Download App

Chapter 8: Pertemuan Fecia dan Dirga

Keen sudah berdiri di depan pagar sebuah rumah besar bercat putih tulang. Satpam yang sudah mengenal wajahnya langsung membuka pagar.

“Mas, Keen. Silakan masuk.”

“Terima kasih, Mang Ujang.” Keen tersenyum pada satpam penjaga rumah tersebut. Meski ia dalam kekalutan tetapi Keen pandai menyembunyikan perasaannya itu. Belum sempat Keen membuka pintu, benda persegi panjang itu sudah terbuka. Menampilkan Fecia yang sudah cantik seperti saat ingin bertemu dengannya.

“Keen?”

“Fecia?”

Mereka sama-sama terkejut.

“Siapa Fe?” Teriakan dari dalam rumah terdengar. Tapi Fecia tidak berniat menyahuti.

“Untuk apa kamu ke sini?” ketus Fecia pada Keen. Dia sengaja berdiri di depan pintu agar pemuda yang dia anggap sudah menjadi mantan itu tidak bisa masuk ke rumahnya. Fecia juga menatap waspada kepada Keen seolah-olah ia peminta yang suka lewat. Fecia tidak mau lagi jatuh dalam kebodohan yang sama. Yaitu mempercayai Keen.

“Aku mau meluruskan masalah kita, Fe. Kamu sendiri mau ke mana?” Keen balik bertanya dengan tatapan penuh curiga. Memindai mantan tunangan yang masih ia cintai itu.

“Kita sudah putus. Dan aku tidak punya masalah apa pun lagi denganmu.” Fecia berjalan melewati Keen begitu saja. Tapi dengan cepat Keen menarik tangan Fecia.

“Keen,” sapa pak Bagaskara yang kini sudah berdiri di ambang pintu. Dia penasaran karena Fecia tak kunjung menjawabnya tadi.

“Fe, Keen diajak masuk, dong,” titah ayahnya itu sumbringah. Kebetulan yang tepat. Saat itu sebuah mobil masuk ke halaman rumah dan berhenti tepat di sebelah mobil Keen.

“Fecia, ayo!” teriak pria itu yang tidak lain adalah Leo.

Pak Bagaskara langsung memasang wajah tak suka. Meski Leo adalah teman masa kecil Fecia, tapi saat dewasa seperti ini sifatnya sungguh menyebalkan. Leo tidak punya sopan santun dan jauh dari kata baik. Hanya di hadapan Fecia saja di seperti malaikat yang sangat menjunjung tinggi harga diri seorang wanita.

“Fe, masuk!” tegas pak Bagaskara yang tidak bisa dibantah oleh Fecia.

“Leo, maaf. Lain kali aja, ya. Aku ada tamu nggak diundang,” sindir Fecia seraya melirik sinis pada Keen.

“Oke, deh. Besok aku jemput lagi, ya. Bye Om.” Akhirnya Leo kembali meninggalkan rumah Fecia dengan lirikan ketus kearah Keen. Ia seolah begitu mirip dengan Fecia.

“Sebenarnya ada apa dengan kalian?” tanya pak Bagaskara baik-baik. Dia tidak ingin mengalahkan siapa pun sebelum mendengar dari kedua belah pihak.

“Maaf, Om. Perusahaan Keen baru saja memenangkan beberapa tender. Dan itu membuat Keen lebih sibuk dan harus sering ke Laur negeri. Jadi ... Keen minta pada Fecia agar mau mengundurkan pernikahan hanya satu tahun saja. Om sendiri tahukan bagaimana saya berusaha supaya memenangkan tender itu.”

Pak Bagaskara terdiam. Dia tahu bahwa Keen dan Fecia saling mencintai. Pasti berat bagi Fecia untuk mengundurkan pernikahannya lagi. Mungkin itu sudah tenggang waktu yang tidak bisa ditolerir lagi.

“Bagaimana, Fe?”

Fecia langsung menggeleng. Dengan bibir mengerucut.

“Maaf, Pa. Keen bisa punya keputusan. Dan Fecia juga sudah punya keputusan. Menikah di waktu yang sudah ditentukan atau tidak sama sekali!” Lagi-lagi Fecia sangat tegas dengan ultimatumnya.

“Fe, tolong mengerti kondisi ....”

“Cukup!” Fecia mengangkat kedua tangan memotong ucapan Keen yang belum selesai sembari berdiri dari sofa.

“Papa dengar sendiri, kan? Keen tidak pernah serius pada Fecia. Dan lima tahun yang sudah kami lalui bersama ternyata sia-sia. Tidak ada artinya sama sekali di mata Keen.” Hatinya hancur ketika mengatakannya.

