Download App

Chapter 10: Bahagia Usai Dipaksa

Alarm kukkuruyukku kembali berbunyi. Aku terbangun dengan selimut masih menutupi tubuh polosku yang super aduhai ini. Beruntung sekali itu cowok bisa lihat dengan gratis. Maksa lagi. 

Kulihat Zein udah nggak ada di sampingku.  Dasar cowok nggak ada akhlak. Main ngilang gitu aja, setelah apa yang dia lakukan. Awas aja, bakal aku laporin polisi dia, biar kapok. 

Aku keluar menuju dapur setelah merasakan segarnya keramas pagi-pagi. Kulihat Zein lagi-lagi telah selesai menyiapkan sarapan seperti biasa untuk kami nikmati. Aroma sampo dari rambutnya mengalahkan wangi teh melati yang ada dihadapanku kini. 

"Pagi, Sayang," sapanya, sok mesra. 

"Pagi, Seyeng... ," ucapku menirukan ucapannya dengan bibir bawah yang kumajukan biar tambah seksi. 

"Sinis amat. Masih kurang, yang tadi malam?"

"Hih, berisik tauk! Awas ye, tunggu aja pembalasanku," ancamku. 

"Lho, kamu mau balas menodai aku? Kapan?"

"Hish... Zeeiiin... Bisa diem nggak!" 

"Iya, iya. Aku diem. Nggak akan ngelawan," sahutnya sembari duduk di hadapanku. "Emang enak, kalo nggak ada perlawanan?"

"Zein reseeek !" teriakku sembari menepuk lengannya dengan keras. 

"Duh, sakit lho, Yas. Tega amat sih ama suami." Dia mengusap-usap bahu bekas pukulan tadi. 

"Suami boongan."

"Tapi punya rasa beneran lho."

"Bodo!"

Dia tertawa melihat tingkah konyolku yang kekanak-kanakan ini. 

.

Dia kembali melajukan mobil di jalanan nan berliku. Sepanjang jalan selalu tersenyum dan terus-terusan menggodaku. Aku memasang wajah jutek, meskipun dalam hati ada sedikit rasa bahagia karena nyatanya dia sama sekali nggak berubah dan menjaga jarak dariku. 

Atau dia cuman pura-pura, karena nggak mau kehilangan sumber mata uangnya? Dih, jangan-jangan dia beneran cowok benalu lagi. Yang kerjanya cuman mau morotin wanita ningrat dan kaya raya kayak aku. Walaupun aku emang menarik sih. 

"Makasih ya, Yas," ucapnya sambil tersenyum. Maniiiis banget senyumnya. Semanis susu cream kental manis. 

"Makasih apaan?"

"Buat tadi malam dong, Yas."

"Aku nggak ngasih. Kamu ngambil sendiri. Maksa lagi," gerutuku. 

"Iya deh, iya. Aku yang maksa."

"Nah, gitu dooong. Ya kali aku mau nyerahin diri sama kamu."

"Iya, iya. Lain kali masih boleh maksa kan, Yas?"

"Zeeiin berisik ah! Nyetir aja udah." Dia kembali tertawa melihat sikap jual mahalku. 

Ya ea lah jual mahal. Dia kira mentang-mentang aku udah buka segel, bakalan bisa di obral. Sori ye. Pokoknya kalo udah abis kontrak, harus tetep berpisah. Titik. Nggak pake koma. 

Baidewei, Zein itu laki-laki banget loh. Apa jangan-jangan, dia juga udah sering ngelakuin yang enggak-enggak sama mantannya dulu. Abis, aksinya itu lhoh. Nggak perlu diajarin lagi. Udah terlatih. 

Eh? mikir apa sih aku  ini. Gara-gara cowok kere ini aku jadi mikir ngeres pagi-pagi. Pokoknya aku mo lapor polisi, lapor polisi! titik. 

.

"Ngapain kamu manggil aku pagi-pagi?" Si Bino sontoloyo duduk santai di depanku. 

"Kalo nggak salah, keluarga kamu banyak yang anggota Polisi kan, Bin?"

"Banyak lah, Yas. Mulai dari anak pramuka sampe Jendral, semua ada."

Busset. Jadi, kenapa dia bisa beda aliran gini? 

"Bisa minta tolong, nggak?"

"Bisa lah. Kita kan bespren."

"Oke, siip. Kalau pengacara ada?"

"Iya, ada. Kamu mo ngapain sih? Jadi mafia?"

"Ya kali, mafia temenan sama aparat. Sini kamu mendekat. Ini rahasia."

Weshwhuswhuswush....dengan setengah berbisik aku menceritakan sesuatu kepadanya. 

.

Jam sudah menunjukkan pukul dua belas. Biar terlihat bak Ratu di depan karyawanku, gantian aku menugaskan Zein yang menjemputku ke ruangan. Biar kelihatan kalau Zein yang perhatian dan cinta banget sama aku. 

