Download App

Chapter 3: Manusia Berjelaga

Aku mengurung diri dikamar, berkali-kali mama mengetok pintu hanya kujawab sekenanya saja. Duniaku berakhir saat Mas Fandi meninggalkanku tanpa sepatah katapun. Lagu-lagu sedih menggema-gema dikamarku. Mulai dari "Sedih Tak Berujung-Glenn Fredly hingga someone like you-Adele" tapi lagu yang menurutku paling menggambarkan kisahku dan menjadi yang paling sering kuputar lagu lawas "Tenda Biru- Desi Ratnasari".

Tanpa undangan dan pemutusan hubungan terlebih dahulu, Mas Fandi mencampakkanku begitu saja. MENCAMPAKAN....DICAMPAKAN kata-kata itu beputar-putar dikepalaku. Aku benar-benar hancur berantakan seperti kamarku ini. Lampu kamar kubiarkan mati disiang dan malam hari. Gorden kamarku tertutup rapat, cahaya matahari bagai pedang menghujami kamarku, bila malam cahaya bulan masuk perlahan dengan kelembutannya.

Aku bergidik ngeri tiap kali memikirkan segala kelebihan istrinya dibanding aku. Aku melempari semua barang disekitarku saat aku mengingat betapa curangnya wanita itu yang tiba-tiba merenggut semua yang susah payah kuraih. Aku merasa hina tiap kali mengingat pelecehan yang dilakukan Askar. Oh..tidak aku menikmati pelecehan yang sesaat kuanggap ciuman pertama. Kemudian aku tersadar Mas Fandi dan keluarganya benar-benar bajingan. Aku membencinya benar-benar membencinya, kini hatiku seperti dihujami jarum-jarum tumpul dengan jumlah ribuan. Pelan-pelan mengoyak otot-ototku, aku terluka, aku berdarah tapi aku tak tau dimana. Aku hanya merasa dadaku sesak seperti menahan beban yang sangat berat, ada lubang dijantungku. Aku memegang dada kiriku, aku meraung menahan sakit yang tak berwujud.

"Mas Fandi BAAJIIINGAAAAANNNN.... wanita SIALAAAAAN..." aku menghempaskan tubuhku. Aku mengutuk Mas Fandi, istrinya, Askar dan akhirnya aku mengutuk kehidupanku. Aku merasa tak ada gunanya hidup, aku memalukan. Aku tak punya harapan untuk bahagia, sedikitpun. Siang malam aku tak dapat memejamkan mata, aku merasa menjadi wanita hina yang gagal mempertahankan kesuciannya. Bibirku kini telah berkoreng karena tak henti ku sabuni dan kulap kasar dengan handuk. Aku membenci diriku, gadis bodoh yang mau saja dilecehkan oleh adik dari orang yang telah mencampakkannya.

Pantas saja Mas Fandi mencampakkanku, aku wanita murahan yang tak tau malu, ah tidak keluarga Mas fandi lah yang kurang ajar.

pikiranku memaki dan mencaci setiap hari, aku tak beranjak dari tempat tidur kecuali untuk membasuh bibirku berulang kali. Tiap kali aku bangun dari tempat tidur kepalaku terasa pening dan mual. Pandanganku kian hari kian mengabur, aku tak bisa makan dan tak bisa minum. Suara panggilan orang tua dan kak Dira, ku abaikan begitu saja.

Anakmu hina Ma, dan tak ada harga diri yang tersisa.

Bertahun tahun mengemis cinta dan kini dibuang begitu saja.

