Download App

Chapter 17: Bab 17.Ajakan Kencan

-Terjebak Menjadi Simpanan-

"Aku masih di rumah. Memangnya kenapa?" ucap Kirana sembari merapatkan hoodie oversize miliknya. Dingin. Hujan lebat turun sejak subuh tadi. Mengguyur bersama angin seperti badai.

Kirana menyelipkan ponsel di antara telinga dan bahunya. Sementara tangannya menggapai-gapai tas kecil. Nita menghubunginya tiba-tiba, membuat waktunya terbatas untuk bersiap untuk berangkat kerja.

"kau masih di rumah? Kakamu juga? Apa kalian terjebak hujan?" suara Nita terdengar dari seberang sana, tampak khawatir.

"Tidak, bukan begitu. Kak Nita sudah berangkat sejak subuh. Aku bahkan tidak tau kapan itu. Dia hanya meninggalkan catatan kecil dan juga sarapan yang sudah dingin, seperti biasa. Aku hanya terlambat bangun."

"Oh, kau naik bis?"

"Ya. Memangnya apa lagi."

Kirana mendengar kekehan kecil dari ponselnya. Wanita itu menghela nafas panjang. "Kenapa menghubungiku? Apa aku sudah terlambat?"

Kirana melirik arlojinya. Meski ia bangun kesiangan tapi masih ada waktu sampai ke restoran. Sebelum ia benar-benar akan terlambat.

"Tidak, bukan itu." Nita menghentikan ucapannya beberapa saat. Wanita itu seperti berfikir sebelum helaan napas kecil terdengar.

Kirana mengambil sepatunya. Berbalik ke belakang untuk memastikan keadaan rumahnya sudah siap untuk ditinggalkan. Lampu mati, dan jendela sudah terkunci dengan benar.

"Pagi ini para pelayan restoran semuanya heboh. Kau tau apa sebabnya?"

Kirana mengerutkan alisnya dan mengeling. "Tidak."

"Bos kita belum datang." Nita berseru heboh.

Kirana menghentikan langkahnya. Wanita itu nyaris membuka pintu depan ketika suara antusias Nita berdenging di telinganya. Wanita itu refleks menjauhkan ponsel dari telinganya beberapa saat.

'Suara itu nyaris memecahkan gendang telinganya.'

Kirana terkekeh pelan. Wanita itu berpikir sebentar. Hal pertama yang membuat sahabatnya itu antusias. Walaupun biasanya ia tidak terlalu menanggapi tentang kebiasaan aneh bos mereka.

"Aneh bukan? Kau juga merasa aneh kan?"

Kirana mengangguk kecil, ia membenarkan. Bos mereka selalu datang paling awal, dan pulang paling akhir. Tidak ada yang mengetahui seperti apa bos mereka itu datang dan pulang. Tidak ada jejak, sampai rumor mengatakan jika bos mereka itu berteleportasi.

"Mungkin karena hujan."

"Yang benar saja. Memangnya bos kita tidak punya payung apa." Nita menjawab dengan cepat.

Kirana hanya mengangkat bahunya. Ia sama sekali tidak peduli.

"Sudah ya, aku berangkat dulu. Nanti telat."

Setelah mengatakan itu Kirana mematikan panggilan Nita. Ia mengambil satu payung, membuka pintu kemudian menutupnya rapat-rapat.

"Kirana."

Degh ....

Kirana berbalik. Wanita itu melotot ketika menemukan mobil Rafael tepat di depan rumahnya. Laki-laki itu berteriak keras dari dalam mobil, membuat air hujan sedikit tidak masuk di sela-sela kaca yang terbuka.

Rafael turun dari mobilnya. Memakai payung dan berlari menghampiri Kirana yang berdiri di teras.

"Naiklah. Aku antar ke restoran." Rafael berseru lagi.

Kirana tidak langsung menjawab. Wanita itu terdiam sambil berpikir. Rasa kesalnya masih belum hilang, kecurigaannya juga belum usai.

"Please, kau akan kehujanan jika tidak pakai mobil."

"Bukan urusanmu." Kirana membuka payungnya.

Tawaran sang kekasih membuatnya semakin kesal. Tingkah Rafael seolah menegaskan jika laki-laki itu sama sekali tidak peduli dengan pertengkaran mereka, tentang aroma parfume dan juga ketidak jujurannya.

Shitt!

Rafael mengusap rambut basahnnya dengan cepat mengenakan sebelah tangan. Ia mengejar Kirana sebelum wanita itu menghilang dari pandangan.

"Kirana! Kirana, please."

Rafael berhasil menarik lengan kekasihnya. Membuat wanita itu tersentak kaget dan menjatuhkan payungnya.

