Download App

Chapter 2: Bagian 2: The Smoky

Aku menduga Kukuh ini adalah sejenis manusia aneh yang tumbuh di tempat yang tidak tepat. Aku curiga dia ini hiperaktif atau semacamnya. Orang tuanya seharusnya membawanya ke psikolog atau semacamnya sejak dia kecil sehingga dia tidak perlu tumbuh dengan cara hidupnya yang sekarang. Sayangnya, stigma psikolog dulu sangat buruk, mungkin sekarang juga masih buruk. Aku bersyukur pelajaran sudah selesai karena duduk di samping Kukuh membuat telingaku lelah. Dia selalu mengajakku berbicara dan sering mengomentari apapun ucapan guru, hebatnya ketika pelajaran Bahasa Inggris tadi dia mendapat nilai tertinggi saat kuis.Yaaah, Tuhan itu maha adil. Sementara Hazza yang duduk di sudut belakang kelas selalu diam dan terlihat serius, dia seperti patung, aku curiga dia punya masalah yang berkebalikan dengan Kukuh.

Aku sudah senang bisa lepas dari Kukuh ketika bel berbunyi, sayangnya ternyata Kukuh punya rencana lain, cowok jangkung ini mengajakku untuk pergi ke kantin bersama. Sepanjang perjalanan menuju kantin, dia menyapa semua orang dengan namanya dan mereka semua membalasnya dengan senyuman atau "Woy!" "

Sesekali dia bahkan memperkenalkanku kepada orang-orang. "Hei! Ini Sonia, teman baru di kelasku!" yang jujur saja membuatku malu sekaligus bingung setengah mati. Kukuh nih terbuat dari apa sih?

"Bagaimana menurutmu sekolah ini?"

Kukuh bertanya setelah dia menelan makanan di mulutnya dengan bersusah payah. .

Bagaimana sekolah ini? Apa aku bisa menilai hanya dalam satu hari? Apa yang bisa kukatakan? Hari pertama sekolahku, aku satu kelas dengan Hazza yang menganggapku tidak ada bahkan seperti seorang musuh padahal kami bertetangga. Aku jadi penasaran apa dia bersikap seperti ini karena aku memberikan cupcake buatannya kepada dirinya

"Menyenangkan," pada akhirnya aku menjawab sekenanya.

"Bagus, aku senang kalau murid baru mendapatkan hari yang menyenangkan di hari pertamanya,"

Jawaban Kukuh membuatku berpikir apakah dia sengaja diberi tugas untuk menyambut semua siswa pindahan? Kalau iya, sekolah ini harus menggantinya dengan orang lain meskipun kuakui dia punya hubungan sosial yang sangat baik di sekolah terlihat dari kepopulerannya di sekolah, dia pasti punya banyak teman. Sepanjang kami makan selalu ada orang yang menyapa Kukuh, baik laki-laki maupun perempuan. Kupikir Kukuh ini populer sekali di sekolah, dia punya banyak teman dan dia juga memperkenalkanku kepada mereka semua. Ya, dibalik sisi aku dibuat malu karena sikapnya, aku diam-diam berterimakasih juga atas kebaikan hatinya yang mau langsung berteman denganku. Biasanya orang-orang tidak terlalu tertarik padaku karena kulitku gelap dan rambut sebahuku yang sedikit bergelombang membuatku kadang-kadang terlihat seperti singa kalau aku tidak mengikatnya. Meskipun begitu tetap saja sebenarnya aku ingin menjaga jarak darinya, dia terlalu aneh untuk kujadikan teman, sepertinya.

Menyapukan pandangan ke sekeliling kantin, kuperhatikan tingkah laku orang-orang di sekolah ini ketika makan dan apa saja yang mereka bicarakan ketika berkumpul. Pandanganku jatuh pada sekelompok anak laki-laki yang berkumpul dan membuat keriuhan di sudut kantin. Satu di antara kerumunan itu adalah tetanggaku yang menyebalkan dan tidak punya sopan santun. Hazza. Dia duduk disana, bergabung dengan cowok-cowok yang sibuk membicarakan sepak bola. Dari semua orang yang sibuk mengutarakan pendapat mereka masing-masing, dia termasuk orang yang memilih untuk diam dan hanya sesekali tersenyum, sebuah senyum kecil yang hanya bisa terlihat kalau kau memperhatikannya dengan saksama.

"Kukuh,"

Akhirnya, setelah pertemuan dengan Kukuh selama hampir empat jam, aku mengawali pembicaraan dengannya.

"Mereka siapa?"

Kutunjuk kerumunan cowok-cowok itu dengan dagu dan pandangan mata, Kukuh langsung menengok ke belakang untuk melihat siapa yang aku maksud.

