Download App
18.18% Batu air mata

Chapter 2: Anjing Suci

Tapi, semua harapan itu sudah hancur, tidak bersisa. Tekad kuatku harus dihalangi oleh penyakitku yang sialan ini.

Apakah masih mungkin untuk diriku memulainya dari awal? Waktuku mungkin hanya satu bulan, seperti yang dikatakan dokter tadi. Aku memang tidak percaya dengan analisanya, tapi tubuhku juga adalah tubuh manusia biasa, terlepas dari kemampuan sihir yang sudah aku pelajari dari kecil. Sihir itu memang hanya bisa dipelajari. Meski aku keturunan Tatsuya, tapi jika aku tidak belajar sihir, tentu aku akan menjadi manusia biasa, bukan penyihir seperti para pendahuluku.

Lalu aku kembali berpikir, dapatkah aku menyelamatkan desaku seperti permintaan ayah waktu itu? Kami-sama, masih mungkinkah aku dapat bertahan lebih dari satu bulan? Mungkin, aku harus mulai menghitung mundur dari sekarang.

Situasi ini begitu rumit.

Pertama, Eva Nee-sa ialah satu-satunya yang dapat menyelamatkanku, kini malah jatuh cinta sungguhan pada mangsanya sendiri.

Sebenarnya, bukan kematian yang aku takutkan. Sungguh!

Aku hanya takut sampai saat itu tiba, aku belum dapat membebaskan desaku dari kutukan.

Lalu, belum lagi aku harus bertanggungjawab pada Len. Sekarang muncul lagi Kentaro. Aku harus bisa menjamin hidup kedua anjing itu, karena aku adalah majikan mereka. Meski aku tidak pernah diperlakukan sebagai majikan oleh mereka berdua. Apalagi si Kentaro yang baru muncul beberapa hari itu. Dia sangat liar dan pulang ketika waktunya makan saja.

Aku masih ingin menjadi majikan mereka. Aku tidak ingin mati dulu. Mereka berdua akan terlantar jika aku tidak ada. Memikirkan itu, membuatku menjadi sedih.

Baiklah, kini aku harus membuat daftar perbuatan baik seperti mempelajari sihir hingga napasku terhenti. Lalu, bekerja keras untuk menghasilkan uang agar Len dan Kentaro tidak kelaparan jika aku mati. Lalu, memberi kebahagiaan kepada seluruh warga di desaku. Aku harap mereka akan selalu bahagia. Ada atau tidaknya aku di sisi mereka.

Namun, masih sempatkan aku melakukan itu semua?

"Shino?" Sebuah suara membuyarkan lamunanku.

"Len?"

Aku mulai menyibukkan diriku dengan mencoret-coret kertas jimat.

"Kau belum tidur, eum? Aku mohon jangan perburuk keadaanmu, Shino! Kau dari mana saja seharian ini, eum?"

Len menatapku lekat-lekat.

Oh ayolah, Len! Jangan mengasihaniku seperti ini! Itu membuat harga diriku terluka.

Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya.

"Beristirahatlah, Shino! Kau tidak perlu bekerja keras lagi! Aku bisa mencari makan sendiri, jadi jangan terbebani oleh hal itu, ya?"

"Aku baik-baik saja saat ini, Len. Aku dapat mati kapan pun. Jadi, saat ini aku baik-baik saja."

Entah kenapa, kalimat itu terlontar begitu saja dari bibirku. Tidak dapat kupungkiri, rasa putus asa itu memang ada.

"Berhenti membicarakan kematian, Bodoh!"

Len menggebrak meja dan membuang semua kertas yang ada di atasnya. Kini, kertas-kertas jimat itu jatuh berhamburan.

Aku bangkit berdiri dan kini berhadapan dengan Len.

"Kenapa memang, hah? Kau tidak suka aku menipu dengan jimat-jimat palsu itu? Kau ingin aku melepaskan tanggung jawab untuk menghidupi peliharaanku? Lalu, kontribusi apa yang bisa aku berikan kepadamu dan Kentaro, jika aku hanya berbaring di kasur, Len?!"

Aku mulai kesal padanya. Sebenarnya bukan, ini lebih tepat disebut upayaku agar terlihat kuat di hadapan Len.

Len kemudian memelukku, pelukan hangat seorang kakak pada adiknya. Atau lebih tepatnya kusebut seperti pelukan seorang paman kepada keponakannya, ya?

