Download App

Chapter 36: Wake Up

Selamat Membaca

Duka mendalam dirasakan oleh keluarga Reynand. Kecelakaan yang terjadi pada Reynand mengakibatkan tulang dadanya remuk karena benturan keras dan gegar otak yang menyebabkan koma saat ini kemungkinan Reynand akan mengalami amnesia. Kecepatan mobil yang Joice lajukan terlalu tinggi. Beberapa murid ada yang merasa sedih ada juga yang merasa biasa saja. Willy, merasa terpukul atas kepergian Reynand. Ia tak habis pikir, mengapa Joice bisa melakukan hal yang tak wajar seperti itu. 

Mungkinkah dia sengaja atau tak sengaja? Hal itu masih terngiang di otaknya. 

Abila dan Alert  yang berdiri berdampingan pun segera meninggalkan rumah sakit ketika acara besuk telah usai. Calsen yang melihat kedekatan mereka hanya bertanya-tanya dalam hati. Landry juga demikian, melihat kedekatan Abila dan Alert dirinya menjadi tak ada kesempatan untuk mendekati keluarga Govinda lagi. Tangannya hanya mengepal kuat, menahan amarah. Saat di dalam mobil, Abila mulai bertanya-tanya kembali. Rasa ingin tahunya mengalahkan segalanya. 

"Al, jadi semua ini maksudnya apa?" Alert tampak mengernyitkan alisnya. Haruskah dia menjawab pertanyaan Abila atau tidak. Sesaat kemudian, ia menghela napas. 

"Perlu kamu ketahui. Jika orang seperti mereka tidak bisa dibalas dengan hukum yang ada pada negara, haruskah kita menanti keadilan tersebut meski tak kunjung datang?"

Penjelasan Alert membuatnya tak paham. Apa maksud dari ucapannya. 

"Kematian Arletta, polisi sebenarnya sudah tahu, tapi mereka memilih bungkam karena uang dari orang tua Willy."

"Jadi, orang tua Willy juga terlibat?" Alert mengangguk. Abila menatap tak percaya. Bagaimana bisa Alert tahu semua itu. Alert mendekatkan wajahnya ke arah Nagisa, menatap tajam seolah memberi sebuah peringatan. 

"Ingat, jadilah orang yang dapat dipercaya. Jika kepercayaan itu hilang begitu saja, maka riwayatmu akan tamat!" 

Abila menelan ludahnya, merasa sedikit takut dengan gertakan yang Alert buat. Memang apa yang akan dia lakukan? Selama ini dia tak pernah melakukan apa pun. 

***

Di ruang yang minim akan cahaya, seseorang yang terbaring di sana tampak menggerakkan tangannya. Matanya yang terpejam perlahan terbuka, menatap langit-langit berwarna abu-abu. Perlahan dirinya meraba wajahnya yang tak pernah terekspos sama sekali.

"Wajahmu tidak apa-apa," ucap seseorang dengan wajah datar. Pria berperawakan gagah itu tampak sibuk meminum segelas wine di tangannya. 

"Aku sudah memberitahu Ginai, dia segera ke sini," ucap pria itu sekali lagi yang kemudian mendekat ke arahnya. Aura mencekam ini dapat ia rasakan ketika pria itu mendekatnya. Deru nafasnya semakin tak beraturan. Ia takut jika nyawanya hanya di sini saja. 

"Apa kamu pikir aku akan mencelakai darah dagingku? Tentu tidak, bukan?"Namun, tetap saja. Ia tak dapat menahan rasa takut itu. 

"Ingat! Keluarga kita tidak menentang yang namanya balas dendam. Selagi dia adalah orang dalam lingkup kita, yang namanya salah harus dihukum bukan, Choco?"  Choco  adalah nama pentas dari Barbara. Tak ada yang tahu jika selama ini dia menggunakan nama orang lain untuk membalaskan dendam masa kecilnya. Setelah berucap, pria itu segera meninggalkan dirinya. Peluhnya menetes membasahi tubuhnya. Bulir air matanya mengalir meratapi hidupnya yang bisa dikatakan penuh dengan tekanan. 

"Apakah kami ini anakmu, Pa?" 

***

Ginai sudah masuk ke dalam rumah kediaman Chocol. Ah, tidak. Tepatnya tampak seperti mansion yang megah. Tak ada yang tahu betapa mewahnya hidup mereka sebenarnya. 

Di ujung sana, dia menatap Choco yang sudah duduk di atas meja menikmati semangkuk sup jagung kesukaannya. 

"Apa nggak ada rasa nyeri?" tanya Gina tanpa basa basi. Pelayan telah menyiapkan dirinya secangkir teh hangat kesukaannya. Sesekali dia menyesapnya tanpa protes. 

"Sedikit," balas Choco apa adanya. 

"Besok pengumuman kenaikan kelas, aku harap kamu tidak keberatan." 

Choco tahu itu. Penentuan siapa yang akan menggeser posisinya sangat sudah jelas. Mau bagaimana lagi, dirinya masih dalam kondisi seperti ini.  Tangan Choco tampak bergetar. Gina yang melihat itu segera menghampirinya dan menyuapi dengan sedikit telaten. 

"Apa kamu belum makan sesendok pun?" 

"Hanya dua sendok."

"Payah," celoteh Gina yang masih terus menyuapi Choco. 

"Apa ada sesuatu di sekolah kita?" tanya Choco tentang perkembangan sekolah saat ini. 

