Download App

Chapter 4: Siapa Dia?

Wanita dengan jilbab hitam menatap dalam pria yang sudah beberapa tahun menjadi bosnya. Mereka duduk berjarak meja, saling berhadapan. Ia masih terpaku atas ucapan pria itu, yang mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin menemuinya secara pribadi.

"Maaf, Pak. Saya tidak berniat menjalin hubungan dengan lelaki." Akhirnya ia berujar, tegas.

"Kamu bukan penyuka sesama jenis, kan, Fa?"

Wanita itu tersenyum tipis. "Alhamdulillah saya normal, Pak. Hanya saja untuk saat ini saya masih ingin fokus pada pekerjaan ini."

"Ulfa, kamu tahu sendiri, saya bukan tipe penyuka kerja paksa. Jika kamu sudah ingin berhenti maka saya tidak akan menahan. Bukan berarti saya ingin kamu berhenti bekerja, loh. Kamu tahu sendiri saya selalu puas dengan hasil kerjamu. Tapi saya juga sadar kalau kamu juga punya kehidupan pribadi," jelas pria itu pada manajernya.

"Terima kasih atas pengertian Bapak selama ini. Jika nanti saya sudah siap hengkang dari restoran ini, maka saya tidak akan ragu mengutarakan pada Bapak," sahut wanita bernama Ulfa itu masih dengan tegas seperti tanpa pikir panjang.

Pak Wicaksana membuang napas kasar. Meski sudah cukup lama bekerja padanya, tetapi dia tidak tahu apa-apa tentang Ulfa. Gadis itu sangat tertutup, pendiam, dan menjaga jarak pada semua orang terutama laki-laki. Bukan baru kali ini dia mengetahui ada pria yang terang-terangan mengatakan ketertarikan pada Ulfa, bahkan ini sudah yang ke sekian lagi. Dia sedikit memaksa karena dia tahu pria yang ini tentu tidak berniat main-main seperti pria kebanyakan. Namun, gadis itu seperti karang yang sulit ditembus.

***

[Halo, Ulfa. Aku denger ada yang deketin kamu lagi, ya?]

"Nggak ada, kok." Ulfa sedang membaca buku di kamarnya saat menerima panggilan telepon dari Putri, sahabatnya. Entah dari mana ibu dua anak itu tahu bahwa ada laki-laki yang mendekatinya lagi. Sahabatnya itu sudah seperti detektif yang seakan-akan tahu apa saja yang terjadi di hidupnya.

[Mau sampe kapan kamu terus menutup diri, Fa.]

"Bahas yang lain aja, deh, Put." Ulfa mencebik jengah.

[Apa karena Ren?] tanya wanita di seberang sana. Suaranya terdengar serius.

Ulfa terdiam. Entah ucapan Putri salah atau benar, yang pasti dia selalu kehabisan kata-kata jika membahas Ren.

"Ren nggak salah apa-apa, Put. Aku yang udah banyak salah sama dia." Tanpa sadar mata Ulfa berkaca-kaca. Ren selalu saja memenuhi ruang hatinya dengan derai air mata.

[Plis, Ulfa. Kamu harus membuka diri di usia kamu yang udah dua puluh empat tahun.]

"Masih dua puluh empat, Putri," potongnya cepat, tidak terima seolah-olah Putri menganggap usianya sudah tua. Padahal di luar sana juga banyak wanita yang masih melajang bahkan saat usianya sudah menjelang tiga puluhan.

[Sudah berapa laki-laki yang kamu tolak hanya karena Ren.]

"Ren bukan 'hanya', dia segalanya bagiku, dan kamu tahu itu, Put."

[Justru karena aku tahu Ren itu segalanya bagimu, maka kamu juga harus memikirkan kebahagiaanmu sendiri. Apa kamu pikir Ren itu bahagia dengan kesendirianmu? Enggak, Fa. Aku yakin dia juga pingin kamu bahagia.]

"Aku udah bahagia sekarang," kilahnya.

[Oh, ya? Yakin? Sayangnya itu kayaknya nggak berlaku di mata Ren.]

Lagi-lagi Ulfa terdiam. Dia seperti kehabisan kata-kata untuk meladeni Putri yang selalu berhasil mengalahkannya di tiap perdebatan.

"Entahlah, Put. Aku masih nyaman seperti ini. Menjaga Ren meski dari jarak jauh."

[Terserah, deh, yang pasti aku mau kamu membuka diri, membuka hati. Aku yakin kamu juga tahu kalau Ren sekarang butuh keluarga utuh.]

