Download App

Chapter 6: Hari Penjemputan

"Diam dan renungkan kesalahanmu." Hartanto mendorong Adara masuk ke kamarnya. Ia menutup pintu dengan keras lalu menguncinya dari luar.

"Ayah, kenapa tega sama Adara?" Adara berteriak, ia menggedor pintu kamarnya.

"Ayaaah …."

Hartanto termenung di depan kamar sang putri ketiga sejenak. Ada rasa tak tega menumbalkan sang anak demi uang. Muncul Siti Aminah, memegang pundak sang suami.

"Tenanglah, semua akan berjalan lancar sebagaimana mestinya. Tak usah mengkhawatirkan Adara. Ia akan hidup senang setelah ini."

Hanindya tersenyum ke arah Hartanto. Mereka berjalan ke kamar tidurnya. Jarum pendek jam di dinding sudah menunjuk ke arah angka dua belas. Cukup larut malam untuk keluarga itu menyelesaikan masalah. 

Setelah semua yang terjadi. Adara tak lagi menangis. Hatinya lebih kuat dari sebelumnya. Ia mendengar sendiri perkataan kedua orang tuanya. Tak ada yang mengasihaninya, apa lagi memikirkan tentang masa depan Adara. 

"Baiklah, kalian yang memilihkan jalan ini untukku. Akan kugunakan ini untuk membuktikam pada kalian Adara Aurelia Kurnia ini akan menjadi sosok berbeda. Kalian yang akan mengemis padaku suatu saat nanti. Ingat itu!"

Adara menatap pintu dan berkata seorang diri. Perlakuan tak adil dari keluarganya membuatnya bertekad untuk menuntut balas.

Ia melepas ransel di punggung. Merebahkan badan di atas ranjang. Bayangan pemuda tampan yang akan dijambret tadi melintas di pikirannya.

"Laki-laki tadi, kenapa aku lupa untuk menanyakan nama dan alamatnya? Siapa tahu bisa bertemu di kota? Ah, bodoh sekali aku ini."

Lintasan kejadian saat ia menyelamatkan si lelaki berputar di otaknya. Cahaya lampu penerangan jalan menerobos celah kaca jendela mobil. Antara terang dan gelap wajah di pangkuannya terlihat tegas juga tampan. Ia terpesona menatap wajah lelaki itu. 

"Umurnya mungkin mendekati tiga puluhan tahun. Gerakannya tenang, dan sikapnya penuh pertimbangan. Entah kenapa aku merasa dia sangat kesepian, ya?"

Adara bergumam sendiri di dalam kamarnya. Tak lama kedua kelopak matanya menutup. Ia tertidur karena lelah.

Keesokan paginya ….

"Adara bangun. Sudah pagi ini," perintah Hanindya. Ia membuka pintu kamar Adara.

"Calon pengantin, harus segera bangun dan bersiap. Cepat masak di dapur, untuk sarapan kita. Ini adalah hari terakhirmu mengabdi pada Ayah dan Ibu."

Adara menaikkan selimut, menutupi kepalanya, "Huh, kenapa selalu menyuruhku ini dan itu."

"Adara!" Hanindya menarik selimut yang menutupi kepala Adara dengan paksa.

"Apa, Bu? Adara masih ngantuk. Adara baru tidur jam satu tadi malam."

"Salahmu sendiri kenapa membuat keributan dan kabur? Kami mencarimu kemana-mana, hampir saja membuat laporan ke pihak polisi tentang kehilanganmu."

Adara akhirnya bangun dari tidurnya. Duduk di tepi ranjang. Melirik jam dinding di dekat pintu, "Masih pukul lima pagi. Apa mereka akan makan sepagi ini, hah?" gerutu Adara dalam hati.

"Sudah, sana. Cepat kerjakan. Agar semua cepat selesai. Ingat orang suruhan keluarga Ibrahim akan menjemputmu pukul sepuluh. Pastikan semua pekerjaanmu selesai sebelum waktu penjemputan."

Kuping Adara panas. Ia segera melangkah menuju dapur. Bosan mendengar omelan Hanindya sedari tadi.

Selalu seperti itu, selama tujuh belas tahun ia hidup dalam keluarga orang tuanya. Hanindya selalu menyuruhnya melakukan semua pekerjaan rumah. Berbeda dengan kedua kakak perempuannya, mereka selalu dimanjakan dan dituruti permintaannya.

Adara sudah kerap kali marah dan memprotes. Ia malah dimarahi oleh kedua kakaknya, mengatakan jika Adara perhitungan dan iri pada mereka.

Kedua kakaknya tentus masih tidur, dan sang ibu tak akan membangunkan mereka, kasihan katanya. Lalu bagaimana dengannya? Adara mulai mencuci piring kotor di westafel. Setelah perkara cuci-mencuci selesai dia mencuci beras dan menanak nasi dengan magic com.

