Download App

Chapter 2: Permintaan Maaf

Bermacam-macam perasaan berkecamuk di hatiku. Antara marah karena sikap ketusnya, kelegaaan karena dia tak memaksaku untuk menginap di kediamannya, dan rasa sedih karena aku tak bisa sedikit lebih lama memeluk anak kecil yang kini sudah kembali tertidur pulas di pangkuanku.

"Kenapa kau tak mau tinggal saja di Jakarta? Kenapa kau memilih kembali ke sana? Kenapa? Tega kau!"

Ingin rasanya aku berteriak untuk menjawab pertanyaannya yang tiba-tiba. Namun, logikaku meminta agar aku menahan semua luapan emosi, apalagi Eizka begitu nyenyak dan damai tertidur di pangkuanku.

"Rossy! Tidak bisakah kita bicarakan soal itu tanpa ada Eizka? Kenapa, sih, kamu selalu saja membiarkan emosi menghilangkan kewarasanmu? Toh aku juga tidak sehari dua hari berada di Jakarta. Ada pekerjaan lain yang harus aku selesaikan di sini, selain bertemu denganmu-"

"Juga Nirina yang membuatmu menghilang sekian lama? Iya? Nirina yang body-nya semlohai aduhai. O, iyaa ... Aku ingat! Jangan-jangan kau meminta tidur di Mercure Ancol, hanya untuk mengenang semua tentang dia, karena dulu kau suka menghabiskan waktu menunggu sunrise di pantai bersamanya? Begitu, Dewangga Prabakusuma?"

Rossy memotong ucapanku dan tanpa basa basi dia menuduhku, atas semua yang sebenarnya tak pernah aku lakukan di masa lalu. Dengan berapi-api dia terus saja bicara tanpa mengindahkan keberadaan Eizka. Aku menutup telinga anak kecil berusia lima tahun itu dengan telapak tanganku. Aku tak ingin dia mendengar kemarahan ibunya yang membabi-buta.

Mobil berhenti di depan lobby Hotel Mercure. Perlahan-lahan, aku mengangkat dan memindahkan posisi Eizka, agar anak itu tak terbangun. Saat aku hendak membuka pintu ...

"Dewa, apa kau benar-benar tidak bisa memaafkan aku?"

Tanpa menjawab pertanyaan Rossy, aku membuka pintu dan berjalan ke arah belakang untuk membuka bagasi dan mengambil koper. Tanpa aku sadari, saat aku hendak berbalik, Rossy sudah berdiri di belakangku. Memeluk.

"Dewa, maafkan aku, Dewa. Tolong!"

Aku hanya bisa terdiam. Tak membalas pelukan Rossy. Tak ada satu pun kata yang ingin kuucapkan. Semua peristiwa tiba-tiba saja berkelindan di otakku.

"Dewa, tolong. Maafkan ak-"

"Ros! Ingat busana yang kau kenakan. Apa kau tidak malu jika orang-orang melihatmu memelukku seperti ini? Ayolah, Ross. Ini sudah larut malam. Kasihan Eizka. Dia lelah, butuh istirahat. Kita bisa bicara lagi esok hari."

Pelan, Rossy melepaskan pelukannya dariku. Air mata mengambang di pelupuk matanya. Aku tak tahu, jemariku begitu saja bergerak menghapus tetes air mata yang akhirnya tak mampu lagi dia bendung.

"Sudah, jangan menangis. Pulanglah, kasihan Eizka. Please!"

Aku tahu, hatinya pasti remuk redam saat mendengar aku mengucapkan kalimat itu. Namun, tak ada pilihan lain. Demi Eizka. Bocah itu sudah terlalu lelah untuk menunggu drama ini selesai.

"Aku jemput kamu pagi-pagi, ya. Kabari aku di kamar berapa kau-"

"Iya, aku akan mengabarimu. Sekarang, pulanglah. Tolong, jaga Eizka dan juga dirimu baik-baik."

Aku memotong ucapan Rossy. Wanita itu terdiam. Tangannya perlahan bergerak. Jemarinya dengan lembut menyentuh jemariku. Aku termangu, saat dia menggenggam tanganku dan mengangkatnya. Aku langsung memejamkan mata, saat melihat Rossy menyingkap cadar yang dia kenakan dan mencium tanganku.

"Dewa, aku pamit."

Rossy segera berbalik dan melangkah dengan cepat. Aku tahu, dia menyeka air matanya ketika masuk ke dalam mobil. Memang, seharusnya semua tak harus menjadi seperti ini jika saja dulu dia tak melakukan kebodohan itu. Entahlah, aku sendiri tak juga mampu memahami. Aku hanya tahu, bahwa aku hanya bisa menjalani dan menggenapi takdir hidupku.

