Download App

Chapter 5: Selingkuh Itu Penyakit

Jakarta, Juni 2017

Saat terbangun, Emily mendapati dirinya berada di tempat tidur. Kepalanya terasa berputar saat ingatan tentang apa yang terjadi sebelum dia pingsan kembali terbayang.

"Mamaaa!!!!" Emily menjerit.

Suaranya kembali! Padahal saat kejadian tadi dia ingin menjerit memanggil mamanya, namun tenggorokannya seperti dicekik. Emily seperti dihantam perasaan bersalah yang membuat dirinya limbung. Bayangan darah yang menetes dari pergelangan tangan Mamanya membuatnya kembali menjerit histeris.

"Mamaaa!!! Jangan lakukan itu, Ma! Jangan lakukan itu, kumohon..."

Bayangan buruk tentang apa yang mungkin menimpa ibunya membuat Emily nyaris kehilangan akal. Kedua tangannya mencengkram rambutnya kuat-kuat, tubuhnya menegang, sementara jeritan-jeritan histeris masih keluar dari mulutnya.

Pintu mendadak terbuka, seorang asisten rumah tangga yang bekerja di rumah itu menghambur masuk menghampiri Emily. Seorang pria muda berkacamata ikut menyusul di belakang Mbak Yati.

"Non Emily sudah bangun? Syukurlah, Mbak jadi takut, Non," ujar Mbak Yati sambil merangkul Emily dengan sedih.

"Mama mana, Mbak? Mama mana?!," tanya Emily dengan nada suara yang masih melengking tinggi. Bola mata Emily bergerak liar memindai pintu kamar, mengharapkan sosok mamanya muncul dari balik pintu dalam keadaan baik-baik saja. Tapi tentu saja itu tidak mungkin. Mamanya tidak baik-baik saja, karena apa yang terjadi semalam adalah nyata. Bukan mimpi.

"Non jangan banyak pikiran dulu. Mama Non ada di rumah sakit, ditemani Om Wahyu," jawab Mbak Yati dengan nada sedih. Wahyu adalah manager Tania.

"Kenapa Mama di rumah sakit? Mengapa sama Om Wahyu? Papa mana, Mbak?!", tanya Emily setengah berteriak.

Pria muda di belakang Mbak Yati bergeser ke depan. Rupanya dia seorang dokter, karena di lehernya tergantung steteskop. Emily menatap pria itu dengan curiga.

"Om siapa? Om mau ngapain?," tanya Emily masih dengan suara lengking.

"Om periksa kamu sebentar ya," bujuk dokter itu dengan ramah.

Emily menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Nggak...saya tidak sakit. Mama yang sakit. Mamaaa!!!" Emily menjerit dan menangis. Menjerit dan menjerit walau tenggorokannya terasa sangat sakit.

Mbak Yati buru-buru memberi Emily gelas berisi air putih, membujuknya untuk minum.

"Non minum dulu ya? Biar tenang. Mama Non baik-baik aja kok. Ini dokter Rio, yang bekerja di klinik depan, di seberang jalan rumah ini. Dokter Rio baik kok, Mbak sering berobat sama dokter Rio kalau lagi sakit."

Mbak Yati mengelus-ngelus punggung Emily dan menyodorkan gelas ke mulut putri majikannya itu. Beberapa saat Emily masih menggelengkan kepalanya untuk menolak. Namun akhirnya dia menurut dan meminum air putih itu sedikit. Tenggorokannya terasa sakit, kepalanya juga. Tapi tak separah sakit hatinya, penyesalannya, kekhawatirannya. Semua perasaan itu membuncah tak tertahankan oleh dirinya yang masih anak-anak berusia dua belas tahun.

"Om periksa ya?," bujuk dokter Rio sambil menempelkan stetoskopnya di dada Emily.

Emily mengangguk pasrah. Begitu juga saat disuruh membuka mulut, dia menurut. Hanya air matanya yang terus mengalir tanpa henti yang menggambarkan betapa sedih dan resahnya dia saat ini.

"Banyak-banyak minum air putih ya, kamu sedikit dehidrasi. Tak usah banyak pikiran, tenangkan dirimu dulu. Mamamu sudah berada dalam penanganan yang tepat oleh dokter-dokter di rumah sakit," kata dokter Rio dengan nada suara lembut.

"Apa yang terjadi dengan Mama, dok?," tanya Emily dengan suara serak.

"Mamamu cuma terluka sedikit kok. Untung tadi saya lagi piket jaga di klinik saat Mbak Yati memanggil. Segera saya melakukan pertolongan pertama, dan menelpon ambulans untuk membawa Mamamu ke rumah sakit."

Emily mengangguk lega. "Terimakasih dokter. Terima kasih Mbak Yati."

Kedua orang itu mengangguk dan tersenyum. Dokter Rio kemudian minta ijin pulang, karena sudah begadang semalaman jadi dokter jaga di klinik.

"Kalau ada apa-apa jangan sungkan menelpon om ya," ujar dokter Rio sambil meletakkan kartu namanya di meja belajar Emily.