"Tenang, Adara. Penderitaanmu akan segera berakhir. Kamu hanya perlu bersabar sedikit lagi. Sabar …." Adara mengembuskan napas panjang. Dadanya naik turun beberapa kali.

Pukul enam pagi semua pekerjaan Adara selesai. Keluarga Hartanto bersiap makan pagi di meja makan.

"Almira, cepat bangun!" Hanindya mengetuk pintu dan memanggil sang anak di depan pintu. Ia pergi ke kamar sebelah dan melakukan hal yang sama. 

"Sama aku aja pilih kasih!" cibir Adara. Ia meletakkan masakannya di meja. Melirik sang ibu yang mengetuk pintu kamar Almira. 

Pintu kamar Almira terbuka. Kakak pertama Adara itu menguap lebar lalu menggosok mata kanan. Tentu saja dia selalu bangun kesiangan. Tiap malam selalu begadang, menelepon sang pacar hingga dini hari. 

Tak berapa lama Siska menyusul. Pakaiannya sudah rapi. Ia dibebas tugaskan dari pekerjaan rumah, hanya fokus pada kuliahnya. Kentara sekali perbedaan perlakuan antara mereka. 

"Ayo, cepat kita makan! Adara sudah berbaik hati memasak untuk kita semua." Hanindya tersenyum pada Adara. 

"Ambilin nasinya donk!" Almira mengulurkan piring porselen putih pada Adara. 

Adara terpaksa menaruh sesendok nasi yang akan masuk mulut. Membuka tutup magicom, mengambil dua centong nasi untuk sang kakak. 

"Nih!" ketus Adara. 

"Lauk dan sayurnya juga dong, sekalian," timpal Hanindya. 

Adara kesal setengah mati. Namun, ia tidak dapat melakukan apa-apa. Kedua orang tuanya tentu akan membela saudaranya yang lain. 

Setelah mengambilkan makanan untuk Almira, Siska juga mengukurkan piringnya minta dilayani. Kembali Adara melaksanakan perintah. Ingin sekali ia melempar atau menumpahkan isi piring itu di atas kepala kakak-kakaknya yang manja. 

Sekuat hati ditahannya rasa amarah. Adara duduk dan kembali menyantap makanan dalam piringnya. Ia menyelesaikan makannya dengan cepat. Mencuci piringnya di westafel lalu kembali ke kamar. Ia harusnya bersiap untuk penjemputan. 

"Adaraaa …." Suara melengking dari Hanindya kembali terdengar. 

Adara melempar handuk birunya ke atas ranjang, "Iya, Bu!"

"Bersihin meja makan dan cucian di wastafel dulu."

"Hiiih! Kenapa harus selalu aku? Almira sama Siska gak disuruh ngapa-ngapain dari tadi? Aku ini anak mereka apa cuma pembantu di rumah ini?" Adara menggerutu di dalam kamarnya. Saat pintu dibuka ia berusaha menarik segaris datar senyuman lalu berkata, "Ahsiyaaappp, Bos!"

Tanpa sepengetahuan Adara sebuah mobil mewah berhenti di depan rumah itu. Julio Pratama turun dari mobil. Mengenakan sweater juga celana kain senada kacamata yang dikenakan.

Almira dan Siska yang berada di ruang tamu saling sikut, "Siapa tuh?"

Keduanya tak bertemu Julio yang datang semalam. 

"Selamat pagi," sapa Julio, "Di mana nona Adara Aurelia Kurnia?"

Hanindya yang mendengar nama Adara disebut, berjalan cepat ke arah ruang tamu. Ia tak mengenali Julio, "Siapa, ya?"

"Saya utusan dari Tuan Aldriansyah Ibrahim yang akan menjemput Nona Adara."

"Sebentar!" Hanindya segera pergi ke dapur. Ia alpa, tentang penjemputan hari ini. Adara disuruhnya membersihkan dapur. Seharusnya anak ketiganya itu mengingatkannya dan bersiap. 

"Adara! Kamu ini gimana sih, sudah dibilangin gak usah bersih-bersih dapur. Siap-siap aja di kamar malah cuci piring! Sana siap-siap."

Hanindya merebut piring di tangan Adara. Anak ketiganya itu sedikit bingung dengan perkataan sang ibu. 

"Bukannya Ibu yang nyuruh Adara bersih-bersih, tadi?" gumam Adara sambil mengernyitkan keningnya, bingung. 

Hanindya mengedipkan matanya berulang kali. Menyuruh Adara segera menyingkir dari dapur. 

"Nak Julio, tolong tunggu sebentar ya," kata Hanindya lagi. 

Taulah Adara apa yang terjadi. Waktu penjemputannya telah tiba. Ia berjalan pelan ke arah kamar. Adara masih sempat mencuri pandang ke arah lelaki yang duduk menunggu di ruang tamu. Dalam hati ia bertanya-tanya, seperti apakah nanti calon suaminya? 

***Suami Untuk Adara***

Bersambung… . 


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C6
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login