Ponselku mati karena berhari-hari tak ku carger. Tiap kali ibuku mengomeliku dan menyesalkan tindakanku, aku merasa dunia tak pernah adil padaku. Tak ada satupun yang mengerti aku, aku ingin bahagia dan aku merasa bahagia tapi ternyata semua hanyalah fatamorgana. Aku malu pada semua orang, pada mama, pada papa, pada kak Dira dan semua teman-temanku. Betapa dulu aku membanggakan Mas Fandi. Tak ada lelaki yang hidup saat ini lebih sempurna dari kekasih hatiku. Betapa dulu aku selalu mengatakan pada kawanku bahwa satu-satunya lelaki yang tak menduakan cinta hanya Mas Fandi seorang. Dia lah sang penabur benih mimpi diotak dan hatiku, membawa aku melewati dunia remaja dan merasa istimewa kini lihat yang dia lakukan, dia

Kepalaku mulai pening setelah berhari-hari menangis, tanpa makan dan minum bahkan aku tak mandi. Aku meraih botol obat penghilang rasa sakit dinakas, lalu mencari botol air minum ditas olahragaku. Aku mengambil satu pil itu, saat aku siap menelannya aku melihat lagi botol obat itu. Aku ingin mati saja agar Mas Fandi bisa hidup dalam rasa bersalah, atau paling tidak bila aku sekarat Mas Fandi akan memikirkan ulang pernikahannya. Kini aku benar-benar telah gila, aku menghela panjang, memejamkan mata memantapkan hati untuk niatku ini.

Aku menuangkan semua isi botol itu ditelapak tanganku, menarik nafas panjang lalu memasukan obat-obat itu kemulutku, menelannya susah payah. Rasa pahit memenuhi rongga mulutku, segera ku minum air dari botol ditangan kananku. Tiba-tiba pandanganku kabur, semuanya berputar-putar. Aku jadi mual, ususku, lambungku seperti akan keluar, jantungku serasa akan pecah. Mataku mengitari isi kamarku, aku tau aku akan segera mati. Mataku berhenti saat melihat pigura berisi foto keluargaku yang terpajang rapi disudut kamar kami. Mama, Papa, Kak Dira dan aku, kami semua tersenyum bahagia. Aku lalu merasa bodoh, aku tak boleh mati, Fandi bukan satu-satunya dalam hidupku. Aku ingin hidup...aku ingin membahagiakan keluargaku, ingin membuat Mas Fandi iri dengan hidupku yang sukses.

Aku sayup-sayup mendengar ketokan pintu, aku berseru ingin minta tolong tapi yang keluar bukan suara melainkan busa dan dadaku sakit sekali. Aku berusaha meraih apa saja disampingku dan membantingnya agar menarik perhatian dan lalu hilang. Semua gelap...berakhir sudah, mungkin inilah saat terakhirku.

**

Fayauma-idzin laa yusalu 'andzanbihi insun walaa jaannun.

Fabiai-yi aalaa-i rabbikuma tukadz-dzibaan.

Yu'raful mujrimuuna bisiimaahum fayu'khadzu binnawaashi wal aqdaam.

Fabiai-yi aalaa-i rabbikuma tukadz-dzibaan.

Hadzihi jahannamullatii yukadz-dzibu bihaal mujrimuun.

Yathuufuuna bainahaa wabaina hamiimin aanin.

Aku mendengar suara itu melantun merdu, menggema membangunkanku dari tidur. Susah payah kuangkat kelopak mataku, beberapa kali gagal. Aku melihat langit-langit ruangan itu putih bersih, aku mengerjap-ngerjap seingatku langit-langit kamarku berwarna coklat muda.

"Almira...." mama memeluk tubuhku yang masih terasa kaku.

"dokter....adikku siuman, tolong periksa...." suara Kak Dira terdengar panik.

Aku memandangi semua yang ada diruangan itu, aku ingat apa yang terjadi sebelumnya. Tindakan bodohku untuk bunuh diri. Aku menangis sejadi-jadinya, aku memeluk ibu yang hampir saja kutinggalkan.

"Bertobatlah Mira, jangan bertindak bodoh lagi..."

Kata-kata Mama benar-benar menyentak kesadaranku, aku bertindak bagai manusia tak ber-Tuhan. Aku sesenggukan, aku bodoh benar-benar bodoh.

"beristirahatlah, nanti mama akan menghakimimu" isakanku seketika berhenti mendengar ucapan mama.

