Download App
34.55% For a Youth

Chapter 47: Menggila

"Kau sungguh berencana ingin mencari suster untuknya?" tanya orang dari seberang telepon.

Roy terdiam lama menjawabnya. Namun ia mengatakan iya pada akhirnya.

"Aku cuma ingin dia punya teman. Aku khawatir, karena dia sepertinya….memiliki teman khayalan."

***

Jam belajar sudah berakhir sejak siang tadi. Viola belum beranjak menuju rumah. Ia berdiri di halte biasanya. Beberapa kali bus melewatinya. Namun ia masih diam, tak bergegas. Dari kejauhan, sebuah bus tengah berhenti. Sesaat sebelum pergi. Viola melihat sekelebat seseorang berdiri di seberang. Viola terperangah. Ia berteriak memanggil.

"Alfa!" serunya.

Viola mengejar seorang pria berseragam sekolah yang sama dengannya. Suaranya tak terdengar oleh pria itu. Viola menyeberang jalanan ramai, hingga menyebabkan beberapa kendaraan berhenti mendadak. Hampir saja nyawanya melayang. Namun Viola tak memikirkan itu. Ia menoleh ke kanan, kiri. Tak ada siapapun. Trotoar di seberang sana sepi. Kecuali suara hembusan angin menjelang malam. Menerbangkan helai rambutnya. Ia kecewa. Matanya pasti memburam lagi.

Ia meringkuk di tepi trotoar. Menanti jejak Alfa yang mungkin saja meninggalkan sisa tapak untuknya.

Membisu.

Suara mesin mobil mendengung di telinganya. Berhenti, menepi di depan Viola. Langit semakin gelap. Viola tak mempedulikan sekitar. Ia terkejut, mobil dokter terparkir di sana. Ia mendongak memperhatikan dengan wajah sendu. Tapi ia urung mendekatinya. Kakinya lemas. Kusut seperti mendung. Tidak lebih baik, semakin memburuk saja. Ia masih meringkuk memeluk dirinya sendiri.

"Ayo pulang." Roy berdiri di sana. Memegang kedua bahu Viola. Memeluknya lembut.

Tanpa kata. Viola mengangguk, menurut. Patuh seperti anak ayam tersesat.

Tak ada yang berubah. Di apartemen Viola masih murung. Viola duduk diam di sofa depan. Memandang keluar jendela. Embun yang mengalir pelan di kaca. Ia ingin menyentuhnya. Tapi itu di luar batasnya.

Roy hanya mendesah. Sebentar lagi, adiknya akan baik-baik saja. Entah apa yang ada di pikiran gadis itu. Remaja labil. Kekasih, sahabat, sekolah. Mungkin sejenis hal-hal semacam itu. Ia menaruh beberapa pil di meja yang ada di depan Viola. Pandangan gadis itu kosong. Alisnya mengerut. Melamun. Roy duduk di hadapannya. Menatap lembut kedua mata kosong Viola.

"Apa yang kau pikirkan akhir-akhir ini?"

"Bukan apa-apa," sahut Viola singkat. Tanpa ekspresi yang jelas.

"Sekali-kali aku akan mengadakan konseling denganmu."

"Pergi kau, Jalang!" umpat Viola tanpa menatap Roy sedikitpun. Alter ego menguasainya. Pikirannya menghilang.

Dokter menggeleng pedih.

"Jangan mulai lagi, Viola. Ikuti ucapanku dan minum obatmu," tegas Roy sekali lagi.

"Hentikan!"

Viola meraih pil warna-warni itu. Melemparnya ke arah kaca jendela yang tertutup rapat. Hingga terpental, lalu jatuh ke lantai.

Roy jantungnya bergerak cepat. Memompa darah lebih cekatan. Telapak tangan Viola mengepal, memanas. Tubuhnya dikelilingi api. Bola matanya memerah. Dipenuhi amarah. Ingin memberontak. Ingin membunuh siapa saja. Roy berusaha menenangkannya. Seolah menemui jalan buntu. Viola meracau, menjerit sekeras-kerasnya. Hingga urat lehernya menonjol di kulitnya. Ia tercekat, mendadak Viola mendapati genangan darah memenuhi lantai. Merebak aroma busuk di seluruh ruangan. Wanita jalang itu pasti menghalau segalanya. Meluap amukannya. Memercik di bawah tungku api. Seolah langau memenuhi seluruh tubuh. Kesakitan. Hampir limbung dari terjaga. Viola meraih vas bunga di atas meja. Membantingnya keras, dipenuhi jiwa kelelahan. Tak menghiraukan siapapun yang mencekal tangannya untuk menghentikan perbuatan brutalnya. Membanting kaca. Membanting meja. Kepalanya pening. Ia terjerembab. Darah-darah itu semakin mengalir deras, seolah mengikuti kemanapun dirinya pergi. Hembusan napas tak beraturan. Menyisakan rasa pedih mendalam.

