Download App
68.75% DEWI KEMATIAN

Chapter 11: Perundungan

Yita baru saja keluar dari rumah Bu Neni. Ia ingin membantu membersihkan halaman pagi ini. Namun, Bu Neni segera menghampiri.

"Jangan lakukan pekerjaan apa pun di sini, Yita. Kamu harus bersiap ke kampus pagi ini 'kan?" tanya Bu Neni perhatian.

Gadis itu menggeleng. "Tidak, Bu. Saya di­­skors­," ungkap Yita sembari tersenyum.

"Kenapa, Yit?" Bu Neni menjadi khawatir.

"Karena kasus yang sedang di alami oleh Bunda, Bu." Yita berusaha berbesar hati saat mengatakannya di depan Neni. Tak ingiin orang lain tahu, betapa sekarang dirinya sudah kehilangan asa akan kehidupan dan masa depan yang cerah.

"Ya Tuhan, Yita. Kamu yang sabar, ya. Ibu turut bersedih dengan apa yang telah menimpa keluarga kalian."

Yita hanya tersenyum masam. Ia menyembunyikan duka itu di balik wajah yang ditundukkan, sebab tak ingin membebani sosok yang sudah baik kepadanya.

"Jika ada hal yang bisa ibu bantu, katakan saja. Ibu takkan sungkan untuk melakukannya." Ketulusan terdengar dengan jelas dari ucapan itu, Bu Neni memang orang yang baik sekali.

"Ibu sudah cukup membantu saya, karena telah memberikan kami tempat tinggal sampai garis polisi dilepaskan dari rumah kami. Saya dan Ina sudah sangat terselamatkan sekali, Bu." Yita mengungkapkan perasaan yang ia pendam untuk istri Pak RT kompleks mereka.

"Kalian ini anak-anak yang baik. Sudah selayaknya Ibu membantu. Anindya dan Teja juga warga yang sangat baik sekali di komplek ini."

Yita hanya menganggukkan kepala. Ia sudah kehabisan kata-kata untuk menjawab segala ucapan yang dilontarkan ole Bu Neni.

Tak lama Ina keluar dari dalam rumah. Ia hendak pergi ke sekolah. Gadis kecil itu pun mendekati Yita yang tengah mengobrol dengan Bu Neni, di halaman depan.

"Saya permisi dulu, ya, Bu. Mau mengantar Ina ke sekolah."

"Iya, silakan, Yit."

Sebelum berangkat Ina pun menyalami Bu Neni seperti yang ia lakukan juga kepada kakak dan orang tuanya.

Sepanjang perjalanan, tak banyak yang mereka bicarakan. Bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada. Ina menjadi lebih pendiam. Setiap kali Yita bertanya, gadis kecil itu hanya menjawab dengan gelengan atau anggukan.

"Ina, kalau ada apa-apa di sekolah. Segera beritahu Kakak, ya." Ini pesan yang disampaikan oleh Yita sebelum adiknya masuk ke dalam gerbang sekolah.

Ina hanya mengangguk lesu. Ia lantas meraih tangan Yita lalu menempelkann punggungnya di dahi. Kemudian gadis kecil itu pun membalik tubuh, perlahan melangkah masuk dengan kepala yang ditundukkan.

Yita merasa tidak tenang, sehingga ia pun memutuskan untuk menunggu di luar pagar sekolah adiknya. Sebagai seorang Kakak, Yita tidak ingin melihat adiknya diperlakukan secara tidak baik oleh orang lain, siapa pun dia.

Hanya berselang lima menit saja. Sudah terdengar keriuhan di lapangan sekolah itu.

"Anak pembunuh, anak pembunuh." Gerombolan siswa-siswi yang mengenakan seragam sama dengan Ina tengah bersorak bersama-sama. Mereka mengelilingi satu orang, yang tak lain adalah Ina. Yita menajamkan penglihatan. Ia mengintip dari balik pagar yang masih belum dikunci.

Melihat adiknya duduk meringkuk sambil menutup wajah dengan kedua lengan, gadis itu pun berlari menerobos satpam yang menghalangi.

"Orang tua atau kakak siswa hanya boleh mengantar sampai di sini!" sergah satpam yang mencegat.

"Bagaimana bisa anda membiarkan anak-anak itu merundung siswa lainnya?" Yita pun tidak kalah garang. Ia menepis keras tangan satpam yang menarik lengannya sebelum berhasil lolos ke arah lapangan.

