Download App

Chapter 4: Titik Pertemuan

Tidak pernah terpikir sebelumnya--selama hampir dua puluh tahun hidup di dunia, Acacia merasakan titik terendah dalam hidupnya. Sudah seharian ini, dari pagi hingga malam Acacia termenung di dalam kost-an membiarkan sebuah emosi tiba-tiba datang. Entah kenapa, dadanya berujung menjadi sesak.

Acacia menampar dahinya keras, kira-kira cukup untuk meninggalkan bekas luka telapak tangan yang memerah. Acacia benar-benar kecewa pada dirinya sendiri karena bisa begitu gegabah datang ke kelab malam, sampai-sampai dirinya berakhir menjadi seperti ini.

"Aku harus apa ... Tuhan?"

Acacia memejamkan mata memikirkan banyak hal yang tersimpan rapat di kepala, menyerbu untuk keluar. Satu-persatu tidak mau mengalah, mencampur adukan isi kepala. Kuatnya tak sanggup lagi menopang.

Diantara dinginnya malam dan nyanyian bisu, bibir Acacia bergetar pilu karena menangis. Acacia menjerit tertahan sambil mencengkram kuat bantal, menahan setiap sakit dan kecewa yang datang silih berganti, goresan itu melukai batin yang sudah cukup lama tersiksa.

"Aku pikir kamu rumahku, Ken. Karena kamu udah ngasih kenyamanan dan pengertian sama aku. Aku kira kamu juga akan jaga aku, tapi ternyata aku salah. Justru ... kamu yang malah ngerusak kehormatan aku. Kamu tega, Ken."

Setelah mengatakan itu pada keheningan, Acacia memilih untuk tidur karena besok sudah mulai kuliah, sebab liburan tahun baru sudah selesai. Ia rasa perlu menenangkan batinnya yang kini sedang sangat tersiksa.

***

Matahari bersinar terik-teriknya di luar sana walaupun masih pukul setengah sepuluh pagi, di mana mungkin sebagian orang sedang sibuk pada aktivitasnya. Sedangkan Acacia, perempuan itu masih bergerumul dengan selimut tebalnya karena masih terlelap.

Namun, tidurnya terganggu karena ponselnya berdering yang menandakan ada telepon masuk. Karena tidak tahan begitu berisik, Acacia mengambil ponsel dan mengangkat panggilan tersebut.

"Halo," sapa Acacia lesu.

"Kamu dimana Aca? Matkul Pak Herman diganti jam sepuluh, bukan jam satu lagi! Setengah jam lagi masuk ini!" teriak Karina dari seberang telepon.

Sebenarnya Karina adalah tipe perempuan yang dingin dan tidak begitu banyak berbicara, akan tetapi jika hal tersebut menyangkut tentang Acacia, Karina bahkan rela untuk berteriak sekalipun.

Sontak, Acacia segera mengubah posisi tidurnya menjadi duduk tegap. Ia tidak menyangka berita sepenting ini bisa dilupakannya. Beruntung saja, waktu yang ditempuh dari kost-an ke kampus hanyalah delapan menit. Sehingga dari sisa waktu yang ada bisa Acacia pergunakan untuk mandi.

"Gila aja! Aku mau siap-siap dulu, Kar!" seru Acacia lalu menutup ponsel dan bergegas menuju kamar mandi.

Sebenarnya Acacia tidak ada niatan untuk mandi, ia hanya mencuci muka dan memakai sabun pada titik-titik tertentu. Setelah selesai, Acacia segera memakai pakaian simple. Yaitu kemeja putih dipadukan dengan vest serta rok pendek selutut.

Setelah di rasa sudah rapih, Acacia segera berlari keluar dari kamar dan memakai sepatu terlebih dahulu sebelum berangkat. Kemudian Acacia berlari agar bisa dengan cepat sampai ke fakultasnya. Saat lari, pandangannya tak lepas dari jam tangan yang terpasang apik di pergelangannya.

Di lain sisi, Bisma sedang bermain game di kelas. Ia duduk di tengah-tengah tempat favoritnya bersama Karina dan juga Acacia. Menyadari Karina sedari tadi gelisah sambil mengigit kuku-kuku jarinya, membuat Bisma mengerutkan dahi sedemikian rupa.

"Kenapa?" tanya Bisma.

"Dua menit lagi pasti Pak Herman udah masuk kelas, nanti kalo bisa kamu cari cara supaya Pak Herman enggak absen dulu. Soalnya Acacia lagi dalam perjalanan ke sini. Paham?"