Tapi udah lewat sepuluh menit, dia belum juga muncul. Apa, lagi banyak pekerjaan? Atau jangan-jangan, dia udah nggak perduli lagi gara-gara udah mendapatkan apa yang dia mau. Hish.. awas aja ya kalo sampek berani melanggar kontrak dan ninggalin aku. 

Aku bergegas keluar. Mencari-cari keberadaannya. Ini anak kok hobi nya menghilang terus sih. Cari-cari perhatian aja.

"Pak Zein mana, Gus?" tanyaku pada klining servis yang sedang berseliweran mungutin sampah.

"Barusan saya lihat di luar, Buk. Sama cewek. Eh," Dia spontan menutup mulutnya.

Hatiku langsung terbakar, gosong. Baru aja pagi tadi dia mesra-mesraan, hari gini udah main gilak? Ou, mau macam-macam ya! Aku meninju telapak tanganku sendiri. 

"Udah, Gus. Nggak usah ditutup mulutnya. Saya udah denger. Percuma di tutupin. Mending kumur-kumur aja!" ucapku kesal. 

Aku bergegas menuju keluar. Dengan gaya rotasi, mataku berkeliling mencari jejak jejak keberadaannya. Dan di situlah dia. Ketemu juga kamu ya, Zein. 

Eiitt, tar dulu. Bukannya itu si Bela? Bocah minus mata minus akhlak? Mo ngapain lagi dia datang? Nggak kapok-kapok juga dia mengganggu suami orang. Tanpa menunda-nunda, aku langsung menghampiri mereka. 

"Eh, ada bibit pelakor," sindirku, dengan menyilangkan kedua tangan di dada seksiku. 

"Lho, Ibuk kok ada dimana-mana sih," wajah yang tadinya sumringah mendadak kecewa. 

"Ibuk, Ibuk. Bapak kamu minta dikawinin, apa?" kesalku. 

"Maaf ya, Yas. Aku baru aja mau jemput ke ruangan kamu." Zein terlihat merasa bersalah. Alaah,ngeles. Laki-laki emang suka begitu kalo udah terciduk. 

"Nggak papa kok, Sayang. Aku tau kok, pasti bibit pelakor ini yang maksa minta ketemu, kan?"

"Kamu jangan salah paham ya, Yas."

"Iya, iya. Emangnya kapan sih aku pernah marah sama suamiku tersayang ini. Ih... gumush deh." Aku mencubit pipi Zein. 

Tapi cuman buat manas-manasin bibit pelakor aja ya. Bukan gemes betulan. Ya kali seorang Raden Roro Diningtyas bisa tergila-gila sama cowok sekelas Zein. Walaupun punya dia standart SNI sih. Hihihihi...Berapa senti meter coba? ayo ditebak? 

Hish...kok aku ngeres aja sih bawaannya kalo dekat-dekat sama Zein. 

"Ibuk ini ngapain sih, ngikut-ngikutin Mas Zein sampe ke kantornya. Kalau memang Ibuk istrinya, ya di rumah aja dong."

"Eh, ini anak. Pakek ngatur-ngatur hidup orang lagi. Ya suka-suka aku dong. Lagian kamu ngapain ke sini, pakek bawa-bawa taperwer segala. Mo ngemis?"

"Yas... " tegur Zein. Mungkin dia merasa ucapanku udah terlalu kasar. Bodo amat lah.

"Enak aja ngemis. Justru aku ke sini mau ngantar makan siang buat Mas Zein. Ini masakan kesukaan Mas, lho." Dia menyodorkan kotak bekalnya. 

"Eh, enak aja. Nggak punya kerjaan ya? Emangnya suamiku ini anak TK, pakek bawa bekal segala."

"Udah, Yas. Udah. Kita masuk aja, ya." Zein menengahi perdebatan kami. "Kamu pulang aja, Bel. Mas nggak bisa lagi nerima apa-apa dari kamu. Kan Mas udah bilang, Mas udah punya istri."

"Tapi Mas nggak cinta, kan?"

What? Berani sekali dia ngomong seperti itu. Tau apa dia soal perasaan Zein yang udah klepek-klepek sama aku. 

"Kamu pulang aja, Bel. Jangan datang lagi, ya!" perintah Zein. 

Zein menarik tanganku untuk masuk ke dalam. Masih terdengar suara gadis itu meneriaki kami. 

"Aku nggak akan menyerah, Mas. Aku tau kamu nggak akan mungkin secepat itu bisa ngelupain aku. Pasti ada sesuatu dibalik pernikahan kalian kan?"

"Kamu ngomong apa sih, Bel?" Zein berbalik. 

"Aku udah bicara sama Ibu kamu. Pernikahan kamu mendadak. Ibu kamu aja cuman ketemu pas akad nikah. Iya, kan? Bilang, Mas. Berapa hutang kamu sama Ibuk itu. Aku masih punya tabungan buat nebus kamu."

Huft... dasar bibit pelakor. Jadi mau adu harta sama Raden Roro Diningtyas? Mo ngambil Zein dari tangan aku? Tak usah ye? 

                               **********


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C10
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login