Download App

Chapter 4: Orang Mencurigakan

"Kalian tenang saja dengan hal itu. Anak buahku akan menemani kalian hingga esok," jawab Tuan Gabriel seolah mengerti akan kerisauanku.

Tentu saja aku risau. Meski Dasha adalah adikku, aku tetap takut jika jasad Dasha tiba-tiba terbangun. Dan yang lebih mengerikan adalah iblis yang merasukinya. Karena bukan tidak mungkin ia akan melukai kami.

Aku dan Nenek mengangguk bersamaan kala mendengar perkataan Tuan Gabriel. "Terima kasih, Tuan," jawabku seraya menoleh ke arah ranjang yang ada di tengah ruangan di mana jasad Dasha terbaring. "Setidaknya kami tidak perlu khawatir untuk malam ini," sambungku seraya kembali menatap Tuan Gabriel.

Tuan Gabriel selanjutnya berdiri dari kursinya. Sontak, kami ikut berdiri dan menghadap ke arahnya. "Saya permisi dulu," ujar Tuan Gabriel seraya mengulurkan tangannya ke arah Nenek.

Kuperhatikan tangan keriput Nenek menyambut uluran tangan Tuan Gabriel. Manik matanya yang sudah menua menatap penuh harap kepada pria bertubuh tinggi tegap itu. "Terima kasih atas bantuanmu, Tuan. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa padamu," ujar Nenek.

Tuan Gabriel mengangguk pelan. "Tidak apa. Ini sudah kewajibanku untuk melindungi wargaku," jawabnya pelan.

Aku tertegun mendengar pernyataannya, ternyata Tuan Gabriel ini sangat memedulikan warganya. Pantas saja ia menang pemungutan suara ketika mencalonkan diri sebagai wali kota beberapa tahun yang lalu.

Sedetik kemudian, Tuan Gabriel beralih menatapku. Ia juga mengulurkan tangannya kepadaku yang langsung aku balas jabatan tangannya itu seraya berkata, "Aku tunggu kehadiranmu esok bersama dengan Tetua yang telah kau janjikan itu." Kutatap dengan serius pria paruh baya di hadapanku itu.

Ia mengangguk mengiyakan dan terlihat begitu yakin. "Tentu saja," jawabnya.

Selanjutnya, Tuan Gabriel dan dua orang anak buahnya segera pergi meninggalkan rumah. Aku dan Nenek mengantarnya hingga ke ambang pintu. Tuan Gabriel berjalan dengan dikawal kedua anak buahnya. Aku dan Nenek hanya bisa menatap nanar punggung mereka yang perlahan menghilang di balik sebuah mobil mewah.

"Kita harus segera mempersiapkan peti mati untuk Dasha, Nek." Kurangkul pundak Nenek seraya membawanya masuk kembali ke dalam rumah, karena sedari tadi aku merasakan aura yang tidak mengenakkan di sekitarku.

Ketika kami sudah berada di dalam, aku melihat tiga orang anak buah Tuan Gabriel sedang berbincang di sofa ruang tamu. Kusapa mereka dengan ramah, sementara Nenek berjalan menuju dapur untuk menyiapkan beberapa camilan untuk mereka. Aku sempat melihat tangan Nenek yang memegang sebuah kalung salib. Aku tahu betul itu adalah kalung milik Dasha.

"Terima kasih karena sudah bersedia menemani kami malam ini, Tuan," ucapku.

Salah satu dari ketiga pria itu mengangguk dan menimpali, "Itu sudah tugas kami, Nona. Oh, ya, apa di sini ada peti mati yang diperintahkan Tuan Gabriel sebelumnya?"

Aku mengangguk. "Ya, tentu ada Tuan. Kami meletakkannya di gudang belakang," jawabku kemudian. "Saya akan mengantar Anda ke sana."

Pria yang saat ini tengah berbicara denganku kemudian mengangguk dan berdiri dari kursinya. Ia lalu berjalan mendekat ke arahku.

Aku baru menyadari jika wajah pria di hadapanku ini cukup tampan. Hidungnya mancung dengan kulit berwarna kecokelatan, dan juga jangan lupakan janggut tipis yang ada di bawah dagunya, membuatnya terlihat semakin menawan.

Jika kulihat-lihat, usia pria ini sepertinya yang termuda di antara yang lainnya. Mungkin saja dia seusia denganku.

Kami akhirnya pergi bersama menuju gudang yang ada di halaman belakang rumahku. Untuk sampai di sana, kami harus melewati sebuah taman kecil berisi banyak sekali tertanam bunga matahari kesukaan Dasha. Dasha sejak kecil memang sudah menanam bunga-bunga itu bersama dengan mendiang Ibuku.

Baik Dasha dan Ibu, mereka sama-sama menyukai berbagai jenis tanaman terutama bunga matahari. Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam lamanya hanya untuk merawat taman kecil mereka.

