Download App

Chapter 2: Pelayan Istana Putra Mahkota

Ariel tampak terkejut dengan apa yang terjadi. Sungguh tadi itu, dia tidak bisa mengontrol diri. Dan juga Ariel bingung kenapa dia bisa membuat air naik dengan telapak tangannya.

"Apa itu tadi?" Telapak tangan Ariel masih seperti biasanya.

"Ariel!"

Agam berjalan keluar dari bak pemandian, dengan langkah pasti dia mendekat ke arah Ariel.

Tatapan sang kakak, yang seakan ingin memakannya membuat nyali Ariel ciut. Dia bergegas pergi dari sana.

Agam dan kemarahannya adalah perpaduan yang mengerikan.

"Anak sialan! Berani kau kabur dari ku!"

Agam tak lantas mengejar Ariel. Perasaanya sangat marah saat ini, hatinya sangat dongkol karena ulah pelayan yang menolak dirinya dan kedatangan Ariel yang mengganggu acaranya.

"Ariel, sialan!"

Dua pelayan yang berdiri di sekitar bak pemandian hanya bisa menunduk. Mereka tak berani karena suasana hati Agam sedang buruk.

"Awas kau, Ariel!"

***

Ariel berlari menuju taman bunga milik kerajaan. Gadis itu sesekali melihat ke belakang, saat di rasa kakaknya tak mengejar, Ariel memelankan laju kakinya.

Hamparan bunga yang sekarang layu itu menjadi pemandangan bagi Ariel. Dampak kekeringan yang panjang juga Ariel rasakan, taman bunga yang menjadi satu-satunya tempat favorit Ariel menjadi gersang.

"Ya Dewa, apa yang terjadi dengan tanganku?"

Bagaimana bisa, air itu terangkat seiring pergerakan tangan Ariel. Hal ini baru terjadi pertama kali dalam hidup Ariel. Apa ada yang salah dengan tubuhnya?

Dibuat bingung dengan apa yang terjadi. Sepertinya Ariel harus membuktikan, benarkah air tadi naik karena gerakan tangannya.

Ariel melihat sekitar, tidak ada air di sini. Jelas saja karena kemarau panjang telah melanda.

Sepertinya, Ariel harus pergi ke pemandian. Karena hanya di sana air berlimpah ruah.

***

"Apa? Gadis itu mati?"

Tabib istana mengangguk dengan sedikit ketakutan. Pria dengan topi khas tabib istana itu tak kuasa mendongakkan kepala.

Aura kemarahan sangat kentara pada wajah Agam.

"Hamba mohon maaf, Yang Mulia. Hamba sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan pelayan itu."

Brak!

Meja yang ada di samping tempat pemeriksaan menjadi sasaran kemarahan Agam. Benda yang ada di atas meja itu, berhamburan jatuh.

"Sialan! Menambah pekerjaanku saja!"

Tabib istana terus menundukkan kepala.

Agam melihat hal itu, bahkan tangan si tabib bergetar. Senyum kecil terbit di wajah Agam.

"Hei!"

Agam menarik dagu tabib itu, membuat tatapan si tabib berhadapan dengan Agam.

"Kau tentu masih ingin hidup, bukan?"

Tabib itu hanya bisa mengangguk. Dia ingin hidup lebih lama untuk mengabdikan dirinya pada istana ini.

"Kau tentu tahu siapa aku? Aku Agam Triton, penerus utama kerajaan Merida."

Anggukan kepala si tabib membuat Agam tak bisa menghentikan senyumannya. Ini terlalu mudah untuk diselesaikan.

"Masih ingin bekerja di istana ini, bukan?"

Si tabib tak menjawab. Pria itu hanya memilin ujung bajunya.

"Jawab! Bodoh!" Agam mendorong tabib itu sampai badannya hampir oleng.

"Ma-af, Yang Mulia. Sa-ya masih ingin bekerja di sini."

"Hem, bagus, kalau begitu rahasiakan penyebab kematiannya."

"La-lu saya harus berkata apa jika Baginda raja menanyakan hal ini?"

Agam berdecih. Lelaki dengan gelar putra mahkota itu jongkok untuk menyamakan tinggi tubuhnya dengan si tabib.

"Kalau mulutmu ini tidak bicara, Ayahku tidak mungkin tahu masalah ini. Dan jika ada yang bertanya cukup katakan dia jatuh di pemandian."

"Mengerti, kau!"

