Download App

Chapter 3: Tekad Membara

Aku menunduk dan memejamkan mata. Jantungku berdenyut nyeri diiringi rasa sesak yang begitu menyiksa.

Aku menautkan jariku dan berdoa, semoga ia mendapat tempat yang indah di atas sana.

Sebuah tepukan pelan terasa di pundak kiriku, tidak perlu menoleh untuk melihat siapa yang berdiri di sampingku. Karena tentu saja ia adalah Bang Sayuti, satu-satunya orang yang tetap tinggal menemaniku melepas kepergian ibu.

Kubuka perlahan mata ini sembari menguatkan hati dan tekad untuk membalaskan dendamku.

Aku berdiri si depan makam ibu yang terlihat indah dihiasi bunga berbagai warna.

Kematianmu yang tidak adil ini akan kubalaskan, Nyonya Carolyn.

"Bang!" panggilku pelan.

"Hum?"

"Ada kabar terbaru?"

"Kita udah periksa semua CCTV, tapi sayangnya yang berpotensi ngerekam kejadian kemaren udah di rusak sama mereka."

"Periksa CCTV di jalan raya, Bang!"

Bang Sayuti hanya berdeham pelan sambil mengangguk menanggapi ucapanku.

"Setelah tahu siapa pelakunya, apa yang bakalan lo lakuin?" tanya Bang Sayuti sambil menatapku lekat-lekat.

Apa yang akan kulakukan? Haruskah aku membunuh mereka? Ah, tidak. Aku tidak boleh melakukannya semudah itu.

"Gue akan menyeret mereka ke neraka terlebih dulu."

"Jangan kotorin tangan lo, biar kami yang narik pelatuk buat habisin mereka!"

Aku tersenyum tipis, jika mereka saja sanggup menodai gaun indah ibuku dengan darah, kenapa aku harus menahan diri untuk mengotori tangan untuk menghabisi mereka?

Ayolah.

"Gue curiga ini perbuatan si Al," gumam Bang Sayuti.

Aku menghela napas berat dan menatap Bang Sayuti nanar.

"Ah, Elang Harpy? Kenapa? Apa untungnya membunuh seorang wanita?"

"Dia pasti mau menggertak bokap lo!"

"Banci!" teriakku marah.

Sekali lagi Bang Sayuti menepuk pelan pundakku.

"Gue harus bales kematian nyokap, lo mau bantuin gue, 'kan Bang?"

"Tentu! Gue bisa jadi mata dan tangan lo!"

Aku mengangguk pelan, jika benar Al yang ada dibalik ini semua, aku yang akan menghabisinya dengan tanganku sendiri.

***

Sudah sebulan berlalu dari hari kematian ibu, namun agaknya Bang Sayuti masih kesulitan menemukan pelakunya. Pelakunya pastilah musuh dari Elang Hitam, siapa lagi yang bisa melakukan sesuatu seperti ini?

Aku harus turun dan masuk ke dalam organisasi agar bisa menemukan pembunuh itu. Tidak akan kubiarkan mereka bernapas dengan tenang setelah apa yang mereka lakukan.

Ayah meletakkan beberapa dokumen di hadapanku. Ia lalu duduk dan menatapku dalam diam.

"Aku senang, akhirnya kau mau terlibat ke dalam organisasi kita. Aku menaruh harapan besar padamu, Nak!" kata ayah pelan.

Aku bisa melihat senyum tipis di wajahnya.

"Jangan salah paham. Aku harus melakukan ini untuk menemukan pembunuh ibuku! Sepertinya, Anda tidak menaruh perhatian pada itu, jadi aku yang akan mencarinya sendiri," ucapku pelan.

Ayah mengambil napas dalam dan mengeluarkannya perlahan.

"Mereka bukan orang biasa, kami tidak bisa menemukan jejak mereka."

Kenapa itu terdengar seperti alasan yang dibuat-buat? Seharusnya dia melakukan apa pun untuk menemukan pembunuh istrinya. Tapi selama ini yang kulihat, dia hanya fokus kepada organisasi ini.

Untuk apa ini semua? Ingin menjadi sekaya apa dia? Apa dia akan membawa seluruh hartanya saat mati nanti?

"Aku tahu, kau pasti sangat terluka. Aku berjanji akan menemukan pembunuhnya! Kau fokus saja mempelajari semuanya. Kau adalah penggantiku, kau tahu itu?"

Pengganti? Aku benar-benar muak.

