Download App

Chapter 2: Stalking Akun Mantan

Aku bergegas membuka pintu kamar untuk menyusulnya. Namun aku terkejut, saat tau dia masih berdiri di depan pintu, menungguku. Dengan gaya elegan, aku mensejajarkan diri. Kemudian kembali bergelayut manja merangkul lengannya melewati keluargaku yang sedang berkumpul. 

"Dah, Papi. Dah, Mami. Dah semuanya..." Aku berpamitan sambil memutar-mutar telapak tangan ala miss universe kepada mereka. 

"Duh, mesranya."

"Nempel terusss..."

"Enak punya suamikan, Mbak..."

"Makanya nikah jangan ditunda-tunda."

Secara bergantian mereka menggodaku yang tengah bergandengan mesra dengan suamiku. Membuat pikiranku senang bagai di awang-awang. 

Hati-hati di jalan, kalian," pesan Mami setengah berteriak. 

"Iya, Mi!"

"Iya, Mi!"  Aku dan Zein menjawab serempak. 

.

Hari ini kami kembali melihat rumah yang akan kami tempati. Hadiah dari Papi, sebagai kado pernikahanku. Aku tak ingin berlama-lama di sana. Sangat lelah berpura-pura, demi meyakinkan mereka bahwa pernikahan kami benar-benar bahagia. 

Sudah sejak tiga bulan lalu, kami sudah berlatih dan gladi resik sebelum menikah. And well, Papi dan Mami setuju meski Zein bukan dari kalangan ningrat seperti kami. Bahkan Zein langsung bisa mengambil hati Papi dan menjadikannya menantu kesayangan. 

"Zein, yang ini kamar aku, ya. Kamar kamu di sebelah. Aku mau yang ada kamar mandinya," pintaku. Lebih tepatnya perintah. 

"Iya, terserah kamu."

"Ya, emang terserah aku dong."

"Terus, kita pindahnya kapan?"

"Mmmm...besok aja deh. Biar Nita dan Tiwi pulang dulu. Males banget kalau mereka nanti minta ikut. Mana minta ngadain syukuran lagi. Repot."

"Oh, jadi malam ini kita tidur bareng lagi?" dia berdiri di depanku sambil tersenyum. 

"Jangan mimpi. Kamu tetap tidur di sofa!"

"Padahal tempat tidurnya besar, lho."

"Bodo amat!"

"Kalau aku nggak tahan gimana? 

"Heh, suami bayaran!" Aku berkacak pinggang di hadapannya. 

"Iya, juragan istri." Dia sedikit membungkuk agar wajah kami sejajar.

"Mau, masuk penjara?"

Dia menggeleng, kemudian mundur teratur. 

.

Kami kembali lagi ke rumah orang tuaku. Rumah besar itu terlihat sepi. Adik-adik dan keponakanku sudah tidak ada. 

"Sudah pada pulang, Neng," jawab Bi Inah, wanita paruh baya yang bekerja di rumah kami. 

Aku menarik nafas lega. Setidaknya hari ini aku bisa bebas berkeliaran di rumah tanpa harus bersandiwara lagi. Adik-adikku dan keluarganya memang selalu sibuk. Sama seperti diriku yang juga mengelola bisnis masing-masing. 

Hanya Zein saja yang tidak memiliki bisnis sendiri. Jangankan bisnis, pekerjaan tetap pun dia tak punya. Hingga dua bulan yang lalu, aku memintanya bekerja di kantorku sebagai tim editor. Seorang penulis handal seperti dia, pasti dengan mudah bisa menyesuaikan diri dengan pekerjaannya. Ya, dari pada punya suami pengangguran. 

Aku kembali ke kamar. Berbaring, sambil memainkan gawaiku. Mengamati kembali foto-foto di sosial media milik Refan. Laki-laki yang sudah dengan tega mengambil kehormatanku, lalu dia tinggalkan begitu saja. 

