Download App

Chapter 44: Wisata Kuliner Malam hari

Selamat Membaca

Aku baru saja keluar dari kamar mandi saat terdengar nada dering nyaring pertanda ada panggilan masuk. Kuraih benda pipih itu dan menemukan nama Reynand tertera sebagai identitas pemanggil.

"Lagi ngapain, Yang?" Pria itu langsung bertanya begitu panggilan telepon tersambung.

"Baru saja pulang. Ngapain telepon malam-malam begini?" Aku bertanya tanpa rasa antusias. 

"Tadi sore, aku dapat order nganter makanan. Mie goreng pedas level semburan gunung berapi. Kayaknya enak banget, deh. Kamu mau nggak nyobain?" Ya ampun! Ini sih godaan berat! Aku melirik jam digital yang kuletakkan di nakas samping tempat tidur. Tertulis angka 8:45. Belum begitu malam untuk ukuran ibukota.

"Daerah mana?" tanyaku sebelum mengambil keputusan. Reynand kemudian menyebut nama daerah yang letaknya tak jauh dari kosku. Bisa dijangkau hanya dalam waktu sekitar dua puluh menit saja.

"Ehm, gimana ya?" Aku pura-pura jual mahal walaupun sebenarnya cukup tergoda dengan ajakan Lingga barusan.

"Ayolah, Yang! Besok kan hari Rabu, kamu libur jadi bisa bangun agak siang." Reynand berusaha membujuk.

Aku mengernyit. "Tahu dari mana kamu kalau aku libur besok?"

Terdengar kekehan Reynand dari seberang sambungan. "Apa sih yang enggak aku tahu soal kamu." Aku mencebik walaupun tahu Lingga tak bisa melihatnya. 

"Ya udah, jemput sekarang. Aku siap-siap dulu. Ntar telpon aja kalau sudah sampai."

"Siap, Nyonya!" Reynand menjawab semangat.  Setelah mengakhiri panggilan telepon, aku membuka lemari untuk mencari pakaian yang lebih layak untuk keluar. Tidak lupa kukenakan jaket tebal supaya nanti tidak kedinginan saat naik motor. Juga agar tidak diomelin Reynand. Pria itu paling bawel untuk urusan seperti ini. Dia bisa mengomel sepanjang rel kereta api kalau aku keluar malam dengannya tanpa jaket.

Reynand memang sering mengajakku pergi berburu wisata kuliner pada malam hari seperti ini. Reynand memang senang pergi kemanapunh dengan motor sportnya membuat Reynand sering menemukan tempat makan yang menarik untuk dicoba. Dan dia hampir selalu mengajakku bila ingin pergi mencoba tempat makan baru.

Lima belas menit kemudian Reynand menelepon. Lapor kalau dirinya sudah sampai dan kini sedang menunggu di bawah. Aku pun bergegas meraih ponsel dan dompet lalu menjalankannya ke saku jaket. Tempat tante yang kutinggali ini merupakan rumah tiga lantai dan terdiri dari delapan belas kamar. Ada enam kamar di masing-masing lantai. Kebetulan aku mendapatkan kamar di lantai dua, nomor 21 yang terletak paling ujung dengan jendela menghadap ke jalan karena kebetulan kosku terletak di pertigaan.

Reynand  terlihat sedang asyik mengobrol dengan Kang Asep di pos satpam yang terletak di dekat pagar. Dia memang sudah sering datang ke sini, baik untuk menjemputku ataupun sekadar mengantarkan sesuatu. Tidak heran kalau dia sudah begitu akrab dengan satpam di sini.

Aturan di rumah tanteku ini memang tak seketat kos di sekitar kampus. Namun, bukan jenis kos yang bebas juga. Tetap ada aturan yang melarang memasukkan teman laki-laki ke dalam kamar. Hanya boleh mengobrol di ruang penerima tamu yang letaknya di dekat pos satpam. Jam malam pun dibatasi hanya sampai pukul dua belas malam saja.