"Abila akan musnah, menyisakan sampah lainnya."

"Maksudmu?"

"Tidak perlu aku jelaskan, intinya mereka ada di bawah kendaliku," ungkap Gina dengan percaya diri. 

"Lalu tanggapan ibu Reynand?"

"Wanita itu bisa apa? Dia hanya akan pasrah dengan apa yang kita lakukan." Choco sungguh tak habis pikir dengan Gina. Entah mengapa tindakannya sangat cepat dari dugaannya. 

"Cepatlah sembuh dan segera melindungi gadis pujaanmu," ucap Ginai yang kemudian meninggalkan Choco yang masih terpaku. Gadis saingannya dulu, Reynand. Ia sangat merindukan laki-laki itu. 

"Apa kamu akan terus menutup wajah cantikmu yang baik-baik saja itu?" tanya Gina sebelum benar-benar pergi. 

"Saranku, jangan kami tutupi. Semua akan segera terungkap." Choco tampak menimbang ucapan Ginai. Haruskah dia menampakkan jati dirinya? 

***

Pengumuman telah tiba. Semua murid duduk dibangku masing-masing menunggu hasil nilai ujian mereka. "Hari ini kalian sudah tahu, bukan. Bahwa hasil ujian kenaikan kelas sudah keluar. Ibu akan mengumumkan siapa saja yang masuk ke dalam sepuluh besar." Guru itu tampak menghela nafasnya seperti bingung dengan perubahan yang ada. 

Sementara mereka tengah gusar menunggu hasilnya. Entah mereka ada di posisi berapa, intinya ini sangat mempengaruhi masa depan mereka. Guru telah membacakan hasil pengumuman. Landry yang semula berada di peringkat enam berubah menjadi peringkat sepuluh. Semua orang terkejut mendengarnya. Landry yang dikenal sebagai murid yang paling rajin dan aktif nilainya merosot drastis. Peringkat enamnya kini ditempati oleh Lio. 

Hal yang paling menakjubkan dialami oleh Carlsen yang sekarang berada di peringkat lima setelah cukup lama dia berjuang. Kini ia bisa mengucapkan selamat tinggal pada peringkat sebelas. "Ibu rasa, ibu sangat menyayangkan hal ini. Entah mengapa banyak dari kalian yang tidak bisa mempertahankan posisi kalian, termasuk Gina." 

Mendengar namanya disebut, Gina sedikit terkejut. Apa dirinya turun peringkat? Itu sangat mustahil. 

"Abila, berada di peringkat empat. Sayang sekali." Gurunya sangat menyayangkan hal ini. Wajah Abila tampak pucat karena frustasi. Apa yang salah pada dirinya hingga peringkatnya turun. Lalu siapa yang berhasil menduduki peringkat tiga?

"Choco, selamat, ya. Kamu berada di peringkat tiga, pertahankan posisi kamu," ucap sang guru dengan bangga. Bukan wajah bahagia yang Choco rasakan. Justru dirinya kini tengah panik ketika mendapat tatapan mematikan dari Gina. 

"Reynand berhasil menduduki peringkat dua, dan peringkat satu .... " Ucapan guru tersebut menggantung, sedikit menatap tak percaya. 

 "Gina selamat!" Seluruh pandangan kini tengah menatap Gina yang duduk menatap datar ke depan. Tak lama kemudian senyum iblisnya keluar. 

Gina berjalan dengan cepat untuk menghindari kejaran Choco. Berkali-kali Choco harus memanggil namanya, tetapi Gina sama sekali tak mengindahkan. Begitu Choco berhasil meraih pergelangan tangan Gina, Gina dengan cepat menepis tangan itu. 

"Dasar sampah!" hardik Gina yang membuat Choco terkejut. 

"Gina.... " 

"Harusnya kamu sadar posisi kamu itu apa!" 

"Gina, aku mana tahu kalau—" 

"Aku tahu, kamu sengaja membuat aku frustasi melalui surat surat kaleng itu, bukan? Membuat aku tak fokus dengan tujuanku dan begitu aku lengah, kamu memanfaatkan itu semua, iya, kan?" ucap Gina dengan segala kata-kata tak indah bagi Choco. 

Merasa kesal, Choco kini tak bisa membiarkan Gina semena-mena. "Cukup, Gina! Ucapan kamu nyakitin aku!" Gina tersenyum angkuh, ternyata benar dugaanku selama ini. 

"Menyesal aku bukan anak orang miskin kayak kamu! Dibaikin tapi kamu melonjak!" 

"Choco! Cukup! Aku tahu aku tidak pernah hidup berkecukupan seperti kamu. Tapi apa kamu tahu? Jadi aku itu sakit! Sakit banget!" 

Gina mulai menitikkan air matanya. Hatinya sangat sakit ketika mendengar ucap-ucapan kasar yang keluar dari mulut Choco. 

"Kamu pikir, berjuang sebatang kara melihat saudara ku bahagia dengan bergelimang harta itu tidak sulit? Jika aku ingat tujuanku datang ke sini, maka aku akan mengatakan pada semua orang di sini bahwa .... " Choco tak sanggup meneruskan ucapannya. Dengan berat hati dia segera berlari sejauh mungkin untuk melepas semua yang ada di benaknya meninggalkan Gina yang masih dengan sejuta pertanyaan. 

Sesaat kemudian, Gina berdecak. "Untuk apa aku peduli pada dia." 

Bersambung


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C36
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login