Download App

Chapter 2: Tanggal Empat Belas Bulan Dua

Seharusnya Saira, tidak perlu sekaget itu. Ini di Jepang, bukan di Indonesia. Hal yang Nagisa dan Sena lakukan, sudah lumrah terjadi. Tinggal dalam satu apartemen meski belum menikah? Itu bukan apa-apa bagi mereka.

"Ih! Saira! Kamu ini kenapa? Harusnya kan kamu ikut senang sahabatmu punya pacar baru yang baik. Kenapa malah jadi sebal seperti ini?"

Saira, mencoba menyadarkan dirinya sendiri, kalau ia seharusnya tidak perlu merasa kehilangan Sena. Sebab, dari awal, Sena bukanlah miliknya.

"Tapi, kalau mereka tinggal satu rumah bersama, satu kamar bersama, mereka pasti..."

Tidak sanggup, Saira membayangkan apa yang dilakukan Nagisa dan Sena di dalam kamar. Ia tidak berhak atas apapun, termasuk rasa cemburu yang tidak bisa ia kontrol tidak peduli seberapa keras ia menahannya.

"Ah, itu kan bukan urusanku! Kenapa sih, aku harus membayangkan yang tidak-tidak?"

Saira, menggelengkan kepalanya cepat, mengusir segala pikiran buruknya tentang mereka berdua. Saira mempercepat langkahnya, berharap segera menemukan bus, yang akan mengantarnya segera ke apartemen. Saat itulah, Saira mendengar klakson mobil di belakangnya. Ia kira mobil itu menyuruhnya menepi, tapi ternyata...

"Saira!" suara bariton yang sangat dikenalnya itu tiba-tiba menyapa. Sairapun, menolehkan wajahnya, dan menemukan raut teduh yang sedari tadi ia pikirkan.

"Sena?" Kaget, tentu saja Saira kaget, tidak biasanya Sena, ada di sekitar kampus hingga malam begini.

"Kamu cari bus? Naik aja yuk! Aku antar sampai ke apartemen," laki-laki itu berbaik hati bermaksud mengantarkan. Tapi, Saira menggeleng.

"Tidak usah, Sena. Tidak enak merepotkan kamu terus," ujar gadis itu mencari alasan. Ayolah, ia sedang berusaha menghindari laki-laki ini. Tapi, kenapa Sena terus muncul di hadapannya?

Mendengar jawaban itu, Senapun tersenyum. Senyum yang lagi-lagi menggetarkan hati Saira, yang membuatnya terpaku menatap wajah tampan itu.

"Nggak kok, aku nggak merasa direpotkan sama kamu. Lagian, sekalian aku mau ke suatu tempat, satu arah sama apartemenmu. Yuk!" Ajak Sena, membuat Saira, terdiam. Ia mau, tentu saja mau, setiap detik bersama orang itu baginya begitu berharga. Tapi...

"Tidak apa-apa? Memangnya nanti Nagisa, nggak marah sama kamu?" Saira, kembali bertanya dengan polosnya. Dan lagi-lagi, Sena dibuat tertawa, kali ini lebih nyaring.

"Nggak lah, Nagisa nggak akan curiga apa-apa kalau orangnya itu kamu. Ayo masuk! Bus sudah habis kalau jam segini."

Saira, sontak langsung menatap jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Benar juga, ia baru sadar kalau ini sudah lewat jam sepuluh malam. Sudah tidak ada bus yang beroperasi. Diapun, membuka pintu mobil Sena, dan duduk di samping laki-laki itu yang masih memegang setir kemudi.

"Terimakasih ya, sudah mau antar," kata Saira, saat baru saja duduk di atas kursi nyaman dan hangat di dalam sana.

"Nanti dulu terimakasihnya. Tunggu kalau sudah sampai," Sena, mulai mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang.

Untuk sejenak, mereka terjebak di dalam kesunyian. Tidak ada yang bersuara di antara mereka. Sena, fokus dengan jalanan di depannya, sedangkan Saira, seperti biasa menatap jalanan beraspal yang sudah langganan menjadi sahabatnya kalau naik kendaraan.

"Sejak kapan kamu suka sama Nagisa?" Pada akhirnya, Saira lebih dulu yang membuka suara.

Ia tidak bisa menahan rasa penasarannya pada hal ini. Meskipun ia tahu kalau sebenarnya ia tidak punya hak. Sena, yang mendengar pertanyaan tiba-tiba itu, menoleh pada Saira sejenak. Dengan satu tangan masih berpegangan pada setir mobil, laki-laki itu menyalakan radio, mungkin juga merasa jengah dengan kesunyian yang memenjara mereka.

"Mmm, sejak kapan ya? Sejak tahun pertama mungkin. Nagisa itu, orangnya susah didekati. Jadi, aku baru berhasil jadi pacarnya di semester tua begini."

Tawa renyah, terdengar setelah Sena, mengatakannya. Sairapun, menyunggingkan senyum sembari menunduk. Tawa itu, terdengar sangat bahagia.

