Download App

Chapter 2: Chapter 2

Di ruang meeting, Arthur tengah duduk sembari menyilangkan kaki. Jemarinya mengetuk-ngetuk sisi kursi berlengan yang ia duduki. Iris matanya menatap nyalang pada seseorang yang tengah berlutut di hadapannya sembari menundukkan kepala akibat rasa bersalah.

Laki-laki berlesung pipi menawan yang tak lain adalah ketua OSIS siswa lelaki tersebut adalah siswa unggulan di sekolah dengan prestasi akademik dan non-akademik yang melekat pada dirinya. Selain itu, lelaki yang selalu menata rambut hitamnya dengan rapi tersebut juga merupakan idola yang memiliki banyak anak buah di sekolah laki-laki.

"Apa, sih, yang ada di pikiranmu saat ini?" tanya Arthur dengan geram. "Kamu tahu betul, 'kan, kalau murid dilarang berpacaran di sekolah ini?"

Laki-laki yang berlutut di hadapan Arthur mendongak, lalu meringis, menunjukkan barisan giginya yang rapih. "Duh, namanya juga cinta, Bos! Aku tidak mungkin menahannya begitu aja."

Arthur berdecak kesal. Tatapan laki-laki itu masih setajam sembilu es yang siap menusuk siapa pun yang membuat masalah di sekitarnya. Romeo—laki-laki yang tertangkap basah sedang berpacaran tersebut—dibuat merinding karenanya. Romeo menelan salivanya. Meskipun Arthur merupakan pribadi yang disukai orang-orang, menurutnya laki-laki itu bisa jauh lebih menyeramkan dari monster jika sedang marah.

"Aku memang salah, aku minta maaf," ucap Romeo sembari menundukkan kepalanya lagi.

"Memangnya dengan meminta maaf masalah ini akan langsung selesai?" cibir Arthur sembari memutar bola matanya. "Sejak kapan kamu berpacaran dengan dia?" tanyanya.

Romeo menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Semburat merah mulai mewarnai wajahnya yang tersipu malu. "Sudah beberapa minggu," jawabnya apa adanya.

"Jadi, kalian sudah diam-diam berpacaran selama itu?"

Romeo mengangguk. "Tepat sekali."

"Sial!" umpat Arthur, geram. "Apa kamu sama sekali tidak berpikir jika apa yang kamu lakukan saat ini bisa membuatmu dikeluarkan dari sekolah ini?"

Wajah Romeo yang awalnya cengengesan berubah menjadi serius dalam waktu singkat. Ia menepuk dahinya dengan keras. Sedetik kemudian, ia memegangi kaki Arthur seraya membujuk Arthur untuk membantunya agar tidak dikeluarkan dari sekolah.

"Jika para guru mengetahui tentang hal ini ...."

"Arthur, kumohon jangan biarkan aku dikeluarkan dari sekolah," pinta Romeo.

Sebelum Arthur sempat menjawab, pintu ruangan tiba-tiba saja terbuka bersamaan dengan dua gadis—Alice dan Juliet—yang melangkah masuk ke ruangan meeting tersebut. Arthur sontak berdiri dari tempat duduknya dan menyambut kedatangan dua gadis tadi dengan senyum profesionalnya sementara Romeo masih terdiam dalam posisi berlututnya.

Menyadari tatapan penuh rasa penasaran dari para murid yang melongok di pintu, Arthur terpaksa harus menutup pintu dengan rapat agar tak ada seorang pun yang mengganggu pembahasan serius yang akan terjadi di antara !mereka yang berada di dalam ruangan tersebut.

Juliet beringsut ke dalam pelukan Romeo. Keduanya berlutut sembari berpelukan, membuat Arthur dan Alice muak sendiri melihatnya. Mereka berdua kemudian menatap Arthur dan Alice dengan tatapan memelas, seakan ingin meyakinkan keduanya untuk tidak mengeluarkan mereka dari sekolah meskipun apa yang mereka lakukan bisa saja merusak citra sekolah.

"Memangnya ini zaman Romeo dan Juliet?" sindir Arthur dengan jengkel. Apalagi saat melihat wajah dua makhluk yang tak menyiratkan rasa bersalah sama sekali itu, rasanya ia sangat ingin muntah dibuatnya.

"Tapi, namaku memang Romeo, Bos!" balas Romeo dengan kekehan renyahnya.