Bisma bergeming sebentar berusaha memahami permintaan Karina, sedetik kemudian bola matanya membesar saat menyadari bahwa Acacia belum ada di dalam kelas. Kini Bisma jadi ikut uring-uringan ketika memikirkan Acacia yang kemungkinan akan telat masuk ke dalam kelas.

Tak lama, terdengar suara derap langkah kaki mendekat. Baik Karina maupun Bisma merasa khawatir, tetapi ketakutan itu hilang saat melihat bahwa yang masuk adalah asisten dosen. Ada kelegaan yang tercipta, mereka berdua berharap Acacia bisa segera datang.

"Selamat pagi semuanya! Dikarenakan Pak Herman sedang ada urusan, sekarang yang menggantikan beliau adalah saya. Jadi untuk memulai pelajaran, Kaka akan absen terlebih dahulu!"

Saat absen sudah dimulai, Bisma kembali uring-uringan. Ia lalu menatap Karina yang juga terlihat kebingungan. Tanpa Karina duga sebelumnya, Bisma tiba-tiba berdiri dan meminta ijin ingin ke toilet.

Tidak berselang lama, Bisma kembali datang ke dalam kelas. "Kak maaf tadi dipanggil sama Pak Herman, katanya di suruh ke parkiran."

Asisten dosen tersebut menatap Bisma dengan salah satu alis terangkat ke atas. "Serius?"

"Iya, Kak."

"Baik, kita tunda terlebih dahulu. Saya akan mulai mengabsen setelah menemui Pak Herman. Tolong, jangan ramai. Paham?"

"Paham, Kak!" jawab mereka serentak.

Setelah memastikan asisten dosen Pak Herman keluar dari kelas, Bisma segera duduk di kursinya. Napasnya terengah-engah, ia merasa lelah karena harus berakting sekaligus berbohong dalam satu waktu.

Karina terkekeh melihat Bisma yang kelelahan sampai-sampai ada keringat yang menetes di dahinya. "Keren juga kamu, Bis! Semoga Acacia cepat datang biar nggak di alpa."

Di lain sisi, Acacia sedang berlari sekuat tenaga untuk menuju ke kelasnya. Dalam hati Acacia berharap semoga Pak Herman belum masuk. Namun, saat akan menaiki tangga ... Acacia tidak sengaja menabrak laki-laki yang sudah ia hindari sejak semester awal.

"Ka maaf banget, aku ngga sengaja!" seru Acacia karena merasa bersalah telah menjatuhkan beragam proposal yang dipegang oleh Gavin.

Saat dirinya sedang membantu Kaka tingkatnya ini, tidak sengaja netranya melihat asisten dosen Pak Herman akan segera turun dari tangga. Mata Acacia membulat, ia lalu segera berdiri dan mencari tempat persembunyian.

Melihat tingkah Acacia yang begitu aneh, membuat atensi Gavin Adhitama--kaka tingkat sekaligus ketua BEM di kampusnya teralih padanya. Sadar bahwa Acacia sedang menghindar dari asisten dosen Pak Herman, Gavin berniat membantunya.

"Kak Tara! Mau ke mana?" sapa Gavin.

Tara tersenyum dan berdiri di hadapan Gavin. "Mau ke parkiran, soalnya kata anak-anak Pak Herman manggil."

Mendengar jawaban Tara, Gavin mengerutkan keningnya. Sebab saat di parkiran tadi, ia memang melihat Pak Herman sudah masuk ke dalam mobilnya dan berlalu pergi keluar kampus. Namun, seketika ia sadar bahwa mungkin salah satu teman Acacia ingin membantu perempuan itu masuk ke dalam kelas.

Dengan menggerakkan salah satu tangannya, Gavin memerintahkan Acacia untuk pergi selagi ia mengajak Tara mengobrol. Acacia yang paham maksud dari pergerakan tubuh Gavin segera berlari dan naik ke atas tangga untuk menuju kelasnya.

"Ngomong-ngomong, Kak ... tadi sebelum pergi Pak Herman ngasih tau ke saya kalo enggak jadi ketemuan. Jadi Ka Tara bisa kembali ke kelas sekarang."

"Oh gitu ... ya udah kalau gitu saya kembali ke kelas. Saya duluan Gavin," ucap Tara dan segera berlalu pergi.

Mengingat kejadian tadi, membuat Gavin seketika tersenyum. Ia tidak menyangka, akan mendengar suara Acacia ketika sedang berbicara dengannya secara langsung. "Lucu," gumam Gavin sambil tersenyum manis.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C4
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login