Download App

Chapter 2: Mata Keranjang

Tepat hari ini, hari dimana aku menginjakan pertama kali pada sekolah baru. Suasana baru, wajah baru, serta aku harapkan ada ilmu baru yang mampu aku temukan untuk dijadikan bekal di masa depan.

Bersama dengan beberapa teman dari sekolah lama, kami bersama memasuki sekolah untuk melakukan bimbingan pertama. Semua siswa ataupun siswi baru sudah pasti masuk tiga hari lebih awal daripada siswa serta siswi lama.

"Kamu dapat kelas apa?" tanya Ifta.

"Aku kelas B,"

"Widih, kita satu kelas," ujar Dudin yang juga menyimak.

"Aduh, ngapain harus satu kelas sama kamu lagi?" ujarku seakan menyesal jika harus satu kelas kembali dengan Dudin.

"Hih! Ngapain? Bosen? Oke, nanti kita berjauhan duduknya. Eh, ngomong-ngomong, si itu juga kelas B hlo?"

"Siapa?"

"Mantanmu itu hlo ... wkwkwk,"

"Haish, Tri maksudmu?"

"Ya iya ... siapa lagi kalau bukan dia, wkwkwk," Dudin terkekeh melihat wajahku yang memperlihatkan ketidak enakan mendengar nama Tri.

Ya, dia adalah perempuan yang sempat tinggal dalam perasaan. Tidak sih menurutku, aku tidak sepenuhnya menggunakan perasaan saat berhubungan dengan dirinya. Hanya saja, aku memacari dirinya karena teman-teman kakak kelasku hampir semua mempunyai pacar. Aku sendiri yang sendiri. Wajar saja, pikiranku kala itu masih terbilang kanak-kanak dan sifat ingin seperti teman-teman yang lain masih tumbuh hadir.

"Ngapain kemarin putus? Kalau saja masih mempunyai hubungan sampai saat ini, lumayan,'kan satu kelas lagi? Hahaha," Ifta mulai ikut nimbrung membahas Tri.

"Haish, ngomong apa kamu! Enggak, aku juga tidak sepenuhnya memakai rasa dengan dirinya. Nyatanya sekarang malah benci rasanya," ujarku dengan nada agak tinggi.

"Eh, ini nih yang enggak bagus. Ingat, kita tidak boleh membenci siapa saja, tidak baik itu ... apalagi, memutus tali silaturahmi, Masya Alloh ..." Dudin dengan nada khas agamisnya keluar dengan sangat lancar.

Memang, notabe dirinya yang didik dalam keluarga anak pondok pesantren, rasanya terlihat jelas dari tutur kata serta sikapnya.

"Nah ini, gue setuju sama Dudin," Ifta mengacungkan dua jempol sambil beranjak dari duduk dengan riang.

"Oiy! Ngapain malah sampai dia lagi? Kalian tahu enggak? Kenapa dahulu aku macarin dia?"

"Iya enggak tahu, itu kan urusan hatimu,"

"Karena cuma ingin pacaran kayak teman yang lain saja. Tidak lebih, tidak kurang,"

"Heleh, enggak mungkin. Kalau memang seperti itu kenyataannya, kenapa kamu sekarang tiba-tiba benci begitu saja? Sangat tidak bisa diterima oleh akal pikiran," Ifta menimpali.

Saat kami sedang asyik mendebatkan sosok perempuan yang katanya adalah mantan itu. Jedi tiba-tiba ikut nimbrung diantara kami.

"Oiy! Cantik-cantik banget dah wanitanya, bukan main ..." Jedi menggeleng-gelengkan kepala sambil sesekali menunjuk perempuan yang berlalu lalang dihadapan mereka.

"Eh busyet! Kayak enggak pernah lihat perempuan aja. Darimana, lu, Jed?" tanya Dudin sambil menatap arah jari telunjuk yang diacungkan oleh Jedi.

"Hadeh! Sok-sokan bilang enggak pernah lihat perempuan, malah ikutan memandang. Tanpa berkedip sisan!" ujar Jedi sambil menepuk jidat milik Dudin.

"Wkwkwk, enggak tahu tuh orang! Jomblo karena keadaan. Bukan karena dalil seperti yang sering diucapkan, hahahaha," Ifta berkata yang membuat kami semua juga ikut tertawa.

"Dapet kelas apa kamu, Jed?"

"Kelas D aku, Li. Bagaimana dengan kalian?"

"Gue kelas I, lumayan kelasnya di bawah. Enggak usah susah-susah naik ke lantai tiga, wkwkwk,"

Jedi hanya mangut-mangut sambil menanyai satu persatu diantara kami.

"Lu, kelas apa, Din?"

"Tuh satu kelas lagi sama Ali. Bosen sebenarnya aku, andaikata boleh protes, aku ingin meminta pindah sekarang, wkwkwk," Dudin dengan gaya sok-sokan.

"Idih, awas aja lu kalau besok tiba-tiba minta diajarin pelajaran ini itu kalau enggak bisa," ujarku sambil memalingkan wajah.

"Aaa, jangan begitu. Aku tuh rapuh Mas Ali, soal semua ini," terang Dudin dengan nada mengejek.

"Eh, Jed, si Tri juga satu kelas sama tuh si Ali, gimana? Sabi enggak tuh? Akan ada cerita lama bersemi kembali ini! Wkwkwk," Ifta memancing Jedi untuk juga ikut mengompori soal hubunganku dengan Tri yang pernah terjalin.