"Eh, itu Mbak Gina sudah turun." Kang Asep yang lebih dulu menyadari kedatanganku langsung menyapa. "Mau jalan-jalan, ya, Mbak?"

Aku mengangguk. "Cari makan sebentar, Kang." 

"Kang Asep mau nitip apa?" Reynand bertanya saat menyerahkan helm padaku.

Kang Asep tertawa. "Nggak usah repot-repot, Mas Reynand . Cukup antarkan Mbak Gina pulang kembali dengan selamat ke kos ini sebelum jam dua belas."

Sekarang, ganti Reynand  yang terbahak-bahak. "Ah, saya jadi berasa pamit sama calon mertua nih, Kang."

"Kalau calon mertua mah nggak bakal kasih waktu sampai jam dua belas malam, Mas. Ngajak keluar jam segini aja paling sudah dilarang," sahut Kang Asep terkekeh.

"Eh, iya juga, ya?" Reynand meringis sambil menggaruk rambut.

"Yuk buruan! Ntar keburu kemalaman." Aku memperingatkan pria itu.

Kadang aku masih heran sekaligus takjub pada Reynand ini. Semua orang diajak kenalan, diakrabin, diajak bercanda. Anehnya lagi, semua orang sepertinya juga suka pada Reynand. Ya, dia memang orangnya supel, sih. Pintar cari bahan obrolan. Humoris, tapi sopan. Eh, tunggu dulu! Kok aku jadi muji-muji Reynand begini, sih? Nggak boleh! Aku nggak boleh terjerat pesona dengan sikap Reynand ini!

"Eh, kepalamu kenapa, Yang? Kok digoyang-goyang begitu?"

Teguran Reynand membuatku tersadar. "Nggak kenapa-napa, kok," jawabku cepat.Reynand pamit kepada Kang Asep sebelum naik ke motornya. Aku bergegas menyusul naik ke boncengan belakang.

"Nggak usah peluk-peluk, ya, Yang. Belum halal soalnya." Reynand  cengengesan setelah berkata seperti itu. Sebagai balasan, aku memukul punggung Reynand dengan keras hingga dia mengaduh. Pria itu menoleh sedikit ke belakang hanya untuk pamer senyum miring. 

"Belum nikah, kok, sudah KDRT, sih, Yang?"

"Minta digeplak lagi?" Aku menakut-nakuti dengan cara mengangkat sebelah tangan, pura-pura mau memukul.Bukannya takut, Reynand justru terkekeh. "Boleh. Aku anggap itu sebagai tanda sayang dari kamu."Dua pukulan mendarat di punggung Lingga.

"Dua kali pukulan berarti kamu sayang banget sama aku." Reynand nyengir saat berkomentar.Aku Tambahkan lagi tiga pukulan. 

"Tiga kali berarti kamu sayang banget-banget sama aku." Aku kembali mengangkat tangan bermaksud untuk memukul. Namun, ku urungkan saat menyadari kesimpulan yang akan ditarik Reynand kalau aku memukul lagi. Pasti aku akan dianggap semakin sayang pada dia. Ogah!

Reynand terkekeh melihatku yang tak jadi memukul. "Ah, calon istri idaman banget, deh. Nurut sama calon suami."Aku merengut kesal dan membuat Reynand semakin terbahak-bahak. Bahkan Kang Asep pun sampai ikut tertawa.

"Udah buruan jalan! Atau aku turun lagi, nih?" ancamku sambil pura-pura mau turun dari motor. 

"Eh, iya-iya. Ini berangkat," sahut Reynand cepat. 

Setelah berpamitan sekali lagi dengan Kang Asep, Reynand melajukan motornya. Suasana jalanan relatif ramai lancar. Tidak ada penumpukan antrian kendaraan. Paling hanya ada sedikit antrian di lampu merah saja. Duh, aku kok jadi berasa seperti reporter sedang melaporkan keadaan lalu lintas arus mudik saja.

Tidak sampai dua puluh menit, kami sudah tiba di rumah makan yang tadi diceritakan Reynand. Sepertinya rumah makan ini berjualan mulai sore, sampai dini hari mungkin. Dari spanduk yang terpasang, aku bisa melihat bahwa makanan super pedas menjadi menu andalan rumah makan ini.