Kemudian Fecia langsung berlari menuju kamar dengan deraian air mata. Cinta di hati tidak akan bisa hilang begitu saja. Tetapi hatinya juga tidak bisa menerima perlakuan Keen terus seperti itu.

Suara hak sepatu Fecia yang beradu dengan lantai membuat hati Keen kian teriris. Dia tidak sanggup melihat air mata Fecia. Tanpa sadar air matanya pun mengenani ujung kelopak mata. Sungguh ini seperti berasa di persimpangan jalan yang sama. Yang membuat Keen bingung harus memilih yang mana.

Pak Bagaskara mengembuskan napas panjang. Urusan hati tidak akan bisa dicampuri oleh siapa pun. Termasuk dirinya sebagai seorang ayah sekali pun.

“Om tidak memaksa. Karena kalian yang menjalani. Om hanya meminta beri Fecia waktu. Dia sudah sangat bahagia dengan pernikahan ini, hari-harinya dihabiskan untuk membuat berbagai persiapan. Jadi sangat wajar kalau dia marah seperti ini setelah tahu kamu ingin menundanya. Om harap kamu juga harus bisa memilih antara Fecia dan pekerjaan. Jangan bebani Fecia dengan hubungan yang tak tentu arah.”

Keen hanya menunduk mendengar nasihat dari pak Bagaskara. Ada rasa sesal karena telah begitu mengabaikan Fecia selama ini. Tetapi semua sudah terjadi dia tidak bisa mundur lagi dari tender yang sudah dimenangkan dengan susah payah. Begitu sulit rasanya ia tinggalkan. Pun ada ratusan nyawa yang bergantung dengan proyek-proyek tersebut.

***

“Dir, nanti pergi lebih cepat, ya?” pinta Aria pada Dirga melalui panggilan telepon.

[“Kesambet apa Lo, ngajak Gue pergi cepat. Mau ke mana, sih?”]

“Gue mau ngajak Lo makan di restoran mahal. Abis itu baru kita kerja.”

[“Ha ha ha. Lo mimpi, ya, Ar. Tumben banget ngajak Gue makan di restoran. Biasanya juga makan di warteg pinggir jalan.”] seloroh Dirga.

“Rese banget Lo jadi temen. Mau nggak!. Banyak duit gue nih.” emosi Aria.

[“Oke oke, Gue mau. Kalau gitu jam empat sore Gue jemput Lo. Awas bangkrut Lo berani ngajak Gue ke restoran. Ha ha ha.”]

“Serah Lo, deh. Ya udah Gue tunggu.” jawab Aria malas lantas menghentikan kegiataan tukar chat kepada teman reseknya itu.

***

“Mau ke mana, Fe?” tanya pak Bagaskara saat melihat Fecia hendak keluar rumah. Tapi kali ini dia hanya memakai celana jeans longgar dan sweter. Bukan dress seperti saat dijemput Leo tadi.

“Mau keluar sebentar, Pa. Bosan di rumah terus.” Fecia menjawab. Dari nada bicara Fecia, pak Ferdi bisa menebak bahwa hati sang putri sedang tidak baik-baik saja.

“Sama siapa? Leo?”

“Tidak, Pa. Fecia sendiri. Leo sedang ada pekerjaan di perusahaan om Yoga.”

“Oh.” Pak Ferdi tentu kenal baik dengan pak Yoga, papanya Leo. Karena itulah Fecia dan Leo bisa kenal baik sejak kecil.

Fecia mengendarai mobil yang sudah lama tidak dipakai. Apalagi sejak bertunangan, dia lebih memilih naik taksi jika bepergian karena nantinya ia akan pulang dengan diantar Keen.

Tidak tahu ke mana tujuan sebenarnya. Fecia terus mengendarai kendaraan roda empat hadiah ulang tahun ke dua puluh tiga dari sang papa, artinya dua tahun lalu.

Hingga akhirnya mobil tersebut dia hentikan di depan sebuah restoran.

“Kenapa aku malah berhenti di restoran, sih? Tapi tidak apa-apa, deh. Aku juga lagi lapar.”

Fecia turun dari mobil dan masuk ke restoran tersebut. Bersamaan dengan itu, motor Dirga yang sudah diperbaiki di bengkel—jadi suara mesinnya lebih halus—juga masuk ke restoran itu dengan membonceng Aria di belakang.

“Mimpi apa Gue bisa masuk restoran ini?” gumam Aria menyaksikan bangunan mewah restoran yang ada di depan mata.