"Lupakan, akan kutemukan mereka dengan caraku sendiri. Katakan saja mana yang harus kupelajari, mana yang bisa membawaku bertemu dengan Al!"

Ayah menyodorkan sebuah buku dan beberapa flasdisk berisi dokumen kerjasama antara kami dan Elang Harpy.

Aku membuka buku itu, dan langsung menutupnya kembali setelah membaca halaman pertama.

Ah, memasok dan mengedarkan narkoba.

"Sayuti akan membantumu," kata ayah pelan.

"Aku pergi!"

Aku langsung beranjak meninggalkan ruangan ayah setelah memasukkan buku dan flashdisk itu ke dalam tasku.

Aku tidak tahan berlama-lama di ruangan itu dengannya. Aku tidak tahan dengan rasa kecewa ini.

Kulangkahkan kakiku gontai keluar dari rumah. Saat ini aku memang lebih memilih tinggal di apartment kecil daripada harus tinggal di rumah mewah penuh dengan luka itu.

Melihat rumah ini hanya akan mengingatkanku pada kejadian sebulan yang lalu, saat aku yang lemah ini hanya bisa terdiam menyaksikan ibuku dibunuh.

***

Aku berdiri di depan gerbang SMA Elang. Aku harus menjadi lebih kuat agar bisa berhadapan dengan para pembunuh itu, jadi akan kumulai dari sini.

Aku harus menguji kekuatanku, seberapa kuat diriku ini.

Kulangkahkan kaki ini memasuki gerbang. Aku tahu, banyak petarung andal di sekolah ini. Jika aku bisa mengalahkan mereka, kurasa aku akan cukup mampu berhadapan dengan pembunuh itu nanti.

Memang lebih mudah menarik pelatuk pistol daripada bertarung secara langsung. Akan tetapi, bukankah mati seperti itu terlalu mudah? Aku harus memastikan dia merasakan luka di setiap darah yang akan keluar dari tubuhnya nanti.

Aku memasuki ruang kelas 3. Targetku di sini adalah Bagus. Dia adalah leader dari kelompok yang terkuat di kelas 3.

"Mana yang namanya Bagus?" teriakku yang membuat kelas hening seketika.

Segerombol pria menghampiriku dan menilik penampilanku dengan tawa tertahan.

Apa ini pertama kalinya mereka melihat pria tampan?

"Ada urusan apa lo sama gue?" seorang pria menghampiriku lalu duduk di bangku tepat di hadapanku.

"Gue denger lo yang terkuat, gue datang buat memastikan sekuat apa lo itu!" sahutku asal.

Bagus tertawa remeh.

"Dilihat dari penampilan lo, sepertinya lo itu anak orang kaya. Balik sana! Gue gak suka kalo harus berurusan sama orang tua lo nantinya."

Sial, apa dia pikir aku anak manja karena aku kaya?

"Sekalipun gue mati di tangan lo, gue pastiin ga akan ada yang datengin lo buat minta pertanggungjawaban!"

Senyum di wajah Bagus langsung lenyap, digantikan seringaian menyebalkan yang membuatku naik pitam. Aku paling benci diremehkan.

"Jangan buang-buang waktu lagi!" seruku lalu melompat dan menghantamkan tinjuku pada wajahnya.

Semua orang langsung menyingkir dari dekat kami dan memperhatikan dalam diam.

Bagus tertawa, ia lalu menghampiriku dan mulai menyerangku. Gerakannya sangat cepat, tenaganya cukup mengagumkan, tapi ini belum cukup.

Aku menangkis tinju Bagus dan membalikkan keadaan, mengunci bahunya lalu menekan tubuhnya ke dinding.

"Lo, lumayan juga!" ucap Bagus pelan.

Bagus menggerakan kakinya dan menendang pada titik lemahku, membuatku kehilangan keseimbangan lalu melepaskan kuncianku. Serangan pria itu datang lagi bahkan sebelum aku mengatur keseimbanganku.

Aku mencoba menghindari setiap serangannya sebisaku, hingga aku tersudut dan satu-satunya yang bisa kulakukan adalah menghantamnya dengan meja di dekatku.

Meja itu hancur setelah menghantam tubuh Bagus, namun anehnya, pria itu tidak merasa kesakitan sama sekali.

"Jangan bercanda! Lawan yang bener!" sentaknya dengan tatapan mematikan.

Baiklah, jangan jadi pecundang. Buat dia bertekuk lutut.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C3
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login