Entah kenapa aku masih sering menstalking akunnya. Mengamati kehidupan pribadinya, yang berbanding terbalik dengan kehidupanku. Dia bisa hidup bahagia setelah melakukan dosa yang sama. Sedangkan aku? Harus terjebak dengan pernikahan palsu dengan laki-laki yang tidak ada apa-apanya. 

"Kamu di sini?" sapanya. Kulihat Zein baru saja masuk. 

"Kamu dari mana?"

"Di ajak Papi, main catur."

"Oh."

Dia kemudian membuka pintu lemari. Aku melirik, kemudian mendapatinya sedang membuka baju. 

"Eh, eh. Mau ngapain?" teriakku.

"Mau ganti baju," sahutnya berbalik. Aku menelan saliva. Menyaksikan kotak-kotak yang ada di bagian perutnya. Cukup lama aku terdiam, hingga bisa menghitung jumlahnya yang ada enam. Eh, enam atau delapan tadi, ya? 

"Lain kali jangan buka baju kalau ada aku. Risih tau!"

"Risih atau risih?" godanya. 

"Ya risih lah. Mending bagus," dustaku. Padahal emang iya. 

Tapi kalau di pikir-pikir, suamiku itu memang tampan. Tidak malu-maluin kalau di ajak jalan. Jangankan ke pemakaman, dibawa undangan pun masih aman. Sia-sia kalau tidak dipamerkan. Ya, walaupun cuma buat mematahkan argumen mereka-mereka yang sering menyindirku. 

"Umur segitu, mana bisa lagi dapat bujangan, Yas. Paling ada duda."

"Iya, Yas. Nggak usah jual mahal lagi. Nggak papa jelek, yang penting ada yang ngawinin."

"Stok perjaka usia di bawah tiga puluh udah abis kali, Yas."

Dasar mereka itu. Teman-teman sosialitaku yang mulutnya ampun, kaya nasi goreng gila level sepuluh. Tapi lihatlah sekarang, aku punya suami tampan dan muda. Bertubuh bagus dan juga seksi. Tidak seperti suami mereka yang kini telah membuncit dan beruban. Menikah muda pun akhirnya tua juga, kan? Huh, sebel. 

Kupilih-pilih foto terbagus dari yang terbagus. Foto pernikahan mewah kami waktu itu. Zein tampak gagah dengan busana adat jawa dan blangkon yang dipakainya. Membuatnya terlihat seperti Raja-raja Jawa di film kolosal. Angling Dharma, kalau nggak salah. 

Tiiit...tiuutt... tring! 

Foto terkirim. Tak lupa caption alay kusematkan. "Kini, kamulah surgaku." Telalu alay malah. Aku tak perlu takut. Toh aku dan Zein tak berteman di sosial media. Aku bahkan tak tahu, dia memilikinya atau tidak. Bukankah dia tak ingin terkenal? Kurasa dia juga tak butuh facebook. 

.

Setelah cuti beberapa hari, aku dan Zein kembali ke kantor. Beraktifitas seperti biasa. Tak lupa kemesraan selalu kami tunjukkan. Semua karyawan mengucap selamat kepada kami. Meski tak jarang terdengar kalau mereka sedang menggosip. Mengatakan kalau Zein adalah laki-laki benalu yang beruntung karena telah berhasil menggodaku.

"Yas, suruh dong si penulis hantu itu bikin cerita baru," desak si Bino sontoloyo. "Penggemarku udah nggak sabar mau baca karya terbaruku."

Dasar si sontoloyo. Mau enak-enaknya aja. Sudah setahun ini dia menggunakan jasa Zein, tanpa dia sadari kalau kini hantu itu sudah sah menjadi suamiku dan bekerja di kantor ini. 

"Belum ada kabar. Nanti kalau butuh uang dia juga datang," kilahku. 

