Download App

Chapter 13: Benih Asmara

Devan langsung tersenyum melihat ekspresi Divya. "Benar, aku tidak mempunyai kekasih. Kalau seandainya aku menginginkan kamu menjadi kekasihku, bagaimana?"

Divya langsung tercengang ketika mendengar ucapan Devan. Namun, secepat mungkin pria itu menjelaskan bahwa ucapannya tadi hanya sekedar candaan saja. 

"Hm, saya pikir Bapak serius mengatakannya. Hahaha, saya jadi salah sangka, Pak," ungkap Divya tanpa rasa malu.

"Kamu pilihlah beberapa gaun yang ada di toko ini," titah Devan.

Divya langsung melebarkan pandangannya. "A–apa, Pak?"

"Ambil satu atau beberapa gaun yang ada di toko ini. Aku yang akan membayar tagihannya," jelas Devan kemudian.

Divya langsung menggaruk kepalanya, meskipun tidak merasa gatal. "Haha, maaf sebelumnya, Pak. Saya tidak—" 

Pria itu langsung menarik tangan Divya. "Sudah pilih saja! Jangan sungkan! Tempat ini semuanya punyaku. Jangan khawatir dengan tagihannya," ungkapan pria bertubuh atletis itu.

Karena Divya tidak kunjung bergerak. Akhirnya, Devan sendiri yang bertindak. Secara random ia langsung mengambil semua barang yang ada di hadapannya. Ia juga tidak memedulikan harga tiap barang yang sudah ia belikan kepada wanita tersebut. Ada rasa tidak enak hati yang Divya rasakan setelah menerima semua barang-barang mewah itu.

Setelah masuk ke dalam mobil, Divya segera mengungkapkan maksud hatinya. "Terima kasih banyak atas semuanya, Pak. Saya tidak tahu harus bagaimana membalas kebaikan Anda."

Devan langsung memusatkan pandangannya kepada Divya. "Divya, kamu tidak perlu memikirkan itu. Aku sudah menganggapmu sebagai temanku. Jadi, apapun itu akan aku lakukan untuk membuatmu merasa senang," ucap pria itu dengan lancar.

"Te–teman?" tanya Divya singkat.

"Hm, benar. Kamu tidak mau berteman dengan diriku?" tanya Devan balik.

"Woah, bukan seperti itu, Pak." Divya semakin salah tingkah.

"Jangan panggil aku dengan  sebutan Bapak, dong. Panggil aku dengan sebutan Devan saja. Jangan terlalu formal, aku ini juga seorang manusia biasa, Divya," ucap Devan seraya menatap balik wajah Divya dengan penuh makna.

"Baiklah, Pak. Hm, maksud saya Devan. Namun, saya merasa tidak biasa memanggil Anda dengan sebutan itu, Pak. Eh, Devan." Divya semakin salah tingkah.

Devan pun langsung tersenyum melihat raut wajah merah wanita yang ada di sebelahnya. "Santai saja, Divya. Aku tidak sekejam Raymond," ungkapnya.

Di balik kesenangan mereka, ada sosok yang sangat merasa khawatir dengan kebersamaan mereka. Raymond menjadi berpikir berlebihan setelah sampai ke dalam ruangannya. Ia terus menghubungi sekretarisnya. Namun, tampaknya Divya terlalu asyik berbincang dengan Devan di dalam mobil.

"Argh, kenapa dia tidak menjawab panggilanku? Aku sudah memanggilnya sampai dua kali! Wanita ini tampaknya begitu mudah dirayu, ya! Akan aku potong gajinya nanti! Awas saja," gerutu Raymond di dalam ruangannya.

TOK!

TOK! 

TOK!

"Permisi, Pak," panggil Luke dari luar ruangan.

"Masuk!" jawab Raymond dengan tegas.

Luke segera masuk ke dalam ruangan itu. Ia juga langsung tersenyum ketika melihat raut wajah gundah gulana sepupunya. Dengan santai, ia langsung meletakkan beberapa bungkusan yang sudah dipesan sesuai dengan permintaan Raymond. Dengan tajam, sang atasan mulai menatap kesal pria yang ada di hadapannya.

"Kenapa kamu menatap wajahku seperti itu?" tanya Luke dengan ramah.

Raymond langsung duduk di kursi kerjanya dengan kasar. "Kamu tahu? Kini sekretarisku sedang bersenang-senang dengan Devan! Entahlah, aku merasa bahwa wanita itu begitu liar dan sangat murahan! Dia sampai tidak mengangkat panggilanku sebanyak dua kali. Kamu bayangkan saja. Betapa kesalnya diriku melihat hal ini!" gerutu Raymond, ia sudah tidak bisa menahan emosinya lagi.