Hal itu sungguh berbanding terbalik denganku. Aku lebih menyukai memelihara hewan jika dibandingkan dengan tanaman. Bagiku, hewan lebih menggemaskan dan bisa berinteraksi dengan manusia.

Ah, aku jadi teringat pada Molly, anjing kecilku yang terpaksa kuberikan pada sepupuku karena mendiang Ayahku yang memiliki alergi terhadap bulu hewan.

Ah, Ayah, aku juga jadi merindukanmu sekarang.

Sudahlah, membicarakan mereka hanya akan membuatku kembali mengingat kejadian mengerikan itu.

Tanpa terasa, sudah setengah jalan kami berjalan menyusuri taman bunga matahari milik Dasha. Suasana di sini sangat gelap dan mencekam. Ditambah dengan suara lolongan serigala yang sedari tadi terdengar bersahutan. Hanya dengan bermodalkan sebuah senter kecil kami berjalan menembus kegelapan dan keheningan malam.

Aku mendongakkan kepala, terlihat dengan jelas bulan berwaran merah pekat seperti darah. Aku terkejut bukan main. Karena sebelumnya bulan itu tidak begitu merah seperti saat ini.

Tiba-tiba pria yang berjalan di sampingku berkata, "Kenapa kau begitu terkejut melihat bulan itu?" tanyanya. Aku sempat melihat manik matanya yang melirik ke arahku melalui ekor matanya yang tajam.

"A-aku hanya sedang berpikir, tadi sepertinya bulan itu tidak berwarna sepekat ini."

Usai mendengar jawabanku, pria itu menghentikan langkahnya untuk menatap bulan purnama berdarah itu. "Kudengar dari Ibuku, merahnya bulan purnama itu berasal dari darah para gadis perawan yang telah dihisap oleh penyihir hitam," jelasnya seraya membalikkan tubuhnya dan berdiri menatapku.

"Ya, aku juga pernah mendengar itu dari Nenekku," timpalku.

Pikiranku tiba-tiba saja tertuju pada Dasha. Aku tidak ingin berpikiran seperti ini. Tapi otakku selalu saja tertuju pada mitos ini. Kurasa ini semua saling berhubungan. Mulai dari Dasha yang meninggal dengan kondisi seperti kehabisan darah, malam purnama berdarah ini, bahkan sampai status Dasha yang masih perawan.

Tentu saja Dasha masih perawan. Aku tahu betul dengan pergaulan Dasha yang sempit. Dasha hanya berteman dengan beberapa orang saja di sekolah. Bahkan ketika libur sekolah pun ia lebih memilih untuk berdiam diri di rumah sambil bertelepon ria dengan Vold, kekasih jarak jauhnya.

"Aku tidak sepatutnya berkata seperti ini di saat kau sedang dilanda kesedihan. Tapi … menurut dugaanku, kasus meninggalnya Dasha ada kaitannya dengan malam purnama berdarah ini," ungkap pria yang hingga saat ini belum kuketahui namanya itu.

Aku hanya bisa tersenyum tipis mendengar pernyataan pria itu. Memang benar, dugaanku dan dirinya ternyata sama. "Ya, aku juga berpikiran seperti itu."

Aku terdiam beberapa saat, kemudian kembali melanjutkan. "Jika memang benar penyebab adikku meninggal adalah karena penyihir hitam itu, akan kupastikan dia juga akan mengalami apa yang Dasha rasakan."

Pria itu tersenyum penuh arti menanggapi kata-kataku, senyum yang seperti memiliki arti dibaliknya. "Itu bagus," jawabnya singkat.

"Perkenalkan, namaku Edgar Borton," ujarnya kemudian seraya mengulurkan tangannya.

Kuraih uluran tangan dari Edgar. Tepat ketika telapak tanganku menyentuh tangan Edgar. Tiba-tiba kurasakan kepalaku berdenyut nyeri. "Akh!" pekikku tertahan.

Sebuah memori ingatan tentang masa lalu, tiba-tiba berputar di dalam kepalaku. Ingatan tentang kejadian 15 tahun yang lalu. Saat ketika aku dan kedua orang tuaku mengalami kecelakaan parah dan mengakibatkan mereka meninggal dunia.

Aku ada di sana saat itu. Usiaku baru menginjak 7 tahun dan Dasha masih berada di dalam kandungan Ibu. Tepat dari kejauhan, aku melihat sosok laki-laki berjubah hitam tengah menyeringai menyaksikan kecelakaan yang menimpa kami. Di tangannya tergenggam dua buah boneka Voodoo.

Tidak! Tiba-tiba saja ia menoleh ke arahku dan sepertinya menyadari kehadiranku di sana.

Perlahan, ia berjalan mendekat ke arahku. Senyum lebar di bibirnya membuatku bergidik ngeri. Hingga dalam hitungan detik, tiba-tiba saja ia sudah berdiri di hadapanku, matanya tajam menusuk tepat di jantungku.

"Kenapa kau ada di sini, Nona?" tanyanya dengan suara berat dan serak.


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C4
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login