Download App

Chapter 4: Awal Mula Tania Mengalami Depresi

Sudah menjelang senja saat Emily dan sahabat-sahabatnya meninggalkan cafe dan pulang ke rumah masing-masing. Emily pulang berjalan kaki bersama Riana, karena rumah mereka berdekatan. Ayah Riana bekerja sebagai mandor di perkebunan Zillian Farm, salah satu usaha peninggalan kakek dan nenek Emily. Riana beserta ibu dan adik-adiknya tinggal di perumahan karyawan di dalam perkebunan itu. Sedangkan Emily beserta orangtuanya tinggal di rumah paling megah di kota kecil itu, masih di area perkebunan, namun dekat dengan jalan raya.

Kota Alpan adalah kota kecil dengan jumlah penduduk hanya beberapa ratus jiwa. Rumah-rumah disini terletak berjauhan, terpisah oleh perkebunan-perkebunan yang membentang sepanjang jalan yang menanjak terjal. Salah satu ciri khas kota ini adalah dua buah danau kecil yang dijuluki danau kembar. Konon danau-danau itu tadinya adalah kawah gunung berapi kuno yang setelah berabad-abad menjelma menjadi danau. Satu danau terletak di dataran tinggi dinamai Danau Atas. Sedangkan danau yang terletak di bagian lembah dinamakan Danau Bawah. Rumah Emily terletak tidak jauh dari Danau Atas. Pemandangan terbuka ke arah danau itu dan perkebunan teh yang mengelilinginya sangat menyejukkan mata. Itu sebabnya Emily sangat senang pindah ke Kota ini. Berasa seperti liburan dua puluh empat jam, pikir Emily.

Namun sayangnya Ayah Emily tidak menyukai kota ini. Apalagi karena mesti meninggalkan studio lukisnya, teman-temannya, dan tempat-tempat hiburan yang dikunjunginya setiap malam. Sepanjang ingatan Emily, Ayahnya tidak pernah bekerja untuk mencari nafkah. Setiap hari beliau selalu bangun siang, lalu mengurung diri di studionya untuk melukis, malam beliau pergi entah kemana dan pulang menjelang pagi. Lanjut tidur dan bangun kesiangan lagi. Begitu terus sejak Emily masih kecil. Emily sangat jarang bertemu ayahnya karena rutinitas mereka yang berbeda itu. Saat Emily bangun, ayahnya masih tidur. Emily pulang sekolah, ayahnya masih mengurung diri dalam studio.

"Hush, jangan ganggu Papa kerja," demikian ibunya membujuk setiap kali Emily kecil mendatangi studio ayahnya, ingin bermanja dengan ayahnya. Sayangnya sosok ayah hanya hadir di saat-saat tertentu dalam hidup Emily. Misalnya saat ada wawancara untuk tabloid keluarga, atau saat mereka pergi liburan yang diliput media, itu pun tidak terlalu sering.

Dulu, Ayah dan Ibu Emily saling mencintai. Mereka bertiga menampilkan gambaran keluarga kecil yang bahagia pada orang-orang. Tania, ibu Emily adalah seorang penyanyi pop terkenal. Mereka hidup bergelimang harta dalam kemewahan, meski Ayah Emily tidak punya penghasilan yang jelas.

"Suami saya seniman pelukis. Passionnya bukanlah uang, melainkan kepuasan batiniah," demikian Tania membela suaminya.

Emily kecil tidak terlalu mempedulikan sang Ayah yang memang jarang ditemuinya. Dia lebih dekat dengan ibunya. Emily sangat bahagia mengikuti ibunya kemana-mana, terutama pada saat ibunya hendak menyanyi di panggung. Emily dengan jeli memperhatikan gaun apa yang dipakai ibunya hari itu, dan merasa sangat senang saat mengenali sang perancang dari detil-detilnya yang khas. Usia lima tahun Emily sudah menunjukkan ketertarikan pada fashion design, dengan memadu-madankan kostum-kostum untuk boneka Barbie-nya. Usia tujuh tahun Emily sudah mulai menggambar baju-baju rancangannya, yang kebanyakan terinspirasi dari kostum panggung ibunya, dipadukan dengan komik-komik Jepang yang dia baca. Usia sembilan tahun Emily sudah menjadi pengarah busana pribadi Tania Zillian. Setiap mau tampil menyanyi, Tania dengan senang hati mengajak anak perempuannya itu berdiskusi tentang kostum apa yang sebaiknya dia kenakan. Emily dengan cerdas memberi saran-saran pada ibunya, membantu memilihkan pakaian yang cocok dengan segala mix and matchnya. Tidak jarang mereka juga pergi belanja baju bersama-sama, sampai ke Singapura, bahkan London dan Paris. Membuat Emily sangat bahagia diliputi antusiasmenya yang tak habis-habis.