"Kebetulan namaku juga Juliet hihihi," timpal Juliet sambil mengerjapkan mata lentiknya beberapa kali, lalu menutup mulutnya dengan sebelah tangan. "Ups!"

Alice menepuk dahinya pelan. Gadis itu tidak menyangka jika dua sejoli yang ada di hadapannya ini masih bisa tersenyum dan cengengesan di situasi segenting ini. Ah, sepertinya cinta memang bisa membuat seseorang menjadi bodoh dan tak bisa berpikir dengan jernih! Sementara itu, Arthur menunjukkan ekspresi ingin muntah yang selalu ia tunjukkan tiap kali merasa muak dengan sesuatu.

"Oh, by the way, namaku Alice Stacey," ujar Alice sembari mengulurkan tangannya ke arah Arthur yang berdiri tidak terlalu jauh darinya. "Ketua OSIS di sekolah perempuan."

Arthur tersenyum, menunjukkan lesung pipi yang membuat senyumannya bertambah manis. "Arthur Alvarez, ketua OSIS di sekolah laki-laki," ucapnya sambil membalas uluran tangan Alice. Keduanya berjabat tangan selama beberapa saat sebelum pada akhirnya kembali memfokuskan pandangan pada Romeo dan Juliet.

Ini adalah kali pertama Arthur dan Alice bertemu dan berkenalan setelah terpilih untuk menjabat sebagai ketua OSIS beberapa hari yang lalu. Baru saja mereka memimpin, sebuah masalah besar sudah muncul, yaitu masalah yang disebabkan oleh Romeo dan Juliet.

"Aku rasa kita harus membiarkan para guru atau komite kedisiplinan untuk menghukum mereka," celetuk Arthur.

"Jangan!!!!" teriak Romeo dan Juliet secara bersamaan. Tamatlah riwayat mereka jika sampai para guru turun tangan untuk menghukum mereka. Mereka tahu, hal terburuklah yang pasti akan terjadi.

"Kalian tahu jika kesalahan kalian sangat fatal, bukan?" cibir Arthur. "Kalau berani berbuat, seharusnya kalian juga berani menanggung resikonya."

"Jangan ...." Juliet bangkit berdiri, kemudian meraih tangan Alice dan menggenggamnya dengan erat. "Aliceee, kumohon bantu aku."

Alice membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu, lalu mengatupkannya kembali.

"Kamu sudah berjanji tadi," bisik Juliet, berusaha mengingatkan Alice atas janjinya.

"Aku bilang aku akan berusaha, aku tidak menjamin aku bisa melakukannya, Juliet," balas Alice.

"Oh, ayolah!" Arthur melipat tangannya di depan dada. "Kalian sudah besar. Seharusnya kalian mau bertanggung jawab dengan apa yang sudah kalian lakukan. Jangan mau enaknya aja!"

Alice mengangguk-anggukkan kepala, setuju dengan apa yang diucapkan oleh Arthur. Akan tetapi, di sisi lain ia tak tega saat matanya bertemu dengan mata sayu milik Juliet. Gadis itu dikelilingi oleh rasa bimbang yang mengombang-ambingkan perasaannya.

Alice menggigit bibir bawahnya. "Bagaimana jika kita mencari solusi alternatif yang mungkin ... mungkin bisa membantu meringankan hukuman mereka?"

Arthur menyipitkan matanya. Menurutnya, Alice bukanlah pemimpin yang cukup tegas. Gadis itu terlalu baik dan terlalu melindungi temannya layaknya induk ayam. Sangat berbanding balik dengannya, tentu saja!

Sedangkan Alice berpikir jika Arthur mungkin saja hanyalah pemimpin bermuka dua yang haus akan hormat dari orang lain. Selain itu, laki-laki itu juga terlihat kejam dan tak berperasaan.

Kata orang, jangan lihat sesuatu dari luarnya saja. Tapi, menurut Alice dan Arthur, justru hal pertama yang akan menjadi penilaian mereka terhadap orang lain justru apa yang ditunjukkan orang tersebut di hadapan mereka untuk pertama kalinya.

"Bagaimana? Apakah kamu setuju?" tanya Alice.

Arthur terdiam selama beberapa saat, memikirkan saran dari Alice. Bagaimana pun juga Romeo adalah temannya. Selain itu, mungkin saja setelah ini Romeo dan Juliet akan merasa jerawat, bukan? Sepertinya, ia harus menyetujui usulan dari Alice untuk mencarikan hukuman alternatif kepada dua sejoli yang sedang di mabuk cinta tersebut.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login