“Sebelum masuk, yakin uang Lo cukup untuk makan kita berdua?” tanya Dirga meyakinkan Aria. Ia meletakkan helm bogo di kepala berlanjut menarik milik Aria dengan tergesa sampai kepala Aria rasanya mau copot bersamaan tarikkan helmnya. Aria melirik sinis ke Dirga ditanggapi Dirga hanya kekehan tak tahu malu.

“Ya, kalau nggak cukup, kita cuci piring dua hari dua malam,” celetuk Aria yang langsung masuk ke dalam restoran sambil menarik tangan Dirga. Temannya itu terlalu banyak omong, bukan?

“Astaga. Awas aja kalau sampai itu terjadi, Gue tinggal kabur Lo,” balas Dirga tapi tetap mengikuti langkah Aria.

“Coba aja. Mana tega Lo ninggalin Gue sendirian di sini. Yang ada Lo nggak bisa tidur mikirin Gue,” canda Aria masih tetap menyeret tangan Dirga.

Pria itu tertegun sejenak. Meski mungkin Aria hanya bergurau, tapi kata-kata itu benar-benar masuk ke dalam hati dan pikirannya. Dan itu juga benar, dia tidak akan tega meninggalkan Aria sendirian jika nantinya tidak sanggup membayar makanan yang mereka pesan.

Aria memilih satu meja yang masih kosong. Bersebelahan dengan meja Fecia yang sedang memainkan ponsel.

“Silakan, Mbak, Mas,” sapa pelayan seraya menyodorkan buku menu. Dari bukunya saja sudah terlihat sangat mewah. Aria memandangi sampulnya dengan takjud. Jemarinya mengelus benda itu seakan tak akan pernah lagi ia temui kesempatan ini. Sedang Dirga juga menerima buku yang sama. Namun, ia hanya membukanya tanpa berniat membacanya.

“Ar, apa nggak lebih baik uang itu ditabung untuk pengobatan ibu Lo?” tanya Dirga. Saking paniknya buku menu Dirga terbalik. Sebentar Aria menggeleng lantas membenarkan buku di tangan temennya itu. "Jangan malu-maluin." Bisik-bisik Aria.

Setelahnya, Aria terdiam sejenak. “Gue tahu, tadi pemeriksaan dan obat bi Hamidah cuma abis enam ratus ribu. Nggak apa-apalah sesekali kita makan kayak gini. Lebihnya baru Gue tabung semua untuk ibu. Selama ini kan Lo udah banyak bantu gue, Ga. Gue kerja di sinipun berkat Lo” Aria tersenyum tulus.

Dirga mengangguk paham. Aria juga pasti butuh menenangkan pikiran setalah selalu sibuk dan berjibaku dengan banyak pekerjaan.

Aria begitu antusias memilih makanan yang dari gambarnya paling menarik pandangan mata. Begitu juga dengan minuman. Berbeda dengan Dirga yang lebih bisa menjaga sikap meski dia juga baru kali ini makan di restoran besar seperti ini. Dia memilih menu yang sama dengan yang dipesan Aria. Karena Dirga tidak ingin membebani Aria dengan menu lebih mahal. Dirga mencoba menelan ludah waktu melihat bagian kiri tak lain keterangan isi menu. 'Kepiting impor, pasti mahal banget,' ia terus menduga dalam hati.

Akhirnya Aria memberikan pesanannya ke petugas. Dikatakan mereka harus menunggu kurang lebih tiga puluh menit sampai makanan siap saja.

“Waaah!” Mata Aria begitu berbinar saat melihat makanan laut yang terhidang sama persis dengan yang di gambar buku menu tadi. Gadis itu segera memasukkan potongan daging kepiting ke dalam mulut. “Dirga, ini enak banget!” Keduanya memang memilih restoran seafood yang begitu terkenal akan rasa dan ke-freshan makananya.

Untungnya suara Aria bisa ditahan. Jadi tidak sampai menarik perhatian pelanggan lain. Dirga hanya tersenyum melihat tingkah konyol Aria. Dia pun memakan makanan tersebut yang memang sangat enak di lidah.

“Astaga. Gue kenyang banget, Dir!” celetuk Aria setelah menghabiskan semua makanan dan minuman yang tadi dia pesan. “Gue ke kamar mandi dulu, ya?”

Sembari menunggu Aria, Dirga yang melihat-lihat sekitar tak sengaja melihat Fecia yang duduk sendiri. Makanan di meja sama sekali tidak disentuh. Gadis itu memutar-mutar gelas berisi air di meja sejak tadi. Sedangkan matanya menatap kosong ke depan. Matanya juga begitu sendu.

‘Aneh banget, tuh cewek. Kalau lagi sedih ngapai malah pergi ke restoran?’

***


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C8
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login