"Aku harus belajar bahagia juga. Mereka kan teman-temanku juga," ujar Saira, di dalam hatinya.

"Iya, Nagisa itu cantik, baik dan pintar. Kamu beruntung bisa jadi pacarnya."

Saira, menanggapi. Meskipun masih sakit, tapi hatinya sudah bisa menerima. Ada banyak laki-laki lain di luar sana. Dan Saira harap, salah satunya ada yang akan mau bersamanya.

"Kamu gimana? Belum punya pacar?" Sena, bertanya dengan nada mengejek.

"Kalah dong sama aku dan Nagisa. Cari pacar sana!" Lanjutnya lagi, membuat Saira, menjadi begitu malu.

"Mana ada yang mau pacaran sama aku?" Saira, menjawab sekenanya.

"Bagaimana mungkin, aku bisa punya pacar? Sedangkan hatiku saja masih ada di kamu Sena?" Katanya dalam hati. Saira, menjadi pendiam setelah menjawabnya. Kalau sudah seperti itu, siapapun akan menyadari ada yang mengganggu hati Saira.

"Jangan bilang begitu, aku yakin, orang yang nanti jadi pasanganmu, pasti akan jadi orang yang sangat beruntung juga, bisa dapat orang sebaik dan setulus kamu."

Sena, berkata dengan nada begitu lembut. Berharap, hal itu bisa sedikit menghibur Saira, yang entah sedang memikirkan apa. Tapi, justru hal itu membuat Saira, semakin terluka.

"Bohong! Buktinya saja, kamu tidak mau jadi orang beruntung itu."

Tentu saja, Saira tidak mengatakannya secara langsung. Ia hanya bisa berbisik dalam hatinya. Ia bahkan tidak mau menatap wajah Sena, yang kini menatapnya khawatir. Detik itu, Sena merasa menjadi laki-laki payah yang tidak bisa menghibur hati seorang wanita. Padahal, ia yang mengajak Saira, pulang bersamanya. Ia bahkan bisa melihat mata Saira, yang sedikit berair.

"Sena, aku mau turun di sini saja."

Pinta Saira, dengan tiba-tiba. Sena kaget, tentu saja. Apalagi, ia tahu suasana hati Saira, sedang tidak begitu baik.

"Loh, nggak mau sampai apartemen?" Sena, tidak langsung menuruti apa kata Saira. Ia masih enggan menghentikan laju mobilnya dan masih ingin mengantar Saira, sampai ke kediamannya.

"Nggak usah, sekalian aku mau ke suatu tempat."

Bohong. Saira berbohong. Ia hanya ingin segera berpisah dengan Sena. Hanya itu. Ia hanya sekadar mencari alasan agar laki-laki itu cepat menghentikan mobilnya.

"Nggak apa-apa, biar sekalian aku antar," seolah tidak mau kalah, laki-laki itu juga masih bersikeras ingin mengantarnya. Paling tidak, ia ingin memastikan kalau Saira, pulang dengan selamat sampai tujuan.

"Nggak usah Sena, serius."

Sena menyerah. Saira sudah terlihat tidak menyukai keberadaannya di dalam mobil mewah yang serba nyaman ini. Perlahan, Senapun menepikan mobilnya dan membiarkan Saira keluar setelah melepas sabuk pengaman.

"Makasih ya, sudah antar sampai ke sini." Sebelum pergi, Saira terlebih dahulu mengucapkan terimakasih. Sebab, ucapan terimakasihnya ditolak tadi. Hanya sekadar sopan santun. Ia masih butuh waktu untuk menjauh dari Sena.

"Iya, sama-sama. Hati-hati ya!"

Ujar Sena, yang kembali melajukan mobilnya. Begitu Sena, pergi Saira langsung berbalik dan menuju apartemen sewaannya yang sudah tidak jauh dari tempatnya sekarang. Tapi, tanpa ia sadari, Sena tidak semudah itu dibodohi.

Diam-diam, laki-laki itu memarkirkan mobilnya tidak jauh dari tempatnya menurunkan Saira tadi.

Dengan langkah hati-hati, ia mengikuti langkah Saira, dari belakang. Ia tidak bermaksud jahat. Hanya ingin memastikan kalau Saira, pulang ke tempatnya dengan selamat.

Tanpa ia duga, Saira menghentikan langkahnya tepat di depan tempat sampah. Ia berdiri di sana agak lama, kemudian membuang sesuatu ke dalam bak besi itu setelah menatap benda itu setengah hati. Sena, bisa melihat tatapan sendu Saira, saat membuang benda itu.

"Apa yang dia buang? Aku kok jadi curiga!" Ujar Sena, penasaran.

Begitu Saira pergi, Sena mendekati tempat sampah itu, ia begitu terkejut ketika mengetahui apa yang Saira buang. Sekotak kado berisi coklat dengan catatan huruf kanji bertuliskan namanya.

Sena lupa, kalau ini tanggal empat belas bulan dua. Dan Saira, membuatkan coklat manis untuknya.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login