"Aku suka Paris, surganya mode," kata Emily saat mereka pergi ke Paris pertama kali. "Suatu saat aku ingin menjadi desainer terkenal dan tinggal disini."

"Aamiin," komentar Tania gemas sambil mencium wajah putri kecilnya yang cantik itu.

Usia sebelas tahun, Emily sudah punya gambaran tentang apa yang akan dilakukannya di masa depan. Bersama sang ibu, mereka menjadi sebuah tim yang hebat untuk membuka jalan bagi Emily menjadi seorang fashion desainer kelak.

Namun petaka terjadi saat Emily berusia dua belas tahun, baru lulus sekolah dasar. Emily sangat bersemangat untuk melanjutkan sekolahnya ke Singapura, supaya bisa sekalian mengikuti kursus fashion design untuk pemula. Sekolah sudah dicari, tempat kursus sudah didapat. Tinggal menunggu ibunya mengatur ulang jadwal menyanyinya untuk mengantar dan menemani Tania ke Singapura. Rencananya beberapa bulan pertama, Emily akan tinggal di Singapura bersama ibunya. Lalu gantian dengan seorang asisten saat ibunya ada kegiatan di Indonesia.

"Papa gimana, Ma? Mengapa nggak ikut kita ke Singapura?," tanya Emily saat mereka sedang mempersiapkan barang-barang yang hendak dibawa.

"Papa ingin di Jakarta saja katanya," jawab Tania singkat.

Pandangan matanya menerawang.

Hari itu Emily melihat Mamanya seperti berbeda. Tania sering melamun. Tatapan matanya kosong.

Namun Emily sangat senang akan pergi ke Singapura untuk belajar, sehingga dia tidak terlalu memperhatikan perubahan ibunya.

"Mama capek," gumam Tania sambil minta ijin putrinya untuk pergi beristirahat di kamar.

Besoknya, dini hari Emily terbangun karena mendengar suara pertengkaran. Makian dan teriakan terdengar bersahut-sahutan. Ribut.

Emily menggigil di bawah selimut, merasa ketakutan. Orangtuanya tak pernah ribut besar seperti ini sebelumnya. Paling cuma pertengkaran-pertengkaran kecil yang berakhir dengan ibunya meminta maaf dan ayahnya yang mengurung dirinya distudio. Tania sangat mencintai suaminya dan lebih banyak mengalah. Namun pagi itu berbeda, Tania ikut-ikutan berteriak. Menangis dan berteriak.

'Prangg!!' terdengar suara benda kaca yang pecah. Emily menarik selimutnya menutupi kepala, air mata ketakutan membanjiri wajahnya. Kamar Emily persis berada di dekat ruang tamu, tempat pertengkaran itu berlangsung. Sehingga suara-suara yang ditimbulkan oleh pertengkaran itu terdengar jelas oleh Emily.

Pertengkaran itu berakhir dengan bunyi bantingan pintu depan diikuti dengan suara mobil ayahnya meninggalkan rumah. Emily memberanikan diri untuk bangkit, membuka pintu dan mengintip keluar.

Pemandangan memilukan langsung menerpa matanya. Ibunya berjongkok di depan pintu, menangis meraung. Pecahan lemari hias berisi kristal-kristal koleksi ibunya berhamburan di lantai.

Pelan Emily membuka pintu, ingin mendekati ibunya. Tapi sesuatu yang terjadi kemudian membuat Emily membeku dan membekap mulutnya, menahan dirinya untuk tidak berteriak.

Di depan matanya, Emily melihat ibunya mengambil sebuah pecahan kaca, lalu mengiriskannya berulang pada pergelangan tangannya sambil menangis. Pemandangan itu membuat Emily shock. Ingin berteriak, tapi tenggorokannya seperti disumpal kain. Darah merah terlihat menetes dari pergelangan tangan ibunya, perlahan semakin banyak, mengalir di lantai yang dipenuhi serpihan kaca.

Pandangan Emily terasa berputar. Dia ingin berteriak mencegah ibunya. Dia ingin berlari memeluk ibunya. Namun tubuh Emily mendadak lemas. Matanya berkunang-kunang. Dan tak lama kemudian pandangannya menghitam.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C4
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login