"Halo, Bapak!" Reynand menyapa si bapak penjual dengan gaya sok akrab. Pria paruh baya yang sedang sibuk dengan wajan dan spatula itu menoleh dan langsung tersenyum lebar menyambut Reynand.

"Eh, jadi balik lagi, Mas?"

"Jadi, dong. Tadi jemput calon istri dulu."

Refleks, kupukul punggung Reynand yang berada di depanku. Pria itu menoleh, bukan untuk protes melainkan untuk memamerkan senyum lima jari.

Si Bapak tertawa lalu mempersilahkan kami memilih meja untuk ditempati. Ada dua meja kosong dan Reynand memilih meja yang berada di dekat si Bapak yang sedang memasak. Sebenarnya aku agak kurang sreg, takut panas karena terlalu dekat dengan kompor. Namun, aku memilih diam dan tak protes. Bagaimanapun juga Reynand yang mengajakku ke sini. Jadi, aku manut sama dia sajalah.

"Pesan apa, Yang?" Reynand menyodorkan selembar kertas menu yang dilaminating.

Aku memilih mie goreng pedas level lava dengan 30 buah cabai rawit.

"Yakin? Nggak bakal mules?" Reynand bertanya dengan senyum miring. 

Jangan salah paham, Gais! Reynand bertanya bukan karena khawatir. Justru dia sedang menantangku. Kami yang sama-sama pecinta makanan pedas memang sering bersaing untuk bisa menaklukkan makanan dengan level setinggi-tingginya. Urusan mules bisa dipikirkan di belakang nanti.

"Yakinlah! Kamu ya yang takut?"Reynand tertawa menanggapi ledekan. Dia mengibaskan tangan dengan seringai meremehkan. "Ini mah kecil buatku."

Pria itu kemudian memesan mi sesuai dengan pilihanku sebanyak dua porsi. Selanjutnya seperti biasa, sambil menunggu pesanan dibuatkan, Reynand mengajak bicara siapa pun yang bisa diajak bicara. Kali ini, dia memilih bapak pemilik warung sebagai kawan ngobrol.

Reynand  memang benar-benar luar biasa. Padahal dia baru mengenal si Bapak hari ini, tetapi dia berhasil menciptakan obrolan akrab layaknya teman lama yang baru bertemu lagi setelah sekian lama terpisah. Dengan kemahiran seperti itu, seharusnya Reynand memilih bekerja di bidang marketing saja. Dijamin produk apa pun yang dia tangani pasti akan sukses.

"Mi gorengnya sudah siap!" Reynand  berseru saat membawa nampan berisi dua piring mie goreng dengan warna merah menggoda dan sepiring sate ati ampela dan bakso tusuk.

Reynand  mengatur makanan itu di meja. Dia juga memesan dua gelas teh tawar dan dua botol air mineral. Sebagai amunisi melawan pedas nanti.

Mulutku terasa berair hanya dengan menyaksikan tampilan mie goreng yang tampak memerah karena bumbu cabe rawitnya. Nyaliku agak ciut membayangkan seberapa pedas mie goreng itu nantinya. Namun di sisi lain, aroma yang timbul begitu menggoda dan membuatku tak sabar untuk mencicipi.

"Yuk dimakan, Yang," ajak Reynand  saat aku masih belum juga mengangkat sumpit yang kupegang.

Tidak sepertiku, Reynand terlihat mantap tanpa ragu sedikitpun saat menyuapkan mie goreng ke dalam mulutnya. Wajahnya tampak sedikit memerah, tetapi bibirnya tersenyum lebar. Jempolnya teracung ke depan.

"Enak banget, Yang." Dia berkomentar setelah menelan suapan pertama.

Aku pun jadi semakin penasaran. Dengan mengucapkan doa makan sebelumnya, aku mulai menyuap. Lalu sensasi luar biasa memenuhi mulutku. Kenyalnya mi ditambah aroma bumbu dan juga cabai rawit benar-benar paduan yang pas. Walaupun ada sensasi panas terbakar yang tertinggal di mulut setelah menelan. Namun, aku benar-benar puas dengan mi goreng ini.