Putri memutus panggilan setelah merasa cukup memberi wejangan pada sahabatnya itu. Mereka berasal dari desa yang sama. Saat ini Putri tinggal di kota yang tidak jauh dari restoran tempat Ulfa bekerja. Hanya saja dia sudah menikah dengan seorang dosen dan memiliki dua orang anak, sedangkan Ulfa, masih terus menikmati kesendirian.

Ulfa menatap langit-langit kamar. Kalimat yang terus dilontarkan Putri hampir semuanya benar. Dia selalu dan terlalu membekukan diri, bersembunyi di balik nama Ren. Tak ingin terus berlarut-larut, akhirnya dia menarik selimut. Memilih tidur untuk menghilangkan kegundahan dalam hati yang tidak semua orang tahu.

***

"Bagaimana, Gheza? Udah dapat calon menantu Mama?"

Lagi-lagi Gheza disidang setelah sarapan pagi di hari Minggu. Kebetulan Ghania beserta suami dan anaknya datang berkunjung, sehingga suasana lebih ramai dari hari biasanya.

"Wah, aku mau punya adik ipar, nih, ceritanya," goda Ghania pada adiknya.

"Satu bulan, Gheza. Kalau dalam satu bulan kamu nggak berhasil bawa seorang wanita untuk dinikahi, maka Papa yang akan turun tangan mencarikan calon buat kamu," tegas pak Wisnu tak ingin diganggu gugat.

Gheza terdiam. Kedua netra melihat seluruh anggota keluarga yang kini menatapnya seperti narapidana.

"Ulfa. Dua puluh empat tahun. Manajer restoran. Orang tuanya tinggal di desa." Setelah berkata demikian, Gheza langsung meninggalkan meja makan. Entah kenapa dia terlihat gugup saat mengungkap seorang wanita incarannya di hadapan keluarga inti.

Semua orang hanya saling pandang. Tidak tahu apa maksud si bungsu itu dengan hanya menyebut nama dan pekerjaan seorang gadis.

"Apa maksud anak itu?" tanya pak Wisnu.

"Ha ha ha, adikku memang sesuatu. Itu berarti dia udah punya calon, Pa, Ma. Kalian sabar, ya. Ghania yakin kali ini pasti serius," tutur Ghania mengungkapkan pendapat.

"Iya, aku setuju sama Ghania. Usia Gheza bukan lagi saatnya memilih, tetapi dia akan menentukan. Kita doakan saja semoga hal baik datang pada keluarga ini," sambung Fathan, suami Ghania.

Ya, mereka berharap hal yang baik akan datang. Tanpa tahu bahwa sebenarnya baik dan buruk sudah ditentukan oleh Sang Penulis takdir. Entah keluarga itu akan mendapat bahagia, atau justru sebaliknya.

"Mbak, ada yang nyariin, tuh," panggil salah satu pelayan restoran pada Ulfa yang sedang memeriksa keuangan bulan ini di ruangannya.

"Siapa?" tanya Ulfa. Sepertinya dia tidak memiliki janji dengan siapa pun.

"Kurang tahu, Mbak. Tapi kayaknya rekan kerja pak Wicaksana yang kemarin itu," jawab si pelayan ragu.

"Pak Darius?"

"Bukan, Mbak. Tapi tuan tampan yang ke sini sama sekretaris dan asistennya kira-kira seminggu yang lalu." Pelayan itu terus mencoba menjelaskan

"Pak Gheza?" tebak Ulfa.

"Nah, iya, Mbak. Pak Gheza." Pelayan bertubuh langsing itu tersenyum saat Ulfa berhasil menggali ingatannya.

"Mau apa, sama siapa dia?"

"Mana saya tahu, Mbak. Tadi udah saya bilang pak Wicaksana lagi nggak ada. Dia malah bilang mau ketemu Mbak Ulfa," tutur gadis itu lagi.

"Baiklah." Ulfa segera merapikan berkas yang berserak di meja. Setelah itu dia merapikan jilbab, lalu ke luar menemui orang yang dimaksud. Benar saja, pria itu sudah duduk tenang di salah satu kursi. Sendirian.

"Selamat siang, Tuan Gheza," sapa Ulfa sembari membungkukkan sedikit tubuhnya. Kemudian dia duduk di kursi yang berseberangan dengan pria itu, tanpa berniat menatap meski sekilas.

"Siang." Gheza membalas.

"Maaf sebelumnya, ada perlu apa Tuan Gheza ke sini? Pak Wicaksana sedang tidak di sini hari ini, dan beliau juga tidak meninggalkan pesan apa pun tentang kedatangan Tuan hari ini."


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C4
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login