"Anak-anak tim sepak bola sekolah. Kenapa?"

Dia menelengkan kepala.

"Oh, tidak. Hanya bertanya saja,"

"Ehm," Kukuh menggeser kursinya, kini dia duduk di sampingku dengan penglihatan bergantian fokus padaku dan kelompok cowok-cowok itu. "Apa kamu tertarik dengan salah satu dari mereka? Yang memakai topi itu Danni, dia kiper terbaik. Si kembar Davin dan Alvin memakai jaket, dan yang rambutnya tidak ada itu Andre, mereka pemain belakang. Lalu ada pemain tengah, Hendra, Brian, Joshua sama Faisal. Si rambut keriting itu pemain depan namanya Hazza. Sebenarnya masih ada yang lain Cuma sepertinya mereka sedang ada urusan lain. Biasanya mereka selalu bersama kayak kerumunan bebek."

"Lalu siapa kaptennya?"

"Kaptennya?" Kukuh beralih memandangku, mata hitamnya yang bulat dan besar membuatku tidak nyaman, jadi aku langsung sedikit menundukkan pandangan. Ditatap cowok itu tidak bagus untuk kesehatanmu.

"Kaptennya sedang makan siang kepagian bersamamu,"

Oh, apa? Tunggu! Kudongakkan kepalaku dan yang kutemukan adalah wajah serius Kukuh, dia tersenyum di hadapanku seakan-akan sedang membanggakan dirinya sendiri. Jadi dia kapten tim sepak bola sekolah? Pantas saja dia populer. Tapi kenapa dia tidak makan bergabung dengan timnya?

Bel panjang tanda istirahat selesai berdering yang disambut seisi kantin dengan teriak "Huuuu!"

"Besok sore kami latihan rutin, nonton ya?"

"Aku?"

"Ya bagus sekali, jam setengah lima di lapangan sekolah oke,"

Aku belum menjawab tapi dia sudah berlalu terlebih dahulu sembari mengatakan bahwa dia harus ke toilet terlebih dahulu sebelum masuk ke kelas. Orang ini terlalu, terlalu, pokoknya dia ini terlalu dan sesuatu yang terlalu itu tidak baik.

Aku malas mendekati Hazza, dia itu tetangga yang menyebalkan dan tidak ramah. Aku tidak mau bertemu dengannya meskipun harus kuakui kalau wajahnya itu adalah salah satu pemandangan yang indah. Jadi ketika pulang sekolah seperti sekarang aku memilih untuk melihat punggungnya. Aku pulang sekolah tepat di belakangnya, berjalan pelan sementara dia melempar-lempar kunci atau semacamnya dengan tangan kanan, melempar ke udara kemudian menangkapnya lagi.

Aneh sekali rasanya berada di situasi seperti sekarang. Aku dan Hazza sama-sama saling mengenal, kami bertetangga, kami satu sekolah tapi kami berjalan seperti orang yang tidak saling mengenal. Oke, kuakui kami baru saling mengenal satu sama lain tapi kan justru itu bisa menjadi alasan kenapa kami harus berjalan beriringan untuk saling mengenal. Rasa sedih tiba-tiba hinggap di hatiku, mengingat biasanya aku mengendarai motor bersama teman-temanku setiap kali berangkat dan pulang sekolah. Kami bahkan saling membunyikan klakson ketika berpapasan dengan orang yang hanya kami ketahui bersekolah di tempat yang sama dengan kami.

Aku dan Hazza sampai di rumah kami, aku berbelok menuju rumah nenek sementara dia terus berjalan, mungkin dia akan pergi ke toko di ujung jalan. Ya, dibalik sisi buruknya yang tidak ramah setidaknya dia sudah bisa mencari uang sendiri dengan menjaga toko.

Pegangan pintu sudah di genggaman tangan kananku ketika rasa penasaran akhirnya memaksaku untuk berbalik. Melewati halaman depan, aku lantas mengikuti Hazza, berjalan sekitar lima puluh meter di belakangnya. Entah kenapa, aku ingin memastikan apakah Hazza memang memiliki sikap berbeda ketika di toko dengan di rumah atau sikap itu hanya dia tunjukkan kepadaku saja karena dia punya masalah denganku sejak pertama kali kami bertemu.

Kami terus berjalan, langkah Hazza yang santai dan fokus tanpa melihat kesana kemari membuatku percaya diri bahwa dia sama sekali tidak mengetahui jika aku mengikutinya. Mengejutkannya, dia tidak berbelok ke toko tapi berjalan mengikuti jalan yang berbelok ke kiri. Kami keluar dari kawasan penduduk dan mulai memasuki area pasar.