Si tabib hanya mengangguk. Melawan seorang Agam adalah masalah besar.

"Sudah sana, enyah kau dari hadapanku!"

Agam menepis wajah tabib yang ada di depannya. Dia berdiri seraya memperbaiki bajunya yang sedikit kusut.

"Pelayan!"

Gadis belia yang bekerja sebagai pelayan Agam datang tergopoh, berusaha menghapus jejak air matanya. Siapa yang tidak sedih melihat teman seperjuangan mati karena ulah sang majikan. Apa lagi, dia menyaksikan sendiri, bagaimana Agam menyiksa temannya.

Alis Agam mengerut.

"Kau, jika masalah ini sampai bocor ke orang lain. Orang pertama yang aku curigai adalah kau!"

"Huh, aku akan meminta Rendra untuk mengurus mayat gadis itu. Aku akan memberi santunan pada keluarganya, menuliskan surat berbela sungkawa. Dengan begitu, para rakyat jelata itu akan menyanjung kedermawananku. Lagi pula, mati di dalam istana adalah impian kalian!"

Agam tersenyum kecil. Ini adalah karma karena tidak menurut pada dirinya.

***

Kini Ariel sudah sampai di bak pemandian, bedanya ini khusus untuk para wanita istana.

Terlebih dahulu, Ariel memastikan jika tidak ada orang di sekitar sini. Aman, pasti para pelayan tidak akan ada yang mencari dirinya.

"Oke, mari kita buktikan! Apa aku yang membuat air tadi naik."

Dengan perlahan Ariel menaikkan tangannya. Dahinya mengernyit saat air yang ada di bak pemandian tidak bergerak.

"Coba sekali lagi."

Ariel memfokuskan diri. Tapi yang terjadi tetap sama, air itu tak bergerak.

"Jadi aku bukan penyebabnya. Huh, syukurlah. Tapi, apa yang membuat air itu naik?"

"Sudah Ratna, kita juga tidak bisa melakukan apa pun."

Ariel mendengar suara dari arah luar. Suara itu semakin dekat, membuat Ariel berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa yang datang.

"Tapi dia adalah temanku, aku dan dia sudah berjanji akan bersama untuk waktu yang lama. Setelah pengumuman itu, kita berjanji untuk saling menguatkan. Dan sekarang dia meregang nyawa di depanku, sungguh aku adalah teman yang tidak berguna."

Ariel mengintip. Dia melihat dua pelayan yang merupakan pelayan istana putra mahkota.

"Astaga!" Ariel menyadari apa yang sedang dibicarakan dua pelayan itu.

"Jangan bilang, kalau pelayan itu meninggal!" Suara lantang Ariel membuat pelayan tersebut kaget.

"Putri!"

Ariel berjalan mendekat. Dia menatap satu persatu gadis itu.

"Teman kalian akhirnya meninggal? Dia pelayan yang disiksa oleh Putra Mahkota?"

Dua pelayan itu hanya diam seraya menunduk.

***

"Putri, kami mohon. Tolong jangan adukan ini pada, Yang Mulia Raja!"

Ariel tak memedulikan kalimat yang dikatakan pelayan itu. Dia terus berjalan menuju istana raja.

Sepanjang perjalanan pelayan Agam berusaha untuk menghentikan Ariel.

"Ayah! Ayahanda!"

Dua pelayan itu panik bukan main. Apa lagi saat, Ariel berteriak memanggil sang raja. Kini mereka sampai di istana utama, tempat raja.

"Putri Ariel, kenapa Yang Mulia berteriak? Sebagai seorang wanita istana, Anda harus menjaga tingkah laku!"

Sang paman yang sedang ada urusan dengan raja menegur putri Ariel.

"Paman, di mana Ayahanda?"

"Yang Mulia, sedang rapat. Tolong tenanglah, Putri. Sebenarnya ada apa ini?"

Mendengar kata rapat, Ariel segera menuju ruang rapat. Dia membuka pintu besar yang ada di depannya, pengawal sudah berupaya untuk menghadang.

"Ayahanda!"

Sontak semua yang ada di ruang rapat melihat ke arah Ariel.

"Putri Ariel, ada apa ini?"

Ariel berjalan cepat menghadap sang raja, dia tidak peduli pada tatapan para menteri.

"Tamat riwayat kita. Putri Ariel pasti akan mengatakan ini pada Baginda Raja, dan kita akan dihukum oleh Yang Mulia Agam."


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login