*****

"Jika setiamu berbalas sebuah pengkhianatan, relakan dan ikhlaskan semua yang telah terjadi dalam hubungan yang kamu jalani dan biarkan menjadi kenangan. Semesta sedang menuliskan kisah baru, untuk kebahagiaanmu."

*****

Lamat-lamat aku mendengar suara ponsel yang berbarengan dengan ketukan di pintu. Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kananku.

"Haah? Jam sembilan?"

Tanganku meraih ponsel yang berada di bawah bantal. Beberapa panggilan tak terjawab, ada juga pesan masuk di sana. Aku membuka satu per satu dan membacanya. Ketukan di pintu kembali terdengar saat aku hendak membalas sebuah pesan.

Dengan malas aku beranjak menuju ke pintu. Aku mengintip dari lubang kecil yang berada di pintu, tak ada siapa-siapa. Jika roomboy yang mengetuknya, pastilah dia akan memanggilku.

Saat aku berbalik hendak kembali ke ranjang, terdengar pintu diketuk kembali. Suara tawa seorang anak kecil terdengar dari luar. Segera saja aku membuka pintu.

"Eizka?"

Berdiri di depan pintu, seorang anak kecil yang tersenyum lebar. Lucu. Tanpa aku minta, dia segera menghambur ke dalam kamar, mencopot sepatunya lalu naik ke atas ranjang, dan melompat-lompat kegirangan di sana. Aku melongok ke luar dan menoleh ke kanan.

"Kenapa malah berdiri bersandar di dinding seperti itu? Masuklah."

Rossy terlihat hanya berdiri diam, bersandar di dinding. Wanita itu tak menoleh sama sekali ke arahku. Lalu dia berkata dengan perlahan.

"Pakai dulu bajumu, baru aku mau masuk ke kamar."

Tiba-tiba saja aku tersadar, bahwa sedari tadi aku bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek komprang. Tanpa menjawab, aku berbalik dan berjalan menuju ke kursi yang berada di sudut kamar. Kaosku tergeletak di sana bersama laptop yang masih terbuka dan menyala.

"Eizka mau main game? Om punya game tembak-tembakan seru, loh."

Anak itu menggeleng, dan meneruskan lagi keasyikannya melompat di atas ranjang. Selesai aku memakai kaos, aku berjalan keluar menghampiri Rossy yang masih saja tak mau masuk ke dalam kamar.

"Ros, masuklah. Temani Eizka. Aku mau mandi."

Wanita itu tak menjawab, berlalu begitu saja masuk ke dalam kamar. Saat dia melintas di depanku, aroma wangi yang sama yang pernah menemani malam-malam sepiku dahulu, semerbak tercium. Menusuk cuping hidungku.

Bergegas aku membuka koper dan mempersiapkan baju ganti yang akan aku pakai. Rossy hanya menatapku tanpa mengucap sepatah kata. Aku tak mempedulikannya dan segera masuk ke kamar mandi, terlupa menutup koperku.

Di bawah derasnya air yang mengucur dari shower, aku berdiri mematung. Benakku berpikir tentang semua yang terjadi selama ini dalam kehidupanku. Tentang cita-cita, cinta, pun segala sesuatu yang pada akhirnya berujung pada kepahitan. Termasuk tentang Rossy.

Kedatanganku yang utama ke Jakarta, bukanlah untuk menemuinya. Segala sesuatunya terjadi secara tiba-tiba dan tak aku pikirkan sebelumnya. Sehari sebelum penghujung tahun 2021, sebuah kabar bahagia aku terima.

Proposalku untuk mendirikan sebuah sanggar tari ternyata mendapatkan respons positif dari salah seorang pengusaha di Jakarta. Bahkan dia memintaku untuk segera datang dan membicarakan semuanya yang berkaitan dengan rencanaku.

Tanpa pikir panjang, aku pun segera memesan tiket pesawat untuk ke Jakarta. Aku pikir masalahku beres sampai di situ, dan aku segera bisa mewujudkan mimpiku untuk terus berkarya dan mendidik anak-anak yang kurang mampu. Tetapi ternyata tidak.

Semua itu hanyalah awal, dari terbukanya kembali luka yang selama ini coba kututupi. Luka yang bertahun-tahun lamanya tak juga mengering. Luka yang diakibatkan dari kebodohan seorang wanita yang pernah begitu aku cintai dalam hatiku. Rossy.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login