Jedi hanya tersenyum, mula-mula dia menatapku sebelum akhirnya juga buka suara.

"Eh iya? Beneran? Ciee ... ciee, wkwkwk,"

Aku hanya cengingiran melihat tingkah mereka bertiga. Bagaimana tidak? Satu dilawan tiga, dan aku hanya senyam-senyum sendiri menanggung malu dari tatapan siswa-siswi lain yang sesekali juga menatap riuh keramaian kami.

"Jed, jed ... tuh lihat, cantik bener dah!" ujarku mencoba mengalihkan perhatian.

"Mana mana?" kepalanya menengok kearah dimana aku menunjukan jariku, matanya celalatan tajam mencari perempuan yang aku maksud.

"Itu, tuh!"

Ifta dan Dudin juga ikut mencari perempuan yang aku maksud.

"Mana sih? Itu maksudmu? Yang pakai hijab itu?" Jedi menatapku sambil meminta persetujuan kebenaran.

Aku hanya mengangguk saja. Padahal, dalam kenyataannya, aku juga tidak tahu yang aku tunjuk siapa. Hanya ingin mengalihkan pembicaraan soal sosok Tri, tidak lain.

"Eh, beneran cantik sih. Gimana menurut tanggapan Bapak Ustad Dudin?"

"Oke, sebelumnya Assalamualaikum. Dengan salam aku mengucapkan, dia enggak cuma cantik, tapi pakai banget ..." ujar Dudin dengan ciri khasnya.

"Emang Ali ini. Matanya tajam amat ama begituan," tutur Jedi dengan mantap.

Tidak merasa saja kalau dirinya yang sebenarnya lebih tajam soal pandangan terhadap paras manis dari lawan jenis.

Aku hanya kembali tersenyum, setidaknya peralihan perhatianku berhasil. Mereka seakan lupa begitu saja tentang pembahasan Tri.

"Eh, bro. Gue itu masih bingung,"

"Ngapain? Pegangan kalau bingung, wkwkwk," Ifta menimpali Jedi yang sedang berujar.

"Etdah ini anak! Lama-lama gue sampar tuh muka!"

"Wkwkwk, selow selow, woles ... tenang sayang. Gimana, gimana? Bingung ngapain?"

Aku dan Dudin hanya menyimak tingkah mereka. Menjadi pemandangan hal yang tak asing lagi bagi kami berdua. Jedi dan Ifta, layaknya kartun tom dan jerry yang tidak pernah ada akurnya.

"Kalau malam tuh ya? Gimana sih ngucapin tidur buat si doi, biar kelihatan lebih mengena gitu?" Jedi bertanya dengan mata yang masih saja jelalatan melihat suasana sekitar.

"Hmm, gimana Mas Dudin? Mungkin bisa ngasih saran?" Ifta sambil mangut-mangut dengan penuh keseriusan.

"Hmmm, saya kurang paham. Mungkin dengan beliau Mas Ali? Ada saran?"

Tingkah yang tak akan pernah aku lupa dari mereka semua. Seolah sederhana tapi mengundang tawa sebenarnya dalam batin. Tingkah mereka, gaya mereka menirukan detektif yang seolah meminta sebuah penjelasan.

"Bagimana bagaiamana? Memangnya kamu sering ngucapin gimana?" tanyaku seolah seperti pakar dalam hal demikian.

"Ya gitu ... gimana ya? Palingan cuma ngingetin. Jangan lupa baca doa, mimpi indah ya?"

"Hmmm, nanti diganti," ujarku dengan penuh keseriusan meniru gaya Dudin dan Ifta.

Jedi hanya menggerakan kepalanya menanti jawaban apa yang akan diberikan olehku.

"Nanti jangan pakai kata indah lagi. Kasian suaminya, karena dia kemarin baru saja nikah, masak harus datang ke mimpi doimu setiap malam," ucapku dengan keseriusan.

Mengundang tawa renyah bagi Dudin dan Ifta yang mendengar. Mereka paham, dan mereka tertawa sambil menepuk kaki masing-masing. Sedang, Jedi masih bingung kurang paham dengan apa yang aku maksud.

"Eh, ngapain sih? Malah tertawa? Maksudnya apa?"

Aku hanya cekikikan melihat Jedi yang terlihat masih bingung menanggapi apa yang baru saja aku katakan. Aku juga ikut tertawa saja melihat tawa renyah dari Ifta dan Dudin.

"Ahahaha, sae lu tong! Wkwkwk," Dudin mengusap-usap pundaku diikuti Ifta yang tidak bisa berkata apa-apa selain tertawa.

Sebelum akhirnya, pengumuman terdengar agar semua siswa siswi segera masuk ke aula dengan pembagian kelas yang telah ditentukan. Mereda tawa yang sangat renyah sekali kami dengar.

"Hahaha, udah yok! Masuk, sudah di halo halo itu, wkwkwk" ajaku sambil beranjak.

"Hahahaha, oke-oke, ayo. Bisa saja lu, wkwkwk," Ifta tidak bisa menghentikan tawanya sambil juga ikut beranjak.

Jedi seperti orang yang linglung melihat tawa kami. Dia menggaruk-garuk kepala tanpa bisa berkata apa-apa. Hanya cengingisan belum sepenuhnya menangkap maksud apa yang aku utarakan. Hingga sampai akhirnya pula, dia ikut beranjak mengikuti kami bertiga menuju aula sekolah.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login