Tetesan hujan dengan cepat membasahi. Rafael menarik Kirana segra ke dalam payungnya.

"K-kau! Apa yang kau lakukan!"

"Aku akan mengantarmu, tolong Kirana jangan keras kepala. Aku tau kau membenciku, tapi aku tidak ingin kau sakit hanya karena kehujanan. Please, biarkan aku mengantarmu." Rafael berseru lembut.

Setelah berpikir, Kirana akhirnya setuju. Rafael tersenyum penuh kemenangan. Laki-laki itu membukakan pintunya, sebelum ia sendiri duduk di kursi kemudi.

"Apa pemanasnya perlu ditambahkan?" Rafael bertanya.

"Tidak perlu."

"Apa kursinya terasa nyaman, atau kau-"

"Rafael!" Kirana nyaris berteriak. Wanita itu menatap nanar ke arah sang kekasih. "Tolong, jalan saja," serunya.

Rafael menghela palan, tersenyum sebelum ia mengangguk.

Mobil hitam itu melaju dengan cepat, membelah derasnya hujan. Tidak ada yang bicara selain Rafael yang berceloteh mengenai hal-hal yang tidak penting.

Kirana hanya diam mendengarkan. Pandangannya lurus ke depan. Menatap wiper kaca mobil yang bergerak kaca dari percikan air hujan. Sesekali menghela nafas panjang.

Kirana tidak tau berapa lama mobil itu melaju sampai perlahan memelan dan berhenti.

Kirana menoleh. Mereka sudah berada di depan restoran tempatnya bekerja. Hujan masih mendera dengan derasnya.

"Bisa kita bicara sebentar." Rafael berseru ketika Kirana nyaris menyentuh pintu mobil.

"Kau salah paham tentang tadi malam," lanjutnya.

Rafael berseru dengan lembut. Pandangannya tampak sayu. "Jangan mendiamiku. Jika aku salah aku minta maaf, please Kirana. Aku gak bisa hidup jika kamu membenciku."

Degh ...

Rafael selalu bisa membuat kemarahannya mereda. Tapi kali ini Kirana merasa ragu. Walau pada akhirnya ia bisa menerima kembali sang kekasih.

'Jika ia tidak bisa membuat kekasihnya mengaku dengan suka rela. Maka ia akan menyelidikinya secara diam-diam.'

Kirana menghela nafas panjang. Wanita itu mengangguk, kemudian berbalik berniat keluar dari mobil.

"Kau memaafkanku?"

"Bisa tolong buka kuncinya. Aku sudah terlambat Raf."

"Tunggu, kau sudah memaafkanku kan? Kirana?"

"Hn... "

"Sungguh?"

Kirana menggeram pelan. Dahinya mengerut. "Jika kau bertanya lagi aku akan menarik kembali maafku."

"Jangan." Rafael mengangkat kedua tangannya. Tersenyum kecil. "Aku tidak akan bertanya lagi., sungguh."

Kirana tidak menggubrisnya. Wanita itu membuka pintu mobil dan juga payungnya.

"Kirana. Minggu nanti tidak sibuk kan?"

"Kenapa?"

"Ayo kita kencan."

Kirana mengedip-kedipkan matanya beberapa kali sebelum ia mengangguk kecil. "Akan ku usahakan."

Setelah mengatakan itu Kirana berlari dengan payungnya. Sementara Rafael menatap punggung kekasihnya dengan raut bersalah.

"Apa yang akan aku lakukan?"

Rafael memejamkan matanya. Menopang kedua tangannya di atas setiran.

Setelah beberapa detik, ia membuka matanya. Manik hitam itu menatap lurus ke depan. Hujan masih mengguyur. Tapi ia menangkap sosok lain yang baru saja memarkirkan mobilnya tidak jauh darinya.

Rafael mengerutkan dahinya. Laki-laki itu merasa mobil itu terkesan familiar.

Seorang laki-laki keluar dari mobil itu. Mengenakan payung biru malam dan bergegas berlari ke arah restoran.

Rafael masih terdiam di tempat yang sama. Laki-laki itu memeraih ponselnya. Menghubungi seseorang.

"Apa Kakamu ada di sini? Ah, maksudku apa tinggal di negara ini? Bukankah dia tinggal di luar negri?"

"Ah, ya kenapa?"

Rafael mengeling. Pandangannya tidak lepas dari sosok laki-laki yang diperhatikan sedari tadi.

"Rafael?"

"Tidak. Mungkin aku salah lihat." Rafael bergumam pelan. Setelah mengatakan itu ia langsung mematikan sambungan ponselnya.

Helaan nafas panjang terdengar. "Mereka terlihat mirip? Apa aku salah?"

To be continued....


Load failed, please RETRY

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C17
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login