Luke langsung tertawa terbahak-bahak setelah mendengar celotehan sepunya. Raymond pun segera melemparkan berkas yang ada di hadapannya kepada pria itu. Ia merasa sangat kesal melihat ekspresi Luke.

"Hei, kenapa kamu malah menertawaiku? Memangnya ada yang lucu dari wajahku ini?" gerutu Raymond seraya menyilangkan kedua tanganya di depan dada.

"Hahaha, Ray! Kamu ini sebenarnya kenapa? Kenapa kamu merasa sangat marah ketika Divya jalan bersama dengan Devan? Jangan bilang kalau kamu mulai menyukai sekretaris menawanmu itu!" sentak Luke seraya melemparkan tatapan curiga kepada Raymond.

Raymond segera mengalihkan pandangannya. "Si–si–siapa bilang aku menyukai wanita itu? Aku sama sekali tidak menyukainya! Aku hanya tidak suka saja dia menjadi sesuka hatinya bolos dalam bekerja!" sangkalnya.

"Ah, Ray. Bolos sehari menurutku tidak menjadi masalah yang serius. Kamu juga harus memberinya waktu luang untuk bersenang-senang. Sudah beberapa hari, dia bekerja sangat keras untuk perusahaan ini. Bahkan, dia sudah berhasil dalam berapa proyek yang dulu belum pernah terlaksana. Seharusnya kamu jangan terlalu memforsir kinerjanya, Ray. Biarkan saja dia bersenang-senang dengan Devan di luar sana," papar Luke, ia juga ingin menguji perasaan Raymond.

Raymond kembali menatap wajah asistennya. "Benar juga yang dikatakan oleh Luke. Aku tidak bisa terus memaksanya untuk bekerja sangat keras. Dan kenapa aku menjadi semarah ini kepada dirinya? Hm, aku menjadi sangat khawatir dengan perasaanku sendiri," gerutunya di dalam hati. "Kamu sudah membeli barang yang aku perintahkan?" alih Raymond.

Luke segera meletakkan semua bungkusan berwarna coklat itu ke atas meja kerja Raymond. "Sudah sampai semuanya. Memangnya bingkisan ini untuk siapa?" Ia masih merasa sangat penasaran.

"Untuk Divya. Segera letakkan di dalam ruangannya," ungkap Raymond seraya kembali mengalihkan pandanganya.

Luke segera pergi dari sana dan meletakkan semua bungkusan di dalam ruangan Divya. Tidak lama kemudian, wanita yang sangat dicari oleh Raymond datang tanpa rasa beban. Ia pun merasa terperanjat ketika melihat beberapa bungkusan yang ada di dalam ruangan kerjanya. Netranya pun kembali menatap ke arah pintu masuk.

"Siapa yang sudah memberiku hadiah sebanyak ini?" tanyanya di dalam hati.

Ia kembali berjalan mendekati meja kerjanya. Ia merasa sangat kelimpungan dengan semua bingkisan yang ada di tangannya dan meja kerja.  Dengan sangat berhati-hati, ia mulai menyusun benda-benda itu dengan rapi di atas sofa. 

"Apakah bingkisan ini pemberian dari Raymond? Haha, aku terlalu banyak berharap. Jika, benar. Kenapa dia mengirimkan aku bingkisan sebanyak ini? Di dalamnya banyak sekali makanan dan pakaian." Divya kembali menutup semua bingkisan itu.

Ia mulai berjalan menuju ruangan CEO. Namun, Luke mencoba mencegahnya untuk masuk ke dalam sana. Pria yang sangat akrab dengan Raymond pun memerintahkan Divya untuk pulang dengan segera. Hal tersebut tentunya membuat wanita dengan berkostum bernuansa navy itu merasa kelimpungan.

"Kenapa kamu memerintahkan saya untuk segera pulang, Pak?" tanya Divya merasa sangat penasaran.

Luke langsung menarik tangan Divya untuk kembali masuk ke dalam ruangan. "Suasana hati atasan kita sedang buruk. Mending kamu pulang sekarang dan bawa semua bingkisan itu. Cepat, sebelum Pak Raymond melihat kehadiranmu di sini!" titah Luke seraya mencoba membantu Divya untuk membawa semua bingkisan itu.

Ketika ingin pergi, Raymond sudah terlebih dahulu melihat keberadaan Divya dari intaian kamera pengawas. Ia pun segera berjalan dan menemui sekretarisnya di ruangan sebelah. Sungguh terperangahnya Divya ketika melihat wajah tegas Raymond di depan pintu. Luke juga demikian, ia sampai melemparkan beberapa bingkisan yang ada di tangannya ke sembarang arah.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C13
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login