitu melihat wajan yang masih di atas kompor.

"Hanya goreng tahu dan tempe, Le." Stefani meletakkan piring yang berisi tahu dan tempe goreng di atas meja makan, melengkapi semangkuk besar nasi yang telah diletakkan di sana lebih dahulu. Dia melihat Varrel yang menenteng paper bag dan bertanya, "Kamu beli apa?"

"Tidak banyak, Ma. Aku hanya membeli tumis kangkung, satu ekor Ayam Taliwang, dan cumi saus padang," jawab Aletta.

"Banyak itu, Le. Sini, biar Mama taruh di piring dulu," kata Stefani meminta paper bag itu dari tangan Varrel.

"Tidak usah ditaruh di piring, Sayang. Makanannya dibungkus dalam kotak plastik," ujar Varrel yang kemudian membuka paper bag dan meletakkan tiga kotak plastik di atas meja, kemudian membuka tutupnya.

Uap panas yang harum langsung ke luar dari kotak plastik tersebut. Membuat Varrel mengibaskan tangan ke hidung agar aromanya lebih tercium.

"Astaga, harum sekali." Varrel menoleh pada Stefani. "Ambil piring, Sayang. Ayo, kita makan!"

"Biar aku saja, Ma," ucap Aletta yang mencegah Stefani dan langsung berjalan ke kabinet. Sementara Varrel dan Stefani pun langsung duduk di kursi dan sesekali mencolek makanan yang ada di hadapan mereka.

"Beli di mana kamu, Le? Enak rasanya," ujar Stefani menoleh pada Aletta yang tengah berjinjit mengambil piring di kabinet.

"Dekat tempat kerja, Ma. Restorannya memang ramai tadi. Jadi, aku beli di sana saja," ujar Aletta yang berjalan ke meja makan sembari membawa tiga piring keramik serta lima buah sendok makan. Setelah meletakkannya di atas meja makan, Aletta pun duduk di samping Stefani. Dimulai dari Varrel yang mengambil nasi dan lauk, kemudian diikuti oleh Stefani dan Aletta.

"Wah, ini enak sekali!" seru Varrel setelah melahap nasi, tumis kangkung, dan Ayam Taliwang sekaligus.

"Tahu dan tempenya dimakan juga dong, Pa." Stefani meletakkan tahu dan tempe masing-masing satu di piring Varrel. "Sayang-sayang kalau tidak dimakan. Mama sudah goreng," sambungnya.

"Iya, Sayang. Ini aku makan," ujar Varrel yang langsung menggigit tahu dengan wajah sumringah.

"Papa tidak makan cumi saus padangnya?" tanya Aletta yang tengah menyendok cumi saus padang.

Varrel melirik Stefani yang tengah menyuap makanan. "Tidak boleh sama Mama kamu, Le. Kalau terlalu banyak, nanti kolesterol Papa kumat."

"Loh, aku kira Papa lupa kalau punya kolesterol. Makannya lahap sekali sih," ujar Aletta tertawa cekikikan.

Varrel menganggapnya dengan senyum simpul. Dia mengangkat sendok yang telah terisi dengan makanan. "Habisnya ini enak sekali," pujinya lagi yang setelahnya langsung melahap dengan semangat.

Stefani hanya geleng-geleng sambil tersenyum melihat tingkah suaminya. "Seperti tidak makan satu bulan saja, Pa," ledeknya yang ditanggapi Aletta dengan tawa.

Malam ini, suasana ruang makan di Perumahan Elit Sarada Blok A nomor delapan, terasa hangat karena kedatangan putri tunggal kesayangan yang membawa makan malam yang enak. Ralat, enak sekali.

***

Setelah makan malam tadi, Aletta masuk ke kamarnya yang telah disiapkan oleh Stefani di lantai atas. Dia mandi dan mengganti pakaian yang diambilnya dari lemari. Setelahnya, dia mengambil ponsel yang berada di atas ranjang, kemudian menghubungi Gea.

Aletta: Gea, hari ini aku tidak pulang. Aku menginap di rumah baru. Besok malam aku akan mengambil koper sekalian pamit.

Gea: Baiklah, aku juga tidak akan pulang.

Aletta: Memangnya kamu di mana?

Gea: Aku sedang di apartemen Dylan.

Gea: Aku akan mengantarkan kopermu besok. Kamu tidak perlu ke rumahku.

Gea: Kirimkan lokasinya saja.

Aletta: Ibumu... aku perlu pamit pada tante Tina.

Gea: Tidak perlu. Dia sudah pergi siang ini. Dijemput selingkuhannya. 

Aletta yang hendak melipat pakaian kotornya pun menghela napas pelan.

Aletta: Baiklah.

Aletta: Send located.

Gea: Besok malam aku akan mengantar kopermu sekalian menyapa tante Stefani dan om Varrel.

Gea: Aku akan membawa hadiah untuk rumah baru mereka juga.

Aletta: Hei, kamu tidak perlu repot-repot. Kalau kamu seperti itu, lebih baik aku saja yang mengambil kopernya.

Gea: Shut up! Ini keinginanku.

Aletta: Dasar kepala batu!

Gea: Tidak peduli. Aku sibuk, bye.

"Sibuk apanya?" gumam Aletta duduk di pinggir ranjang seraya menatap balasan terakhir dari Gea. "Oh, mungkin sibuk mempersiapkan reuni," sambungnya seraya mengambil pakaian kotor yang tadi tidak jadi dilipat, kemudian berdiri dan meletakkannya di tempat pakaian kotor.