Tak bisa dipungkiri, perusahaan mengalami peningkatan penjualan setelah menerbitkan buku karya Zein. Dalam setahun dia telah menyetorkan lima buah judul dan semuanya best seller. Ribuan exampler terjual dari tiap judul, hingga membuat Bino makin berkibar namanya. Padahal sebelumnya, novel-novel tulisannya sulit sekali menyentuh angka seratus. 

"Ya udah deh. Boleh aku minta nomor hapenya?Aku juga pengen kenal sama bayanganku itu," pintanya. 

"Nggak boleh!  Ra-ha-si-a," tegasku. "Keluar sono!" usirku. 

.

Saat jam makan siang, aku berjalan keluar dari kantor. Bermaksud mengajak Zein untuk makan siang seperti saat kami belum menikah. Hal itu kulakukan sebagai latihan dan gladi resik, agar tak terlihat canggung saat sudah menjadi suami istri. 

Ada pemandangan aneh yang mengganggu penglihatanku. Salah satu editor wanita duduk manis di sebelah mejanya dengan sangat rapat. Mau apa dia? Hemm... cari mati! 

"Ehem... ehem...," tegurku yang kini sudah berdiri di belakang mereka. 

Serempak mereka berdua menoleh ke arahku. Zein menatapku sambil tersenyum. 

"Ngapain?" tanyaku, sambil menyilangkan tangan di dada. 

"Eh, ini, Bu. Ada yang saya tidak mengerti. Jadi minta diajarin sama Zein."

"Zein?" Aku melotot. 

"Eh, maksud saya Pak Zein, Bu," ralatnya. Semula mereka memanggil Zein dengan sebutan nama, sebelum mereka tahu bahwa Zein adalah calon suamiku. 

"Bukannya kamu lebih dulu kerja di sini? Kok nanya-nanya sama anak baru?" mataku melirik sana sini kayak penari Bali. 

"Anu,  Bu. Itu...."

"Kenapa anu kamu?"

"Eh, enggak kok, Bu. Enggak kenapa-kenapa."

"Udah nggak betah ya, kerja di sini?" sinisku dengan gaya angkuh. Sontak dia bangkit dan berdiri.

"Betah kok, Bu. Betah. Permisi...." Lalu ngeloyor pergi. 

Aku kembali melirik Zein yang masih senyum-senyum menatapku. 

"Kenapa kamu? Senyum-senyum gitu. Bangga gitu, di deketin cewek ganjen kaya Silvi?" ucapku spontan tanpa berpikir. 

"Kamu cemburu, ya?" tanyanya, yang membuatku diam tak berkutik. Mataku mengerjab berkali-kali. 

"Cemburu? Sama kamu? Tak usah ye?" sahutku sambil mengibaskan rambut ke belakang. Aku berjalan meninggalkannya sendiri.

Setengah berlari aku mendengar suara langkahnya mengikuti, meski aku tak mengajaknya. 

"Biasanya gandengan. Kok aku di tinggal?" godanya lagi. 

"Suruh siapa kamu ikut? Aku mo makan sendiri!" ketusku. 

"Oh, lagi ngambek. Ya udah. Selamat makan, ya. Aku balik kerja aja."

Aku terus berjalan tanpa menjawab ucapannya. Namun langkahku terhenti kala melihat dia berbalik dan terus berjalan kembali ke mejanya.

"Zein!" teriakku. Dia menoleh. 

"Iya?"

"Kok balik?"

"Lho, katanya lagi mau sendiri."

"Iih..., nggak peka banget sih. Harusnya kamu itu ngerayu dan ngejar aku!" Aku menghentakkan kaki dan kembali berjalan. 

"Oh, minta di kejar." Masih bisa kudengar ucapannya sambil berjalan cepat menyusul, lalu menggandeng tanganku. Aku memalingkan wajah sambil mengulum senyum. 

"Ingat, ya. Ini cuma pencitraan. Pen-ci-tra-an!" tegasku sambil mengapitkan tangan ke lengannya. 

                            *************

 


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login