Mama tak pernah main-main, kata-katanya kini begitu dingin. Mama merenggangkan pelukannya, matanya menatapku dengan dingin. Ada banyak pertanyaan dibenak mama saat ini, aku yakin itu. Aku tak sanggup membalas tatapan mama, orang yang begitu lembut namun tegas dalam menindak kesalahan. Dan kini aku membuat mama kecewa, sangat kecewa.

"ma..." suara Kak Dira terdengar serak. Aku melirik keduanya yang kini saling menatap. Dua wanita yang memiliki sifat yang serupa. Tidak, mereka tidak saling menatap, tapi mereka beradu berargumentasi walau keduanya tak mengeluarkan kata-kata.

Mama keluar ruangan, hanya melirikku sekilas. Senyumnya tetap sama, lembut dan menghangatkan. Tapi aku tau dia sangat kecewa padaku, aku menunduk. Setetes air jatuh kepangkuanku, aku manusia hina yang hampir saja menjatuhkan diri kedalam jahanam.

**

Hubungan persaudaraanku dengan kakakku Adira tidaklah sama dengan persaudaraan orang lain. Kalau biasanya dua saudara perempuan akan bertukar baju, main bersama, belanja dan curhat-curhatan, maka hukum ini tak berlaku pada kami. Kami punya dunia yang berbeda, kata mama kami dua pendekar dengan perguruan yang berbeda. Ya...aku pendekar ilmu hitam menurut mama.

Sejak kecil mama dan papa membebaskan pilihan hidup kami. Tapi kesalahan sedikit saja atas jalan yang kami pilih maka mama akan menghakimi kami. Aku selalu terlibat dengan urusan seni, seperti modeling, tari dan traveling. Sedang Kak Dira memilih hidup dipengasingan, ya... maksudku pesantren tapi aku menganggapnya mengasingkan diri dari keramaian kota.

Pola pikir kami berbeda, namun tak pernah saling mengusik. Aku kadang mengoloknya dengan menyebutnya gadis desa. Dia hanya tersenyum, tak membalas. Dia gadis yang membosankan.

"mengapa kamu melakukan itu Mir..?" Adira bertengger dibibir tempat tidurku. Aku diam saja, dia tidak dekat denganku dan aku tak bisa mengatakan rahasiaku padanya.

"aku tau kita tak biasa curhat-curhatan kayak gini, tapi mir..." aku menoleh, Kak Dira menggantung kalimatnya, dia menghela nafasnya.

"mama...mama, mencurigaimu telah dinodai Fandi"

"Apaaaa....!!!" aku gemetaran. Mama.....sampai hati menyangka anaknya sehina itu. Pantas saja sejak aku pulang kerumah, mama dan papa selalu bedebat. Aku akhirnya menceritakan semuanya pada Kak Dira. Bahkan sampai saat aku berciuman dengan Askar, ah tidak aku dilecehkan.

"Mira...kamu tau kenapa kakak sampai sekarang ngejomblo?" Kak Dira mengangkat daguku, dia tersenyum. Senyum papa yang manis sepenuhnya diwariskan pada Kak Dira.

"hubungan semacam pacaran itu, lebih dekat dengan zina dan fitnah" aku menggigit bibirku, kalimat itu benar-benar mengenaiku.

"kini Almira mengalami keduanya" dia tersenyum kecut padaku, dia mencium pipiku sebelum beranjak dari tempat tidurku.

"Kak Dira..." aku memanggilnya tepat saat dia akan melangkah keluar dari kamarku.

"Mira harus gimana kak?" aku menangis lagi. Kak Dira berbalik dan memelukku, dia mengelus-elus punggungku.

"taubat Mira...Sholat Taubat, mohon ampun pada Allah dan benar-benar jangan ulangi lagi, jauhi yang membuatmu berdosa, dekatkan diri pada-Nya"

**

Aku menghapus semua akses yang dapat menghubungkan aku dengan Mas Fandi dan kelurganya. Mengganti nomor ponselku, memblokir mereka disemua jejaring sosialku. Aku akan melupakan mereka, meninggalkan dan membuang kenangan itu. Papa memelukku erat, wajahnya sembab usai mengimami kami sholat taubat. Papa...aku hampir saja menyeretmu keneraka jahanam gara-gara tindakan bodohku. Mama kini menatapku jauh lebih bersahabat, mama juga lebih tenag dari biasanya. Tangannya mengelus-elus pundakku, memberi kekuatan yang luar biasa. Adira mengusap puncak kepalaku yang masih tertutup mukenah. Ah...kakakku Adira, tadinya aku iba padanya yang tak pernah berpacaran, tapi kini lihat keadaanku...aku lah yang pantas dikasihani.