Aletta kembali duduk di pinggir ranjang seraya menatap lantai yang dingin. "Reuni... haruskah aku ikut?" Beberapa detik kemudian, dia menggeleng. "Tidak, tidak. Kalau aku datang pun mungkin sudah dilupakan," ujarnya diikuti tawa masam. Dia mengambil ponsel, kemudian ke luar dari kamar dan turun ke lantai bawah untuk berkumpul bersama Varrel dan Stefani yang ada di ruang keluarga.

***

"Ale, kamu masih ingat dengan Joshua?" tanya Varrel yang sejak tadi sedang sibuk memegang ponsel.

Aletta yang sedang memakan keripik kentang sembari menonton drama di televisi pun mengangguk singkat. "Joshua yang telinganya seperti gajah?"

"Hush, Ale!" tegur Stefani yang tengah mengupas apel merah. "Masih seperti bocah saja," sambungnya karena saat Aletta dan Joshua kecil dahulu, mereka seringkali mengejek satu sama lain.

"Sudah terbiasa, Ma. Settingan lidahku kalau bicara tentangnya memang seperti itu," sahut Aletta yang masih melahap keripik kentang seolah tak terganggu.

"Sepupu kamu," kata Varrel membenarkan. "Ingat?"

"Ingat. Kenapa memangnya?"

"Akhir bulan ini dia mau menikah," jawab Stefani seraya meletakkan pisau. Dia sudah selesai mengupas apel dan meletakkan piring yang penuh dengan apel itu di depan Aletta.

"Hah? Serius?" kaget Aletta yang langsung menoleh ke Stefani yang mengangguk.

"Memangnya Papa dan Mama tahu kalau dia sudah lamaran? Aku kok tidak tahu? Tiba-tiba menikah saja anak itu!" gerutu Aletta sembari menjauhkan toples berisi keripik kentang itu.

Varrel terkekeh kecil. "Tidak ada yang tahu. Tiba-tiba saja om Rian mengundang di grup keluarga," ujar Varrel menunjukkan ponselnya.

"Aku mau lihat," pinta Aletta yang mengambil ponsel milik Varrel, lalu membaca percakapan yang ada di grup keluarga.

"Ya Tuhan... dia benar-benar akan menikah," ujar Aletta setelah melihat percakapan di grup yang telah disertai dengan foto prewedding. "Joshua lebih tua tiga tahun dariku kan, Pa?" tanya Aletta seraya mengembalikan ponsel Varrel.

Varrel mengangguk. "Ambilkan apel, Le." Aletta mengambil satu potong apel yang telah dikupas dan langsung dimakan Varrel dalam satu suapan.

"Dua puluh delapan tahun. Calonnya seumuran kamu, orang Jogja. Sudah pacaran setahun, lalu Joshua serius dan melamarnya."

"Hah, seumuran denganku?"

Varrel mengangguk. "Memangnya tadi kamu tidak baca obrolan di grup?"

Aletta terkekeh kecil. "Aku hanya men-scroll-nya saja, Pa."

"Nah, Joshua sudah mau menikah. Calonnya seumuran denganmu. Kamu dua puluh lima tahun kan, Le?" ujar Stefani menatap putri tunggalnya yang memakai piyama berwarna hijau tua dengan rambut diikat asal.

Aletta mengangguk kecil, kemudian menghadap kembali ke televisi dengan kikuk. Dia sudah bisa menebak kelanjutan obrolan malam ini.

"Bisa dong tahun ini atau tahun depan," ujar Stefani sembari mengambil apel yang ada di depan Aletta.

"Calonnya saja belum ada," cicit Aletta  sembari mengambil toples keripik kentang.

"Makanya, Le... buang saja foto-fotonya. Cantik-cantik kok gagal move on?" sahut Stefani pedas. "Atau temui saja orangnya kalau kamu masih ingin bersama dia. Kamu kan sudah di Indonesia, di Jakarta, menghirup udara yang sama, dan berada di langit yang sama."

"Loh, siapa, Ma?" tanya Varrel mengangkat satu kakinya ke atas sofa.

"Masa tidak tahu?"

Jari-jari kaki Aletta mencengkram karpet dan jantungnya bergemuruh tidak tenang.

"Mama saja tidak pernah cerita!"

"Kalau Mama cerita, nanti Papa marah. Papa kan overprotektif ke Ale," sahut Stefani sembari menepuk pelan pipi Varrel. "Yang waktu teman Ale datang ke bandara saja, Papa sudah ribut sendiri di ruang tunggu."

"Siapa yang ribut? Papa hanya khawatir, takut Ale tertinggal. Lagipula kalau sudah ada calonnya, Papa pasti akan setuju. Asal baik, sayang dengan Ale, dan bekerja." Varrel menoleh pada Aletta yang asik menonton drama. "Siapa, Le?"

"Shh... berisik! Suara Gong Yoo jadi tidak terdengar," ujar Aletta yang ingin fokus saja menonton drama dan mengakhiri pembicaraan tentang jalan asmaranya.

"Gong Yoo, Le? Kamu suka Gong Yoo?" tanya Varrel sambil menunjuk aktor Korea tersebut.

"Memangnya siapa sih yang tidak suka Gong Yoo? Sudah tampan, kaya, mapan pula."

"Kamu mau yang seperti itu, Le? Papa punya banyak kenalan, loh."

"Sudah, tidak perlu ribut! Kalau ada calonnya, aku langsung bawa ke rumah."

"Rumah orang tuamu, Le. Jangan bawa ke rumahmu," ucap Stefani yang langsung mendapatkan tatapan menukik dari Aletta. "Mama sudah memberikan saran," sambung Stefani yang tak gentar mendapat tatapan seperti itu dari Aletta.

"Lupakan dan cari orang baru, atau temui dia yang masih kamu inginkan. Dua puluh lima tahun, Le, ingat! Ini Indonesia, bukan New York."

———


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C11
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login