"Enak banget!" Aku berbicara susah payah karena mulai kepedasan.Reynand tertawa lebar lalu menggeser gelas teh mendekat ke arahku. "Minum dulu kalau kepedasan."

Selama makan, kami tak banyak bicara karena terlalu fokus dan sibuk. Fokus menikmati sensasi pedas yang membakar lidah, serta sibuk menyeka keringat dan ingus yang tak berhenti keluar. Hingga akhirnya mie goreng itu tandas seiring dengan kosongnya gelas dan botol minuman kami. Bahkan Reynand kemudian memesan minuman tambahan lagi saat melihatku masih kepedasan.

"Dapat nilai berapa, nih?" tanya Reynand setelah keadaan kami kembali normal.

"Lima bintang!" jawabku mantap.

Reynand terkekeh kemudian mengacungkan jempol tanda setuju. Aku pun ikut tertawa pada akhirnya. Tawa yang membeku saat tangan Reynand bergerak maju untuk mengusap dahiku dengan tisu.

"Peace! Cuma usap keringat doang, Yang."Reynand meringis dengan jari membentuk tanda V. Aku berusaha menenangkan dada yang tiba-tiba saja berdebar. Sadar, Jasmine! Dia ini Reynand, berondong calon buaya! 

Kamu memang harus segera cari calon suami, tetapi bukan berarti bisa sembarangan menjatuhkan pilihan. Ingat! Kamu cari imam yang mengayomi, bukan bayi yang harus diurus!

"Yang! Yang! Sembarangan aja panggil sayang ke orang. Bikin matiin pasaran aja!" Aku mengomel, bukan semata karena kesal, tetapi juga sebagai bentuk pengalihan rasa gugup.

Reynand memamerkan senyum miring. "Memang Yang itu artinya apa?"

Aku mengernyit. "Sayang, kan?" tanyaku jadi ragu.

"Bukan, sih! Yang itu singkatan untuk Eyang, kok." Reynand  tergelak keras.Kurang asem nih anak!.Setelah puas tertawa, Reynand beranjak berdiri sambil menarik dompet dari saku celana. Aku buru-buru memegang ujung lengan kaos panjang pria itu untuk mencegah dia berlalu.

"Mau bayar, ya? Ini bagianku. Split bill kayak biasanya, kan?" Aku menyerahkan selembar uang lima puluh ribu. Reynand tak segera menerima uang yang kuulurkan. Dia justru menggeleng dan mendorong tanganku. "Nggak usah. Malam ini, aku yang traktir."

Aku mengangkat alis. "Sudah merasa sok kaya, nih? Kalau kamu nggak mau terima, lain kali aku ogah diajak pergi makan bareng lagi, nih," ucapku cemberut. Reynand menatapku dengan sorot yang tak terbaca selama beberapa saat hingga membuatku risi. 

"Kenapa, sih?" tanyaku karena tak tahan ditatap sedemikian rupa. Tawa lepas keluar dari mulut Reynand. Tangannya terulur untuk meraih uang yang kusodorkan sejak tadi.

"Kamu memang benar-benar beda, ya, Yang." Suara Lingga tak begitu keras, tapi masih tertangkap oleh telingaku. 

"Beda gimana?" tanyaku curiga. 

Reynand menggeleng. "Bukan apa-apa, kok. Nggak usah dipikirin."

"Ih, baik kalau ngomong suka nggak jelas," omesku sambil merengut. Bukannya tersinggung, Reynand justru tertawa keras. Sambil mengedipkan sebelah mata, dia membalas ledekan. "Tapi si bayi ini sudah bisa dan siap bikin bayi, lho, Yang." Aku memelotot. Sementara, Reynand melenggang ke kasir setelah sebelumnya melempar sorot mata penuh kemenangan.Ih, dasar bayi jadi-jadian!

Bersambung


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C44
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login