"Viola sadarlah!" teriak Roy.

"Cepat bersihkan darah busuk itu! Aku bukan anak kotor! Tapi wanita itu yang kotor! Cepat hilangkan dia dari pandanganku!"

Dengan tergesa-gesa, Viola meraih selimut tebal di sofa yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Cepat-cepat ia mengusapkannya ke lantai. Membersihkan aliran kemerah-merahan pekat. Beberapa kali hingga penat. Tetapi lantai masih kotor. Viola meraung, menyalahkan diri sendiri yang tak becus membersihkan lantai. Ia memandangi sekeliling. Meja berdarah. Kursi berdarah. Kedua telapak tangannya berdarah. Juga sebuah belati, menancap di tanah. Bersimbah darah, darah wanita jalang. Yang membiusnya dari dunia. Menyekapnya di dalam ruang putih bercahaya. Semakin tempat itu bercahaya, dirinya semakin gelap. Seluruh tubuh Viola dingin, pucat, bergetar hebat. Ia menatap cermin, hanya bayangan wanita itu. Menusuk-nusuk perutnya hingga mengalirkan tinta. Gila, sampai ia ingin mati. Viola berlari menuju pintu. Matanya bersimbah air mata.

Roy berteriak. Secepat kilat, diraihnya alat suntik dan cairan dari dalam laci almari. Berusaha mengejar Viola yang melarikan diri. Ia menarik lengan Viola, menyergapnya dari arah samping. Cairan penenang disuntikkan ke leher Viola. Tak terkendali, berontak tak karuan. Ia menampik lengan Roy hingga terjatuh, tapi terlambat. Cairan itu telah menguasai dirinya. Viola meraih gagang pintu. Lalu membukanya. Sedetik kemudian, ia membeku. Tubuhnya kaku. Cairan itu telah bereaksi.

***

Viola POV

Aku mendorong sebuah pintu di hadapanku. Pintu terbuka.

Aku memucat.

Hampir kehilangan kesadaran. Sesaat aku menggeleng. Seseorang yang tak asing berdiri di sana. Dengan senyum menawan. Seragam biru putih melekat ramping bersama tawa mengembang. Kakiku keram, tak bisa bergerak. Dunia begitu sempit, hingga segalanya menjadi runyam. Air mata di pelupuk mata. Membanjiri pipi, seraya aku menghela napas panjang yang telah lama tersimpan. Persis seperti saat-saat menengah pertama dahulu. Waktuku berputar. Tahu-tahu hanya aku yang perlahan memudar. Aku menatapnya. Pucat pasi.

"Lyan," desisku pelan.

Ia tersenyum. "Tunggu apa lagi. Ayo kita bermain, Ola."

Lyan menari tanganku. Membawaku bersamanya. Berpetualang di angkasa, milik kita dunia fana. Ceria mewarnai penderitaan. Sekalipun aku setengah hati tersenyum. Ia tetap mengajakku bersenandung bersama. Melayang bagai terbang. Seperti kupu-kupu di permukaan. Seolah membawa musim baru, yang telah lama kutinggalkan. Lyan menggenggam erat tanganku. Mengartikan makna persahabatan. Nasib buruk tidak selamanya memburuk. Rumput-rumput bermata hijau. Aku berlarian di padang Puszta. Hungaria jauh di sana. Lyan bersenang-senang. Melemparkan daun-daun ke udara. Dandelion indah, bebas, luas. Sepertinya dirinya sekarang. Tanpa ku tahu. Gerimis menitik pelan. Seperti rintik di waktu senja.

"Lyan," panggilku serak. "Apa kau sebahagia ini?"

"Ada apa denganmu?" Lyan menatapku aneh. "Kita kan memang selalu bermain seperti ini."

"Tidak. Aku hanya...maksudku aku sangat senang melihatmu."

Lyan tertawa terbahak.

Ia menepuk pundakku beberapa kali. Seolah aku sedang melawak. Terpingkal-pingkal dirinya menertawaiku. Aku hanya memastikan. Karena sudah lama sekali. Masa kecil, sekolah menengah pertama yang menyenangkan. Aku tersenyum, berusaha menikmatinya dan meninggalkan semua pikiran kolotku.

"Butterfly…" aku bergumam.

"Aku merasa kau sangat aneh. Maaf jika aku keterlaluan menertawaimu. Habis kau sih! Seperti aku akan pergi jauh saja. Kita harus mencapai mimpi kita bersama. Seperti janji kita, bukan? Seperti kupu-kupu. Kau ingat?"


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C47
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login