"Kumohon, jangan berbicara seperti itu lagi, Shino! Aku berjanji akan melakukan apa pun demi menyelamatkanmu. Percayalah padaku, Shino! Jika Eva-sama tidak bisa, maka aku dan Kentaro yang akan mengusahakannya." Len berucap lirih.

Aku tetap bergeming, tak membalas pelukannya. Entah kenapa, air mataku menetes begitu saja.

Konyol! Kenapa aku jadi sering menangis akhir-akhir ini, ya? Apakah ini sindrom sebelum mati? Aakh, entahlah.

(Shino POV_end)

***

Saat ini, hanya tempat ini yang Shino rasa bisa meredakan sedikit emosi Shino. Ia belum ingin pulang dulu.

Shino akan bertemu Len lagi di rumah. Shino masih kesal karena dibentak-bentak oleh Len. Len juga melarang-larang Shino untuk keluar rumah dulu. Len menyuruh Shino untuk tiduran sepanjang hari. Itu membuat Shino kesal. Jadi, malam ini Shino ingin menghirup udara segar. Shino berjalan di taman kota dan duduk di bangku panjang, yang berada di taman kota.

Tapi, tadi tiba-tiba Kentaro muncul. Ketika Kentaro menanyakan kenapa Shino di taman kota malam-malam seperti ini, Shino malah menangis. Shino sudah menahan air matanya sejak melakukan pemeriksaan di rumah sakit tadi siang. Tapi, Shino baru bisa menangis secara keras malam ini.

Tadi saja, saat berada di dekat Len, Shino berusaha untuk tidak menangi. Tapi, nyatanya gagal. Beberapa tetes air mata berhasil lolos menuruni pipi Shino. Untung saja Len tidak menyadari jika Shino sedang menangis.

Saat ini, Shino ingin melupakan segala macam emosi yang dirasa dengan cara menangis. Shino tidak peduli meskipun ada Kentaro di sana.

Kentaro membiarkan Shino yang menangis tergugu. Dia mengulas senyum. Di mata Kentaro, Shino terlihat seperti Sei Tatsuya, majikannya Kentaro, yang adalah kakek buyutnya Shino. Shino benar-benar mirip Sei-dono, batin Kentaro.

"Bagaimana? Apakak kau sudah merasa baikan setelah menangis, Shino?" tanya Kentaro dengan lembut. Ia mengusap air mata Shino yang sepertinya tidak mau berhenti itu.

Shino mengangguk seperti anak kecil. Shino biasanya gengsi jika menangis di depan orang asing, tapi Shino tidak merasa begitu pada Kentaro. Padahal, mereka baru bertemu beberapa hari. Tapi, Shino merasa jika Kentaro itu lebih pengertian daripada Len. Shino juga merasa nyaman di dekat Kentaro.

"Tidak apa-apa menangis bagi seorang lelaki, Shino! Menangis memang dibutuhkan untuk meluapkan semua emosi. Jika, kau butuh tempat bersandar, aku akan meminjamkan bahuku untukmu, Shino. Tapi, sebagai gantinya masakan daging untukku besok." Kentaro berucap tulus sambil tersenyum.

"Baiklah. Terima kasih, Ken---"

Tiba-tiba tangan kekar Kentaro membawa Shino ke dalam dekapannya lagi. Ia membuat tubuh Shino sedikit membungkuk.

Shino juga kaget melihat darah yang berasal dari hidungnya, kini menetes ke paha Kentaro.

"A-ada apa ini? Kau kenapa, Shino?" teriak Kentaro, terlihat sangat panik melihat remaja yang sejak tadi menangis di bahunya, saat ini malah meneteskan banyak darah dari hidung.

Shino menyadari itu dan buru-buru menutupi hidungnya dengan tangan. Darah masih mengalir di sela jemarinya hingga beberapa menit kemudian.

Mimisan yang dialami Shino ini disertai kepalanya yang pusing. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Shino biasa mengalami mimisan seperti saat ini. Kadang jika Shino sangat kelelahan dan stres. Atau mungkin juga karena penyakit jantung yang diderita Shino dari kecil.

Namun, malam ini sepertinya Shino mimisan dikarenakan demam. Ia sudah hujan-hujan dari sejak keluar rumah tadi. Shino berjalan di tengah hujan untuk menyamarkan air matanya.

To be continued ....


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login