"Mbak tinggal sebentar ya? Mbak mau antarin dokter Rio ke depan," ujar Mbak Yati pada Emily. Emily mengangguk, mengamati ke dua orang itu keluar dari pintu kamar.

Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi. "Untung aku sudah tamat sekolah, tak perlu buru-buru bangun pagi," gumam Emily dengan mata mengantuk. Mulutnya beberapa kali menguap lebar. Kelegaan mengetahui ibunya baik-baik saja, setidaknya tidak meninggal karena bunuh diri, membuat otot-ototnya perlahan melemas. Beberapa saat kemudian ketika Mbak Yati kembali, Emily sudah tertidur pulas.

.

.

.

.

Beberapa hari setelah kejadian, Emily baru mengetahui apa yang menyebabkan ibunya nyaris bunuh diri dini hari itu. Berawal dari sebuah berita di siaran berita di televisi, yang secara tidak sengaja didengar Emily saat dia sedang sarapan pagi.

"BD, suami dari seorang penyanyi ternama kepergok sedang berbuat asusila di sebuah kamar kos. Rupanya sudah beberapa hari ini BD dan selingkuhannya kumpul kebo sehingga meresahkan para penghuni kos, yang akhirnya melaporkan kejadian ini pada pemilik kos dan ketua RT setempat. Keributan timbul karena warga yang marah menggerebek dan mengusir pasangan mesum itu. Satpol PP akhirnya turun tangan mengamankan lokasi", demikian headline siaran berita pagi itu.

Emily yang sedang mengunyah roti bakar buatan Mbak Yati kontan membeku. Awalnya otaknya masih menyangkal bahwa BD itu adalah inisial ayahnya, Benny Dirgantara. Namun kecurigaan Emily muncul saat Mbak Yati tiba-tiba berlari dari dapur, lantas tanpa alasan meraih remot dan mengganti siaran televisi.

"Kenapa, Mbak?" tanya Emily dengan kening berkerut.

"Tak apa-apa. Pamali non dengerin gosip pagi-pagi. Mending nonton sinetron atau film apa gitu," jawab Mbak Yati dengan buru-buru. Kegelisahan nyaris tak bisa disembunyikan dari nada bicaranya, membuat kecurigaan Emily semakin menjadi.

"Papa mana Mbak?," tanya Emily. Sejak ayahnya pergi setelah pertengkaran itu, ayahnya tak pernah pulang ke rumah ini lagi. Kata Mbak Yati, Papa Emily sedang menunggui Mama yang dirawat di rumah sakit. Tapi anehnya ketika Emily pergi ke rumah sakit, satu-satunya lelaki yang setia menunggui ibunya hanya Om Wahyu.

"Papa Non di rumah sakit kan? Seperti biasa," jawab Mbak Yati sambil pura-pura sibuk mengelap meja makan.

"Kok aku nggak pernah ketemu Papa di rumah sakit?"

"Pas Non kesana lagi gilirannya Om Wahyu yang jagain."

"Trus waktu gilirannya om Wahyu yang jagain Mama, Papa kemana? Kamar dan studio Papa seperti sudah ditinggal berhari-hari."

"Err...itu...." Mbak Yati kehabisan kata-kata.

"Kenapa aku nggak dibolehin jagain Mama? Lagian kata Om Rio Mama tak apa-apa, tapi kok Mama selalu tidur saat aku kesana sih, Mbak?"

Waktu mengunjungi ibunya pertama kali tiga hari yang lalu, Emily hanya bisa melihat ibunya dari balik kaca. Tania terlihat tertidur dengan kabel oksigen di hidung, selang infus di tangan, dan disebelahnya terdapat sebuah monitor yang Emily tidak tahu itu gunanya apa. Tangan ibunya terbalut perban tebal, membuat Emily meringis sedih saat terbayang kejadian ibunya mencoba bunuh diri waktu itu.

"Non kan masih belum terlalu sehat, dan masih kecil juga. Jadi belum boleh lama-lama di rumah sakit."

Emily terdiam sambil mengaduk-aduk minumannya. Dari ekspresi wajahnya terlihat jelas bahwa Emily merasa tidak puas dengan jawaban Mbak Yati. Dia ingin bertanya lagi, namun urung karena telepon rumah mendadak berdering. Suaranya yang nyaring menggema di ruang makan yang hening, membuat Emily dan Mbak Yati terlonjak kaget.

Emily dan Mbak Yati sesaat saling berpandangan. Telepon rumah itu sudah sangat lama tidak digunakan, sehingga lebih mirip seperti pajangan. Beraneka ragam fitur dan aplikasi untuk berkomunikasi di telepon seluler sudah lama menggusur kegunaan telepon rumah. Emily bahkan sudah lupa kapan terakhir dia mendengar telepon itu berdering.

Namun pagi itu, telepon itu mendadak berdering. Dan perut Emily mendadak mulas, firasatnya mengatakan bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C5
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login