"Mereka hanya sedang bermain. Mohon jangan membuat kekacauan di sini."

Yita tidak peduli. Ia memutuskan untuk berlari dengan kencang ke arah lapangan. Satpam yang berjaga pun mengejarnya. Gadis itu melempar anak-anak yang sudah membuat adiknya ketakutan. Ia sama sekali tidak peduli bagaimana para bocah itu menangis karena terjatuh didorong kuat oleh Yita.

"Ina. Ayo bangun, Dek. Ini Kakak." Dengan perasaan yang remuk Yita mendekap adiknya erat. Gadis kecil itu sudah sesenggukan. Ia takut sekali dikatakan demikian oleh teman-temannya. Bagaimana mungkin, anak sekecil itu sanggup menahan lara yang sedahsyat ini.

Tak lama, teman-teman dari anak-anak yang dilempar oleh Yita tadi beramai-ramai memukul gadis itu. Hingga akhirnya satpam dan guru pun ikut andil membubarkan keramaian. Yita dan Ina diminta untuk masuk ke ruangan Kepala Sekolah.

"Saya sangat menyayangkan sikap demikian Yita. Sebagai Kakak seharusnya kamu mencontohkan perbuatan yang baik kepada adikmu. Bukannya seperti ini." Perempuan berperawakan sedikit tegang dengan tubuh yang bongsor itu berujar kepada Yita.

"Saya justru ingin melindungi adik saya, Bu," jawab Yita sembari menahan rintihan sakit di tubuhnya. Meski mereka masih anak-anak, tetapi pukulan dan tendangan yang dilayangkan cukup mampu mencederai punggung, hingga kepala Yita. Beberapa dari anak-anak itu bahkan menarik keras rambut Yita, hingga menyebabkan kepala gadis itu ditarik ke belakang.

"Melindungi Ina tidak dengan begini caranya. Kamu seharusnya melaporkan kejadian ini kepada satpam yang berwenang. Bukan main hakim sendiri seperti yang tadi kamu lakukan."

"Saya sudah melaporkan, tetapi dia mengatakan kalau anak-anak itu hanya main-main saja. Sementara Ina sudah menangis mendengar perundungan itu."

"Mereka tidak sedang merundung. Kau itu masih terlalu kecil untuk memahami situasi. Jangan terlalu terbawa perasaan Yita." Perempuan di balik meja itu seolah tutup mata atas kejadian yang menimpa Ina. Apakah ini bentuk dari sangsi sosial yang juga harus dialami oleh sang adik, sebab ibu mereka telah melakukan pembunuhan.

Pada akhirnya Yita hanya mampu menghela napas dalam. Ia tidak bisa menjawab ucapan dari orang-orang yang telah mengucilkan mereka secara perlahan-lahan.

"Ina tidak ingin sekolah lagi, Kak. Ayo kita pulang saja, bawa Ina bertemu sama Bunda." Rengekan Ina membuat Yita kesusahan untuk menahan tangisnya. Ia menitikkan air mata lalu memeluk sang adik erat. Mereka memilih keluar tanpa sepatah kata pun. Meski Kepala Sekolah itu memanggil bahkan dengan ancaman mengeluarkan Ina sekali pun, Yita tetap tidak menoleh.

Hujan turun di saat bersamaan kaki adik dan kakak itu melangkah keluar dari pagar sekolah Ina. Hanya sesal yang terasa kini, Yita masih tak bisa menyembunyikan tangis. Ia melangkah dengan air mata. Satu tangan terus menggenggam jemari Ina yang terasa lemah.

Tak lama tubuh Ina rebah. Yita buru-buru menyambutnya. Gadis kecil itu memucat di bawah guyuran hujan. Tubuhnya juga terasa panas meski dalam kondisi basah kuyup terkena rintikkan air.

"Ina, bangun, Dek. Katanya mau ketemu sama Bunda." Yita mengangkat tubuh adiknya untuk berteduh di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. Hujan yang disertai angin yang cukup kencang mulai menerjang. Yita tak ada pilihan selain tetap berada di bawah pohon itu.

Beberapa saat kemudian, sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam metalik berhenti tepat di depan mereka.

"Hei, ayo masuk. Adikmu butuh ke rumah sakit." Seorang pria tampan dengan seragam polisi melongok dari balik kaca jendela yang diturunkan.

***Next>>>


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C11
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login