Hazza memasuki toko perhiasan perak. Aku duduk di bangku di depan warung soto sembari menunggu es teh yang kupesan kepada penjualnya, mengamati Hazza yang tidak kunjung keluar. Aku penasaran kenapa dia pergi ke toko perhiasan perak. Terperanjat, aku tidak percaya dengan apa yang baru saja muncul di benakku secara tiba-tiba terkait kemungkinan alasan Hazza pergi ke toko perhiasan. Hazza ingin menembak seseorang! Dia pasti ingin membeli gelang atau semacamnya kecuali cincin karena cincin rasanya terlalu berlebihan bagiku.

Ya ampun! Cowok berwajah paling tampan yang pernah kutemui setelah tujuh belas tahun hidup di dunia ini ternyata sudah punya pujaan hati. Aku harus bertanya kepada Kukuh siapa orang yang kemungkinan sedang dekat dengan cowok super tidak ramah ini. Tapi tidak! Aku tidak mungkin bertanya kepada Kukuh, dia terlalu banyak bicara, dia akan banyak bertanya kenapa aku ingin tahu soal Hazza padahal aku hanya ingin tahu saja, tidak lebih. Lebih parahnya lagi bagaimana kalau Kukuh mengumbar kesana kemari soal pertanyaanku itu. Aku tidak mau seluruh penghuni sekolah tahu, mengerikan sekali.

Dia keluar! Kuperingatkan diriku sendiri untuk menutupi wajah dengan koran, menyisakan kedua bola mata di atas koran untuk melihat Hazza yang melewati jalan kecil di antara toko perhiasan dengan toko tas. Kusedot es tehku hingga separuh gelas kemudian aku kembali membuntutinya, kali ini harus lebih berhati-hati karena jalanan sepi dan aku tidak mau dia melihatku.

Jalan yang kami lewati sejujurnya membuatku ngeri, hanya sebuah gang kecil yang berbelok-belok dengan dinding bangunan di sisi kanan dan kiri serta hanya bisa dilewati oleh satu orang. Rasanya kami sudah masuk terlalu dalam dan aku takut sesuatu terjadi dan membuatku mati, gempa misalnya. Bersembunyi di balik tembok, aku menunggu beberapa detik supaya Hazza berjalan cukup jauh. Tak lama aku menarik diri dari dinding untuk kembali mengikutinya, tubuhku justru nyaris terjatuh karena bertabrakan dengan Kukuh yang berlari kencang sekali disusul Hazza yang berlari tak jauh di belakangnya. Kami bertiga berhenti sejenak untuk saling bertukar tatapan bingung, di sisi lain aku bisa melihat amarah di sorot mata Hazza yang dia tujukan kepada Kukuh.

"Ha," aku baru saja ingin melambaikan tangan dan menyapa mereka berdua ketika sebuah teriakan dan suara sepatu terdengar dari arah Kukuh dan Hazza muncul.

"Berhenti kalian!"

Seruan bernada ancaman itu terdengar, menengok ke balik punggung, kudapati tiga cowok seumuran kami berlari ke arah kami. Salah satu dari mereka membawa tongkat bisbol. Aku tidak tahu harus berbuat apa, tubuhku kaku selama sekian detik sampai akhirnya sebuah tangan meraih pergelangan tanganku, menarikku untuk berlari melewati jalanan sempit di antara bangunan.

Hazza yang menarikku, dia berlari mengikuti Kukuh, masuk semakin dalam ke gang sempit di antara bangunan sementara ketiga orang yang mengejar kami terus berteriak, mengumpat dan mengancam kami untuk berhenti atau kami akan habis. Demi Allah aku belum mau mati!

"Hazza mereka siapa?"

Tanyaku sembari terus berlari setelah aku menyamai kecepat larinya dan berlari di sampingnya, dia melepaskan tanganku setelah mengetahui kemampuanku dalam berlari tidak kalah dengannya.

"Aku juga tidak tahu, mereka mengejar Kukuh dan aku tidak tahu kenapa aku ikut berlari."

"Bodoh!" Umpatku. Entah untuk mengatai Hazza atau diriku sendiri yang melakukan hal serupa dengannya.

"Sial!" Kukuh ikut mengumpat di depan,dia berhenti berlari. Hazza berhenti berlari dan aku ikut berhenti berlari. Kami terjebak, jalan buntu dan langkah kaki ketiga orang yang mengejar kami terdengar semakin dekat. Aku tidak pernah menyangka bahwa hidupku akan berakhir disini. Aku belum sempat meminta maaf kepada orang tuaku.