Dia adalah wanita yang berdiri diatas rembulan yang bersinar, cahaya surga menyirami seluruh tubuhnya. Tubuhnya terlindungi bagai mutiara yang dilindungi cangkang. Auranya indah...bagai aurora yang mengagumkan.

Aku hina, cahaya yang kupancarkan hitam dan kelam. Aromaku busuk, sebusuk ruang pembantaian. Aku berdiri ditengah malam yang pekat, tersenyum licik bagai penyihir mengutuk para peri. Aku melihat diriku yang dipenuhi aura hitam, aku mengusap lenganku. Tubuhku dipenuhi jelaga. Aku ingin mencuci kehinaan ini, aku ingin bangun dari mimpi buruk ini dan menjadi manusia yang baru.

**

Flashback Off...

**

Lelaki itu berwajah terang, senyumnya bagai bulan sabit, jambulnya selalu basah dengan mata yang menawan. Alisnya nyaris bertaut dipangkal hidung yang bangir. Tubuhnya tetap atletis seperti terakhir kali aku melihatnya. Langkahnya teratur bagai model tengah memeragakan busana. Kalau saja aku tak mengenalnya terlebih dahulu mungkin aku juga akan mengira dia model atau artis seperti gadis belia disebelahku ini.

"boyband,,,wuahhhhh"

Aku tersenyum geli mendengarnya, kalau saja mereka tau bahwa lelaki itu seorang doctor. Ah...apa ABG macam mereka akan makin menggaguminya atau malah merasa aneh. Tapi lihatlah, beberapa pramugari yang lalu lalang-pun menatap lekat lelaki ini.

Muhammad Al Fatih, nama sederhana dengan sejuta makna. Sahabatku, guruku dan kini rekan kerjaku. Aku sengaja menjemputnya di Bandara, tak sabar melihat kawan sekelasku ini telah menyelesaikan program S-3nya di Gottingen, Jerman. Seperti biasa dia pasti punya segudang pengalaman yang siap dibagi padaku. Langkahnya kini terarah pada kami, gadis belia disampingku makin salah tingkah.

"ohhhh sumpah ini bukan mimpi" gadis itu bergumam keras saat fatih menyunggingkan senyum kearah kami, emh tidak hanya kearahku. Ingin rasanya aku mengoyakkan kepercayaan diri gadis itu.

" senyum itu untukku bukan untukmu...tolol" tapi itu hanya kuucapkan didalam hati. Hatiku masih sedikit kotor tapi aku selalu berusaha menjaga ucapanku.

Langkahnya terhenti pada jarak sedepa, kami sama-sama menangkupkan tangan didada sebelum berjalan beriringan. Aku menoleh gadis disebelahku, kuberikan senyum mengejek alisku terangkat sebelah. Gadis itu menghardikku "huuuuuu...." Soraknya.

Fatih menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti biasa dia selalu begitu saat aku bertingkah. Menurutnya aku manusia terkonyol didunia. Tapi tujuanku ini mulia, benar-benar mulia, aku bermaksud menjaganya dari pandangan wanita-wanita yang dibulu matanya setan-setan bergelantungan. Akupun bermaksud baik pada setiap gadis yang menaruh hati pada Fatih, agar mereka tak berharap banyak karena Fatih bukan tipe orang yang mau berhubungan dengan wanita. Pesona lahiriahnya terlahir dari pesona batinnya yang benar-benar mulia. Dia tak akan melanggar larangan Tuhan. Sudahku bilangkan, dia guruku, guru spiritualku.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login