"Mau kemana kalian ha?"

Tanya seorang dari tiga cowok itu, salah satunya berwajah sangar dengan mata sangat tajam dengan hidung super mancung. Orang yang berbicara ini membawa tongkat bisbol. Di sebelah kanannya ada seorang cowok berbadan kekar, wajahnya tampan seperti David Beckham sedangkan yang satu lagi memakai beanie, wajahnya lucu tapi kekerasan ekspresinya membuatku takut.

"Ini urusanku dengan kalian, jangan bawa-bawa mereka berdua,"

Kukuh yang berdiri beberapa langkah di belakangku dan Hazza mendadak berbicara, dia melangkah maju hingga berdiri di depan kami berdua. Aku baru sadar dia membawa sebuah kantong berisi kaleng-kaleng, entah kaleng apa di tangannya.

"Kami memang hanya punya urusan denganmu, anak panti,"

Si kepala ber-beanie kini yang berbicara. Kalimatnya mengejutkanku, Kukuh anak panti?

"Kemari dan minta maaf. Berlututlah atau kamu memilih untuk mendapat pukulan hmm?"

Si cowok hidung mancung mengayun-ayunkan tongkat bisbolnya sembari mendekati Kukuh.

"Tiga lawan satu," Kukuh meledek, dia meludah ke samping dan membuat ketiga orang itu semakin marah, "dasar pecundang,"

"Sialan kau!"

Si wajah David Beckham hilang kesabaran, dia melompat dan menghantam pipi Kukuh hingga dia jatuh tersungkur, kantong plastiknya jatuh, isinya berserakan, kaleng-kaleng cat.

Si hidung mancung mengayunkan tongkat bisbolnya tinggi-tinggi sementara Kukuh kesakitan karena telapak tangannya diinjak oleh kepala beanie. Keberanianku muncul seketika karena tidak tahan dengan pertandingan satu lawan tiga ini, jadi aku melompat kemudian menendang tongkat bisbol itu lalu meninju perut si pemilik tongkat. Dia jatuh tersungkur sementara aku berdiri dengan kuda-kuda, siap untuk bertarung.

"Memukul lawan yang sudah jatuh dan bertangan kosong, dasar kambing lemah," aku ingin mengumpat kepada diriku sendiri karena pilihan kata yang baru saja kusampaikan yang terdengar sangat aneh bahkan untuk kudengar sendiri, aku terdengar payah. Di sisi lain, kulirik Hazza sedang membantu Kukuh untuk berdiri.

"Sonia apa yang kamu lakukan?" bisiknya di telingaku setelah Kukuh berhasil berpijak lagi di kedua kakinya. Dari sudut mata aku melihatnya ikut memasang kuda-kuda payah. Kakinya terlalu lebar dan aku yakin bayi yang baru belajar berjalan bisa menjatuhkannya. Dasar cowok sok bisa.

"Kalian mau pergi atau kupermalukan ha?"

Kuabaikan Hazza serta Kukuh dan kembali menantang ketiga cowok ini, mereka terlihat seumuran dengan kami tapi mereka menyeramkan dan terlihat berbahaya. Cowok pembawa tongkat bisbol yang tongkat bisbolnya kini tergeletak ditanah menggeram kepadaku, dia melotot dengan mata tajamnya sebelum menepuk lengan kedua kawan yang berdiri masing-masing di sisi kanan dan kirinya. Mereka benar-benar tidak tahu malu.

Si pemakai beanie mengarahkan tinjunya yang langsung kutangkis dengan tangan sementara kakiku kugunakan untuk menendang cowok tongkat bisbol tepat di tulang rusuknya. Hazza tersungkur di sampingku setelah perutnya terkena bogem mentah si wajah David Beckham. Cowok ini apa banget sih? Kupungut tiga kaleng cat yang tercecer di tanah lalu melemparkannya masing-masing ke wajah tiga cowok menyeramkan itu. Si wajah David Beckam mengaduh kesakitan karena kaleng itu tepat mengenai matanya sementara tongkat bisbol hidunganya berdarah karena kaleng yang kulempar juga. Tersisa si kepala ber-beanie, dia maju selangkah dan aku langsung mengambil langkah cepat untuk memberinya tendangan di tulang kering dan pukulan di perut. Dia jatuh tersungkur. Kami menggunakan kesempatan ini untuk berlari. Jangan-main-main dengan karateka sabuk hitam meskipun dia perempuan.

***


CREATORS' THOUGHTS
NarnieJanuary NarnieJanuary

Aku bakal update cerita ini 2 hari sekali, TErimakasih yang sudah membaca :-)

Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login